General

“Coattail Effect”: Buntutin Ketenaran Jokowi-Prabowo Demi Raih Suara di Pemilu 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Hampir semua partai politik dan calon legislatif (caleg) selalu menyelipkan foto calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo atau capres nomo urut 02 Prabowo Subianto pada baliho-baliho yang terpasang di jalanan jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Sosok Jokowi dan Prabowo dijadikan magnet untuk menarik dukungan dan suara. Posisi keduanya pun dianggap bisa memunculkan coattail effect atau efek ekor jas.

Semua parpol dan caleg yang akan bertarung di Pemilu 2019 tentu butuh suara dukungan sebanyak mungkin dari masyarakat saat hari H pencoblosan pada 17 April 2019. Berbagai strategi pemenangan pun diterapkan hingga pendekatan ke tataran grassroot (akar rumput). Memanfaatkan berkah elektoral dari coattail effect pun jadi pilihan logis.

Siapa atau partai mana yang tak mau meraup berkah elektoral dari keberadaan Jokowi dan Prabowo? Mungkin nyaris semuanya, baik itu caleg dan partai, tak ingin menyia-nyiakan keberadaan mereka baik itu di koalisi Jokowi maupun Prabowo. Apalagi seluruh partai peserta Pemilu 2019 saling sikut untuk mencapai parliamentary threshold (PT) atau ambang batas suara untuk parlemen sebesar 4%.

Jika gagal atau perolehan suara partai jauh di bawah angka parliamentary threshold atau batas suara minimal sebesar 4%, maka pupus pula harapan partai tersebut untuk bisa menempatkan wakilnya di parlemen pada Pemilu 2019. Selain bekerja keras menghidupkan seluruh mesin partai, memaksimalkan ketokohan Jokowi dan Prabowo demi memanen berkah elektoral, sepertinya juga sudah jadi pilihan penting bagi partai dan caleg yang ikut bertarung

Pengaruh Coattail Effect di Pemilu

Dalam pengertiannya, coattail effect dianggap sebagai faktor kuat dari keberadaan seorang tokoh atau figur yang dipercaya bisa meningkatkan suara partai di pemilu. Tokoh atau figur yang dimaksud bisa berasal dari sosok capres ataupun cawapres yang diusung kubu masing-masing. Dalam konteks Pemilu 2019, jelas figur Jokowi dan Prabowo lah yang memunculkan coattail effect.

Kerja nyata dari coattail effect ini sendiri umumnya sering didasarkan pada penelitian pemilu serentak dalam sistem presidensial dua partai seperti di Amerika Serikat (AS). Dari penelitian itu, kesimpulan yang muncul adalah terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang capres dan partai yang mengusungnya. Sederhananya, seorang capres atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai capres.

Baca Juga: Beda Pilihan Capres, Apa Sulitnya Saling Menghargai?

Lalu sebaliknya, jika capres yang diusung tak terlalu populer di mata masyarakat, ditambah lagi tingkat elektabilitasnya rendah, maka keberadaan capres itu justru bisa memberikan dampak negatif terhadap perolehan suara partai yang mengusungnya sebagai capres. Jadi sosok capres memang bisa memberikan pengaruh kuat, entah itu mendongkrak suara atau menurunkan suara.

Situasi di mana coattail effect bisa bekerja dengan baik adalah saat kemenangan telak Partai Demokrat, baik di DPR maupun Senat AS, pada Pemilu AS 2008 lalu. Kemenangan itu tak lepas dari tingginya popularitas dan elektabilitas Barack Obama yang akhirnya terpilih sebagai Presiden AS.

Kondisi sebaliknya justru terjadi pada lawan politik Obama. Ya, kekalahan telak Partai Republik, baik di DPR maupun Senat AS, pada pemilu saat itu, salah satu penyebabnya karena rendahnya popularitas George W Bush, yang diusung partai tersebut pada pemilu sebelumnya. Obama sendiri berhasil mengalahkan saingan terkuatnya dari Partai Republik yakni John McCain. Perolehan suaranya adalah Obama 52,9% dan McCain hanya 45,7%.

