Isu Terkini

Rencana Pimpinan KPK Ikut Campur Pemanggilan Saksi, Ada Apa Lagi?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menerapkan aturan baru soal pemanggilan saksi-saksi yang akan diperiksa bersama penyidik. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan nantinya penyidik harus mengajukan nama saksi yang hendak diperiksa, keterkaitannya dengan perkara apa, hingga susunan daftar pertanyaan, kepada pimpinan.

“Kami tidak mau ada praktik pemanggilan saksi yang hanya didasarkan dari pertimbangan penyidik, tapi pimpinan harus mengetahui dalam kapasitas apa seorang saksi dipanggil,” kata Nawawi saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (27/01/20).

Dalam rapat dengar pendapat tersebut, sejumlah anggota Komisi III DPR RI mempermasalahkan perihal pemanggilan saksi di komisi antirasuah. Misalnya saja soal status saksi yang dianggap rentan digunakan untuk menjatuhkan saat musim pemilu tiba.

Sebetulnya, Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana sudah mengatur bahwa penyidik memiliki kewenangan untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.

Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK (UU KPK baru) pun, penyidik hanya diwajibkan melaporkan penyadapan yang sedang berlangsung kepada pimpinan KPK secara berkala. Hal ini tertuang dalam Pasal 12C. selain itu, pimpinan KPK menurut undang-undang baru pun bukan merupakan penyidik dan penuntut umum. Status mereka adalah pejabat negara.

Pimpinan KPK Khawatir Sanksi Sosial ke Saksi

Sementara itu, pimpinan KPK merasa risau dengan sanksi sosial yang dialami saksi-saksi yang hadir ke KPK. Misalnya, banyak saksi yang dipanggil KPK namun tidak menjadi tersangka, sementara pemberitaan soal pemanggilan di KPK disebut-sebut malah membuat si saksi terlanjur menerima sanksi sosial meski belum dinyatakan bersalah.

Pada kesempatan yang sama, Ketua KPK Firli Bahuri membenarkan hal tersebut. Pimpinan KPK bakal mengubah mekanisme atau sistem pemanggilan saksi yang selama ini telah berjalan di lembaga antirasuah.

Baca Juga: Penggeledahan Gagal dan Lambat, KPK Makin Dibuat Lemah

“Setiap orang yang dipanggil KPK, belum diapa-apain, baru dipanggil aja, apalagi ditulis running text gitu, A dipanggil KPK, belum menjalani proses apa pun, dia sudah dapat sanksi hukum, sanksi sosial. A dipanggil KPK, anak-istri semuanya monitor,” kata Firli.

“Oleh wartawan ditulis kembali, ‘A diperiksa KPK’. Ditulis lagi. ‘A diperiksa KPK 14 Jam’. Apanya yang diperiksa 14 jam? Tentu kita bertanya,” ucapnya.

Selain itu, Firli menyoroti perihal pemeriksaan saksi yang kerap menghabiskan waktu lama. Ia pun akan bicara kepada setiap penyidik agar dapat melakukan pekerjaan tidak dengan waktu berlarut. “Yang penting semua kita ingin minta keterangan bisa terungkap, bisa memenuhi apa yang disarankan tentang formil maupun materil tentang berita acara pemeriksaan,” ujarnya.

Senada dengan Firli, menurut Nawawi, lamanya pemeriksaan saksi ini bisa dilihat dari pemberitaan media yang kerap tertulis berlangsung selama belasan jam. Padahal, ia mengatakan bahwa berita acara pemeriksaan (BAP) paling tebal hanya 6-7 lembar. Atas situasi itu, ia pun mempertanyakan apa saja yang digali penyidik hingga pemeriksaan belasan jam tersebut.

Untuk itu, nantinya ke depan, Nawawi pun ingin penyidik sudah memiliki daftar pertanyaan yang akan diajukan, sehingga KPK bisa mengirit waktu pemeriksaan.

Nawawi juga mengatakan bahwa pimpinan KPK menginginkan agar saksi yang dipanggil tak perlu terlalu banyak. Misalnya saja ada perkara yang sampai melibatkan 80-100 saksi. Ia menilai persidangan cukup mendengar 20 orang saksi saja. “Kami juga sudah meminta kepada pimpinan agar pemanggilan saksi terhadap perkara agar jangan terlalu banyak-banyak. Berkas jadi tebal,” kata Nawawi yang merupakan mantan hakim itu.

Bambang Widjojanto: Intervensi KPK, Obstruction of Justice

Sementara itu, rencana pimpinan KPK ikut campur terkait pemanggilan sanksi ini mendapat kritik dari mantan komisioner KPK Bambang Widjojanto. Menurutnya, langkah tersebut bisa dikategorikan ke dalam suatu tindakan merintangi penegakan hukum.

“Secara perlahan tapi pasti independensi KPK tengah diporak-porandakan dan diruntuhkan sendiri oleh Komisioner KPK. Pimpinan KPK punya potensi akan merecoki proses penyidikan karena mengontrol dengan melibatkan diri pada hal yang sangat teknis di tahapan proses penyidikan,” kata Bambang dalam keterangan resminya kepada Asumsi.co, Kamis (30/01/20).

