Isu Terkini

Emak-emak Berpotensi Jadi Korban Hoaks di Pilpres 2019

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Publik sempat dihebohkan oleh video aksi sosialisasi emak-emak yang diduga berisi kampanye hitam terhadap Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Karawang, Jawa Barat, beberapa hari lalu. Dalam video itu, dua orang perempuan berbicara dalam bahasa Sunda saat kampanye door to door. Mereka meyakinkan warga bahwa Jokowi akan melarang azan dan membolehkan pernikahan sesama jenis.

“Moal aya deui sora azan, moal aya deui nu make tieung. Awewe jeung awene meunang kawin, lalaki jeung lalaki meunang kawin,” kata emak-emak yang ada dalam video viral tersebut.

Jika diartikan dalam bahasa Indonesia, emak-emak tersebut mengatakan suara azan di masjid akan dilarang, tidak akan ada lagi yang memakai hijab. Perempuan sama perempuan boleh kawin, laki-laki sama laki-laki boleh kawin.

Baca Juga: Emak-emak Diduga Lakukan Kampanye Hitam dan Penggerak Politik Ala Sandiaga

Tak butuh waktu lama, pihak kepolisian akhirnya mengamankan tiga emak-emak yang diduga berada dalam video viral tersebut untuk melakukan kampanye hitam terhadap Jokowi. “Tepatnya kemarin hari Minggu, kita sudah mengamankan tiga wanita,” kata Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Senin, 25 Februari 2019.

Truno mengatakan ketiganya bisa dijerat dengan beberapa pasal, seperti Undang-Undang Pemilu hingga UU ITE Pasal 28 ayat 2. Ancaman hukumannya bisa mencapai 6 tahun penjara. Namun polisi belum melakukan penahanan terhadap tiga ibu rumah tangga tersebut. “Belum, kita lihat hasil pemeriksaan,” ucap Trunoyudo.

Kubu Jokowi Sebut Ada Sosok Mastermind di Balik Kabar Hoaks Itu

Aksi sosialisasi emak-emak yang diduga melakukan kampanye hitam terhadap Jokowi-Ma’ruf itu pun membuat Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf mendukung langkah kepolisian untuk mengusut sosok “mastermind” sang pembuat hoaks. “Tentu kita mendorong aparat segera menindak ya, lalu mengungkap secara jelas,” kata Wakil Direktur Kampanye TKN Jokowi-Ma’ruf, Daniel Johan, di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 25 Februari 2019.

“Yang paling penting, justru kalau misalkan ibu itu tidak paham apa yang dia lakukan, tetapi ada mastermind-nya yang mendorong, yang sistematis. Mastermind ini yang perlu kita ungkap dan dilakukan tindakan hukum.”

Baca Juga: Dialektika Demokrasi: Monopoli Tafsir Hoaks dan Hegemoni Informasi

Lebih lanjut, Daniel pun khawatir ibu-ibu yang melakukan kampanye hitam tersebut justru jadi korban yang diminta untuk menyebarkan informasi hoaks. Dari kejadian itu, ia pun menegaskan pentingnya bagi pihak berwajib untuk mengungkap otak penyebaran hoaks dan dilakukan tindakan tegas.

“Cuma jangan sampai, misalkan, ternyata ibu-ibunya itu menjadi korban. Misalkan dia nggak tahu apa-apa ya, diinfoin, artinya dia diminta gitu oleh mastermind, ‘eh, nanti kalau misalkan Pak Jokowi menang kita begini lho’. Nah, dianggap bener, lalu disosialisasikan begitu. Sebenernya kan dia nggak salah, sebenernya. Yang paling penting mastermind-nya,” ucap Daniel.

“Kadang-kadang ibu-ibu ya polos-polos aja. Dia terima informasi, dianggap itu benar, lalu dia mau bantu kan, sebenernya kan dia korban juga. Nah yang harus menjadi tindakan tegas itu kan mastermind-nya,” ujarnya.

Menurut Daniel, nantinya hoaks yang disebarkan tersebut tentu akan merugikan pemerintah. Menurutnya, kelompok yang terkena dampak hoaks adalah minoritas yang merupakan pemilih tradisional Jokowi.

“Karena kalau ke depan hoaks yang digembar-gemborkan, misalkan itu situasi yang makin lama makin genting, lalu antarwarga semakin ribut, dipecah belah, dihadap-hadapkan, tentu kan pemerintah yang akan mengalami kerugian. Kedua, biasanya yang akan terkena dampak adalah kelompok-kelompok yang bukan mayoritas. Dan itu yang kita pahami adalah pemilih tradisional Pak Jokowi.”

Respons Kubu Prabowo

Sementara itu, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi membantah jika pihaknya sudah melakukan kampanye hitam pada Pilpres 2019. Hal ini sekaligus menanggapi tiga ibu-ibu di Karawang yang ditangkap oleh polisi karena diduga telah melakukan kampanye hitam.

“Kami sejak awal mengatakan bahwa Prabowo-Sandi ingin menang berkah dan bermartabat. Tidak menghalalkan segala cara hukum yang menyebar hoaks,” kata Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Pipin Sopian di Media Center Pemenangan Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Senin, 25 Februari 2019 malam.

Baca Juga: Belajar dari Obor Rakyat dan Indonesia Barokah: Bisakah Media Cetak Jadi Alat Propaganda?

Seperti diketahui, tiga emak-emak yang ditangkap tersebut belakangan diketahui  ternyata anggota dari Partai Emak-Emak Pendukung Prabowo-Sandiaga (PEPES). Meski begitu, Pipin mengaku pihaknya tengah melakukan verifikasi kebenaran itu. Jika benar pelaku merupakan relawan Prabowo-Sandi, maka ia mempersilahkan polisi memproses secara aturan hukum yang berlaku.