Tak jauh berbeda seperti di Indonesia, keberadaan coattail effect di AS ini, selalu membuat para calon anggota DPR atau Senat ramai-ramai mengasosiasikan dirinya dengan capres atau presiden yang populer, di setiap Pemilu AS yang berlangsung setiap dua tahun (untuk DPR dan Senat). Lalu, pemandangan sebaliknya juga terjadi yakni para calon anggota DPR atau Senat menjauhkan diri dari capres atau presiden yang tidak populer atau tidak disukai masyarakat ketika pemilu akan berlangsung.

Dalam konteks Indonesia, jauh sebelum Pemilu 2019, coattail effect sendiri sudah pernah menampilkan keberhasilannya secara nyata. Masyarakat tentu masih ingat bagaimana perkasanya sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika berhasil menjadi Presiden RI selama dua periode. Kondisi itu tak lepas dari keberhasilan coattail effect.

Di Pemilu 2004 dan 2009, figur SBY benar-benar berhasil ‘membius’ masyarakat dengan pesona dan pembawaannya yang tenang. Padahal bayangkan saja, Partai Demokrat, partainya SBY, kala itu tampil sebagai partai baru karena baru berdiri pada tahun 2001. Menariknya, sebagai partai baru, Demokrat justru langsung tampil sangar dengan langsung melejitnya perolehan suara mereka di Pemilu 2004.

Berlanjut ke Pemilu 2009, SBY dan Demokrat masih tampil perkasa dan menguasai pemilu. Fakta ini memperlihatkan dengan jelas bahwa figur SBY dengan citra dan elektabilitas yang tinggi, ikut mendongrak suara Demokrat dengan signifikan, bahkan dalam dua pemilu sekaligus.

Keberadaan SBY saat itu membuat masyarakat hampir otomatis memilih Demokrat. SBY adalah Demokrat, figur SBY saat itu dengan elektabilitas yang sangat tinggi, begitu melekat dengan partai berlambang bintang mercy tersebut.

Baca Juga: Kampanye Door To Door, Strategi Efektif Gaet Suara di Pemilu 2019?

Nah, situasi yang mirip juga terjadi di Pemilu 2014 di mana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berhasil meraup berkah elektoral coattail effect dari sosok Joko Widodo (Jokowi) yang didaulat sebagai capres mereka. Lalu bagaimana dengan Pemilu 2019? Sebagian besar hasil survei selalu menempatkan Jokowi dan Prabowo sebagai dua sosok yang bisa memberikan coattail effect ke partai pengusungnya.

PDIP dan Gerindra Peraih Berkah Coattail Effect Terbesar

Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal A Budiyono, mengatakan bahwa coattail effect, secara psikologi politik lebih menguntungkan partai atau caleg yang dianggap dekat dengan capres atau cawapres. Sebaliknya, partai pendukung lain yang tidak memiliki irisan historis dengan capres/cawapres sulit untuk mendapatkan limpahan berkah efek ekor jas tersebut.

“Dari paslon 01, coattail effect lebih menguntungkan PDIP dan PKB. Mengapa? Karena PDIP sangat terasosiasi dengan Jokowi yang juga kader partai tersebut. Perlu waktu bagi voters untuk misalnya mengasosiasikan Golkar, PPP, PKB, Nasdem, Hanura, Perindo atau PSI dengan Jokowi,” kata Zaenal kepada Asumsi.co, Kamis, 28 Februari 2019.

Di satu sisi, lanjut Zaenal, meskipun semua partai tersebut berupaya menipiskan jarak dengan Jokowi, tetap saja perlu waktu bagi publik untuk mendapat memori yang utuh antara partainya dengan Jokowi. Menurut Zaenal, pada case Kiai Ma’ruf Amin, PKB dan PPP mendapatkan coattail effect yang lebih besar dibanding partai yang lain. Hal itu juga karena alasan secara historis, PPP dan PKB memiliki irisan dengan NU, yang menjadi basis sosiologis Ma’ruf Amin.