Baca Juga: Draf Perpres KPK Jadi Sasaran Kritik, Apa Isinya?

Bambang menilai pimpinan KPK saat ini berpotensi merampok otoritas penyidik dalam mencari alat bukti guna membuktikan kesalahan tersangka. Menurutnya, situasi itu sekaligus mempertontonkan upaya perusakan sistem kontrol internal yang selama ini dikelola oleh Ketua Satuan Petugas, Direktur Penyidikan, dan Deputi Penindakan.

Lebih lanjut, Bambang mengatakan bahwa rencana pimpinan KPK itu justru berlawanan dan bisa menyerang ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Aturan tersebut tertulis bahwa KPK adalah lembaga negara dalam rumpun eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.

“Independensi Penyidik KPK tengah ‘diserang’ oleh pimpinan KPK sendiri. Sangat jelas sekali bahwa tidak ada satu pun pasal di dalam UU KPK yang secara eksplisit menegaskan soal kewenangan para komisioner KPK untuk terlibat secara teknis dalam menentukan saksi yang akan dipanggil penyidik.”

Apalagi, menurut Bambang, pasal yang menyatakan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum sudah dihapus di Undang-undang tersebut. “Jadi, agak absurd, naif dan konyol jika pimpinan KPK yang bukan penyidik tapi mengatur kewenangan penyidik dalam proses penyidikan.”

Bambang menegaskan bahwa seharusnya komisioner KPK seharusnya faham, mahfum dan tahu legal standing posisinya bahwa status mereka bukan lagi penyidik karena hanya sekedar pejabat negara saja (Pasal 21 ayat (3) UU KPK). Lebih dari itu, Pasal 7 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan, penyidiklah yang punya kewenangan untuk memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka.

Apalagi di dalam UU KPK yang baru Pasal 12c, lanjut Bambang, disebut bahwa penyidik hanya wajib melapor secara berkala kepada pimpinan KPK terkait penyadapan, bukan dalam hal pemanggilan saksi.

Kemudian, aturan itu ditopang Pasal 45 ayat (3) UU KPK Baru yang menegaskan bahwa penyidik wajib tunduk hanya pada mekanisme penyidikan yang diatur berdasarkan ketentuan hukum acara pidana; serta tidak ada satupun ketentuan hukum acara yang memberikan legalitas pada komisioner KPK dalam menentukan kriteria, panggilan dan jumlah saksi yang diperlukan penyidik.

Baca Juga: Hanya di Indonesia, Koruptor Justru Disubsidi Rakyat

“Tindakan komisioner KPK mengintervensi otoritas penyidik KPK dapat dituduh sebagai kejahatan karena punya potensi untuk dikonstruksi sebagai tindakan obstruction of justice karena dapat mengganggu independensi dan akuntabilitas proses penyidikan tipikor.”

Sekadar informasi, dalam beberapa kasus di KPK, tindakan perintangan terhadap penyidikan atau obstruction of justice secara langsung atau tidak langsung dijerat pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancamannya adalah penjara 3 tahun hingga 12 tahun, dan atau denda Rp150 juta sampai Rp600 juta.

Pimpinan KPK Dinilai Melebihi Dewan Pengawas

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyayangkan bahwa saat ini sudah terjadi birokratisasi yang sangat panjang dalam penanganan sebuah perkara korupsi. Menurutnya, hal itu justru sangat merugikan kecepatan dalam penanganan sebuah kasus, misalnya saja adanya rencana campur tangan pimpinan KPK dalam pemanggilan saksi.

“Apalagi pimpinan KPK sekarang justru bertindak melebihi dewan pengawas, padahal pimpinan KPK bukan lagi penegak hukum,” kata Fickar saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (30/01/20).

Terkait saksi, Fickar menilai rencana intervensi pimpinan KPK terkait saksi justru akan membuat hilangnya independensi dalam menangani sebuah perkara oleh penyidik dan penuntut dalam konteks kekuasaan kehakiman. Menurutnya, saat ini KPK benar-benar dibawa menjadi sebuah lembaga eksekutif murni yang arah kegiatannya sebagai bagian dari tangan penguasa.

“Karena itu jangan kaget dan jangan heran kalaupun ada perkara korupsi (baik yang diproses biasa maupun OTT yang ditangani KPK adalah para lawan politik dan mereka yang berbeda dengan penguasa,” ujarnya. Fickar menilai keinginan pimpinan KPK itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Apalagi mereka bukan penegak hukum bukan berstatus penyidik atau penuntut umum.

“Walaupun Firli (Ketua KPK) seorang polisi aktif, tapi belum tentu penegak hukum karena menurut UU Kepolisian, penegak hukum itu yang mempunyai SK sebagai penyelidik dan penyidik. Demikian juga Nawawi Polango (Wakil Ketua KPK), walaupun hakim waktu menjadi komisioner KPK, tapi sudah tidak berstatus sebagai hakim lagi. UU KPK No.19/2019 tidak menempatkan komisioner KPK sebagai penegak hukum.”

Share: Rencana Pimpinan KPK Ikut Campur Pemanggilan Saksi, Ada Apa Lagi?