“Kami harus verifikasi ulang, enggak tahu sampai saat ini tentu tim kami sedang mengkajinya tetapi ingin melakukan landasan dari BPN bahwa kami meminta siapapun relawan dari BPN Prabowo-Sandi untuk tetap tidak menyebarkan hoaks kalau melanggar itu memang konsekuensi harus siap diproses hukum,” ujarnya.

Faktor Pemicu Mudahnya Hoaks Berkembang

Berita dan informasi hoaks memang seliweran baik itu di dunia nyata maupun media sosial jelang Pilpres 2019. Emak-emak pun dianggap menjadi pihak yang rentan dalam menyebarkan hoaks atau bahkan menjadi korban hoaks itu sendiri.

Meski begitu, secara umum, sejauh ini tentu hoaks sendiri tak memandang gender, umur, bahkan pendidikan. Berbagai kalangan seperti profesor, doktor, atau yang tak bergelar sekalipun, tetap berpotensi termakan hoaks jika tak pintar dan cerdas dalam menyaring datangnya arus informasi yang berhamburan.

Mudahnya hoaks beredar tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh malasnya masyarakat untuk membaca secara utuh dan menyaring setiap informasi yang diterima. Tentu tak semua emak-emak yang mudah termakan hoaks, namun semua orang berpotensi mengalami hal serupa. Setidaknya, minat baca masyarakat Indonesia yang masih rendah jadi salah satu faktor pendukung mudahnya hoaks tersebar. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkap laporan tahun 2018 tentang penuntasan buta aksara di Indonesia.

Menurut data yang dihimpun dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud dari data proyeksi Badan Pusat Statistik, sekitar 97,932% dari masyarakat Indonesia mampu memahami deretan huruf alfabet yang berbahasa Indonesia. Jadi ada sekitar 2,068% (3,474 juta orang) yang masih buta aksara.

Dari catatan itu, masih terdapat 11 provinsi yang memiliki angka buta huruf di atas angka nasional, terutama pada kisaran usia 15-59 tahun di Indonesia. Kesebelas provinsi itu adalah Papua 25,843%, NTB 7,787%, NTT 5,365%, Sulawesi Barat 4,36%, Kalimantan Barat 4,283%, Sulawesi Selatan 4,686%, Bali 2,908%, Jawa Timur 3,427%, Kalimantan Utara 2,562%, Sulawesi Tenggara 2,510%, dan Jawa Tengah 2,267%.

Sementara 23 provinsi lainnya sudah berada di bawah angka nasional. Namun, tingginya angka melek huruf tidak diimbangi dengan minat baca yang hanya 0,01%, di mana angka itu menempatkan minat baca Indonesia di posisi 60 dari 61 negara.

Baca Juga: Menyingkap Tabloid “Indonesia Barokah” dan Selebaran Ajakan Tidak Memilih Jokowi-Ma’ruf Amin

Data tersebut didapat dari peringkat literasi bertajuk ‘World’s Most Literate Nations’ yang diumumkan pada Maret 2016 oleh Central Connecticut State University (CCSU). Peringkat perilaku literasi yang dirilis CCSU itu dibuat berdasar lima indikator kesehatan literasi negara, yakni perpustakaan, surat kabar, pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Dengan berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei, Indonesia masih unggul dari negara Botswana yang berada di posisi paling bawah. Sementara untuk peringkat pertama diraih oleh Finlandia, tempat kedua ada Norwegia, lalu disusul Islandia, Denmark, Swedia, Swiss, AS, dan Jerman. Lalu, negara-negara Asia lainnya seperti Korea Selatan ada di nomor 22, Jepang peringkat 32, Singapura peringkat 36, dan Malaysia peringkat 53.

Dari catatan tersebut, memang angka melek huruf masyarakat Indonesia sudah tinggi, namun dengan angka minta baca yang masih rendah. Hal itu tentu membuat masih banyak masyarakat Indonesia, termasuk kalangan emak-emak yang tidak terbiasa membaca.

Apalagi, generasi emak-emak yang ada saat ini cenderung bukan termasuk dalam generasi digital natives. Sekadar informasi, generasi digital natives adalah generasi yang lahir di mana teknologi sudah berada di lingkungannya (dimulai tahun 1990). Emak-emak era sekarang lahir, tumbuh dan menjadi dewasa jauh sebelum era digital ini.

Sehingga saat dunia memasuki era digital dan teknologi canggih lewat telepon pintar dan aliran informasi di media sosial, emak-emak tentu bakal terkejut dengan situasi tersebut. Mereka kesulitan bahkan tidak mampu menyaring informasi tersebut lantaran sudah terlanjur malas membaca.

Hal itu ditambah lagi dengan adanya kecenderungan orang Indonesia yang terlalu fanatik dengan tokoh/kelompok tertentu. Sehingga membuat mereka menjadi bias dalam menyebarkan informasi.

Apalagi, emak-emak yang sebagian besar mendapatkan pendidikan di zaman dulu, memang tak dilatih kemampuan untuk berpikir kritis. Hal itu pula yang membuat emak-emak kurang bisa memilah mana informasi atau konten yang bisa dipercaya dan mana yang diragukan. Sehingga informasi apa saja yang dibaca, akan diterima bulat-bulat sebagai kebenaran absolut.

Share: Emak-emak Berpotensi Jadi Korban Hoaks di Pilpres 2019