“Di kubu 02, Gerindra menjadi partai yang mendapat limpahan coattail effect terbesar dari pasangan Prabowo-Sandiaga. Selain karena keduanya merupakan elit Gerindra, asosiasi publik terhadap nama Prabowo pasti mengarah ke Gerindra. Apalagi sebelum 2019, Prabowo sudah terlibat dalam kontestasi Pilpres 2009 dan 2014 dengan kendaraan yang sama (Gerindra).”

Sama seperti partai-partai yang berada di kubu Jokowi, menurut Zaenal, partai-partai pendukung Prabowo juga harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan limpahan coattail effect dari Ketum Partai Gerindra itu. Lalu, bagaimana dengan nasib partai-partai pengusung lainnya di kubu Jokowi dan Prabowo? Mau tidak mau, jika sulit mengharapkan berkah coattail effect, partai-partai lain harus memutar otak atau bahkan memanfaatkan popularitas tokoh partai lainnya, meski tak terlalu mendongkrak suara.

“Itulah mengapa Partai Demokrat misalnya, masih menampilkan SBY dan Ibu Ani sebagai vote getter. Demokrat menyadari, meskipun dalam Pilpres 2019 mendukung Prabowo, namun sulit bagi mereka untuk mengerek suara partai hanya dengan melekatkan PD ke Prabowo.”

Baca Juga: Emak-emak Berpotensi Jadi Korban Hoaks di Pilpres 2019

“Hal yang sama dilakukan PAN dengan terus menampilkan Amien Rais sebagai tokoh utama partai matahari. PKS dan Berkarya sedikit kesulitan, karena tidak memiliki tokoh sekelas SBY dan Amien,” kata Dosen FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia tersebut.

Caleg Kedua Kubu Pede Raih Berkah Coattail Effect

Di Pemilu 2019, tak cuma partai yang bakal memanfaatkan berkah elektoral dari coattail effect, tapi juga para caleg dari kedua kubu yang mendukung Jokowi dan Prabowo. Usaha para caleg untuk meraih coattail effect tentu sah-sah saja. Namun, hal itu tentu belum tentu berpengaruh pada perolehan suara caleg terkait.

“Para Caleg sah-sah saja berlomba mendapatkan cottail effect dari capres yang didukung partainya. Namun tidak ada jaminan mereka akan mendapatkan suara, karena logika pemilihan Pilpres dan Pileg jauh berbeda. Dengan penghitungan menggunakan sainte lague, tidak ada jaminan caleg nomor urut atas akan terpilih,” kata Zaenal.

Dengan kata lain, tantangan para caleg tidak hanya kompetitor partai lain, namun juga caleg dari partainya masing-masing. Dengan situasi demikian, lanjut Zaenal, bila mereka hanya duduk manis berharap tetesan coattail effect, maka peluang terpilihnya akan kecil.

Maka menurut Zaenal, justru Caleg harus membuka ‘market’ baru di luar captive market yang sudah ada untuk mendongkrak elektabilitas dirinya, partai, dan pada akhirnya capres yang didukung. Dalam kondisi demikian, Zaenal menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah para caleg yang lincah dan mampu membangun komunikasi dengan berbagai kalangan, termasuk kelompok yang sebelumnya dianggap bukan pemilih tradisional partainya.

Caleg DPR RI dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi mengakui bahwa keberadaan sosok Jokowi sebagai capres yang mereka dukung, memang memberikan pengaruh terhadap popularitas dirinya. Meski begitu, sosok yang akrab disapai Uki itu juga tetap bekerja keras turun ke daerah pemilihannya (dapil) di Jawa Barat IX agar masyarakat tau tentang dirinya.

“Sebenarnya ada sih, harusnya ada ya (berkah elektoral Jokowi). Jadi saya sendiri terus terang, kalau saya di dapil atau di darat, tidak terlalu ngomongin pilpres. Tapi di udara atau di media sosial, dukungan buat saya itu mengalir deras banget dari pendukungnya Jokowi. Jadi, ada pendukung Jokowi yang dukung saya langsung bilang “Oke dulunya saya coblos Jokowi dan PDIP, sekarang saya coblos Jokowi dan PSI”,” kata Dedek Prayudi kepada Asumsi.co, Kamis, 28 Februari 2019.

Uki menyadari bahwa PDIP dan PSI memang memperebutkan sumber suara yang sama di Pemilu 2019. Namun, ia mengklaim bahwa PSI juga memiliki keuntungan sebagai partai baru yang belum punya masa lalu, sehingga bisa berbicara selantang-lantangnya. Maka dari itu, Uki pun percaya diri jika PSI bisa melangkah jauh di Pemilu 2019 nanti.

Baca Juga: Kalau Masyarakat Malas Cari Informasi soal Caleg…

Menurut Uki, berkah elektoral yang bisa mereka dapat selain dari citra PSI sendiri sebagai partai baru, tentu juga dari keberadaan Jokowi sebagai capres yang mereka dukung. Ia pun mengakui terus berusaha merebut suara dari para pendukung Jokowi sebagai modal penting untuk bertarung di Pemilu 2019.

“Harus saya akui, bahwa salah satu motif saya berdebat di televisi, atau diskusi-diskusi, adalah untuk menarik dukungan dari pendukung Jokowi. Dan memastikan bahwa Jokowi ini orang baik dan harus dijaga di DPR oleh orang-orang yang baik juga.”

“Sebagai caleg, kita mempromosikan diri, mempromosikan program, itu di medsos enggak akan laku. Kita juga berhitung secara taktis. Jadi di darat, ketika saya di dapil, saya sekitar 80% lah fokus sebagai caleg, tapi kalau di udara, saya 90% sebagai pendukung Jokowi.”

Semangat yang sama juga muncul dari Caleg DPRD Jakarta Selatan dari Partai Amanat Nasional (PAN) Farazandi Fidiansyah. Di Pemilu 2019, Zandi yang merupakan putra dari mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin itu, optimistis bisa meraih hasil maksimal. Selain memang kerja keras turun langsung ke dapilnya untuk merebut hati masyarakat, Zandi juga tak menampik jika ada berkah elektoral dari sosok Prabowo Subianto, capres yang didukung partainya.

“Kalau boleh jujur, saya nyaleg dari PAN itu lumayan menguntungkan, apalagi di dapil Jakarta Selatan, karena di sana itu merupakan basis kemenangan Anies-Sandi di Pilkada DKI Jakarta 2017. Hampir semua TPS waktu itu menang mutlak,” kata Farazandi kepada Asumsi.co, Sabtu, 2 Maret 2019.

Zandi mengatakan bahwa kuatnya figur seperti Anies-Sandi yang sebelumnya memenangkan Pilkada DKI 2017, memang masih terasa sampai saat ini. Apalagi saat Pilkada DKI itu, PAN menjadi salah satu partai pengusung Anies-Sandi. Sekarang pun hal itu masih konsisten dilakukan PAN, yang mendukung Prabowo-Sandi.

“Saya enggak tau korelasi yang linearnya seperti apa, tapi saya merasakan langsung bahwa memang masih ada dampak dari Pilkada DKI 2017 kemarin, sekaligus ada efek elektoral dari pencalonan pasangan Prabowo-Sandi.”

Nah kebetulan PAN itu adalah partai pendukung Anies-Sandi di Pilkada DKI 2017 dan PAN juga partai pengusung Prabowo-Sandi di Pilpres 2019. Sehingga sejauh ini di dapil saya itu, penerimaannya lebih enak. Saya enggak tau kalau di dapil lain ya. Tapi di Jaksel sepertinya masyarakatnya terbuka dan menaruh harapan besar terhadap pasangan yang kita dukung yakni Prabowo-Sandi.”

Menarik menanti akan seperti apa peta persaingan akhir partai-partai politik serta caleg dalam meraih berkah elektoral coattail effect dari sosok Jokowi dan Prabowo di Pemilu 2019. Jika PDIP dan Gerindra disebut sebagai dua partai yang bakal paling beruntung menikmati pundi-pundi coattail effect, persaingan partai-partai lain di luar dua partai itu pun tak kalah menarik, termasuk pertarungan para caleg yang berjuang merebut suara demi masuk ke parlemen.

Share: “Coattail Effect”: Buntutin Ketenaran Jokowi-Prabowo Demi Raih Suara di Pemilu 2019