Isu Terkini

Draf Perpres KPK Jadi Sasaran Kritik, Apa Isinya?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pemerintah berencana menerbitkan tiga peraturan presiden (perpres) terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya mengatur perkara Dewan Pengawas, organisasi KPK, dan perubahan status kepegawaian dari karyawan KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Namun, draf itu langsung jadi sasaran kritik. Transparency International Indonesia (TII), misalnya, menyoroti salah satu pasal dalam draf perpres tentang organisasi dan tata kerja pimpinan dan organ pelaksana pimpinan KPK.

Perpres itu merupakan turunan dari UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 1 Bab 1 draf menyatakan bahwa pimpinan KPK merupakan pejabat negara setingkat menteri yang bertangggung jawab kepada presiden sebagai kepala negara.

“Alih-alih memenuhi harapan publik untuk menguatkan KPK dengan mengeluarkan Perppu [Peraturan Pengganti Undang-Undang], saat ini justru Presiden malah berencana mengeluarkan Perpres yang menjadikan KPK di bawah Presiden dan setara kementerian,” kata aktivis TII Wawan Suyatmiko di Jakarta, Jumat (27/12/19).

Menurut Wawan, dengan menempatkan KPK setara kementerian dan bertanggung jawab pada presiden secara langsung justru menjauhi semangat pembentukan KPK sejak awal. Ia menilai hal itu justru rawan dengan konflik kepentingan.

Baca Juga: Kronologi dan Kejanggalan Penangkapan Dua Polisi Penyerang Novel Baswedan

Hal itu juga dianggap tak sesuai dengan mandat United Nations Convention against Corruption (UNCAC)/Konvensi PBB Antikorupsi, The Jakarta Principles, dan Colombo Commentary. Bahkan, jadi sebuah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

Apalagi, pasal 1 dalam draf Perpres tersebut justru terkesan kalau Presiden mau menempatkan KPK di bawah kendalinya. Padahal, dalam UUD 1945, kedudukan presiden sebagai kepala negara terbatas, sementara selebihnya sebagai kepala pemerintahan

Wawan pun meragukan kalau pemberantasan korupsi akan berjalan maksimal, apalagi saat ini KPK justru terus dilemahkan. Ia pun menyarankan agar saat ini publik mulai mengalihkan harapan pemberantasan korupsi kepada Presiden Jokowi menjadi sebuah gerakan kritik.

Publik juga harus selalu mengawasi kinerja Presiden Jokowi dan KPK di bawah pimpinan barunya, Firli Bahuri, dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dikutip dari Kompas, Jumat (27/12), Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zaenur Rohman mengatakan aturan itu justru berupaya menundukkan KPK agar berada di bawah kontrol presiden sepenuhnya. Menurut Zaenur, posisi KPK yang berada di bawah presiden dapat membuat KPK tidak independen lagi.

Zaenur pun khawatir kelak KPK yang harusnya memiliki kekuatan besar dalam hal penegakan hukum justru akan menjadi alat kekuasaan. “Kalau dijadikan alat kekuasaan maka penegakan hukum antikorupsi tidak lagi dipercaya sebagai penegakan hukum yang bebas dari kepentingan-kepentingan politik,” kata Zaenur.

Kritik Juga Menyasar Pasal 2 Draf Perpres KPK

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) huruf e dalam draf perpres. Isi dari Pasal 2 Ayat 1 poin e itu adalah: Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi.

Padahal, dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK tidak ada poin tersebut. “Sepertinya perpres ini hendak menutupi kealpaan pembuat undang-undang yang lupa menentukan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum,” kata Feri.

Baca Juga: Siapa “Jenderal” Penyerangan Novel Baswedan?

Feri pun mengingatkan bahwa perpres tidak dapat difungsikan untuk memperbaiki undang-undang karena perpres harus sesuai dengan produk hukum di atasnya, yakni undang-undang. Lalu, masalah lain dalam draf perpres yang juga disoroti adalah perihal kemunculan jabatan Inspektorat Jenderal yang tercantum pada Pasal Pasal 31 hingga Pasal 34.

Misalnya saja dalam Pasal 32, tertulis bahwa “Inspektorat Jenderal mempunyai tugas menyelenggarakan pengawasan intern di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi.” Feri menilai inspektorat jenderal merupakan organisasi ilegal dalam tubuh KPK karena bertentangan dengan UU KPK yang sudah mengatur adanya Dewan Pengawas KPK.

“Inspektorat Jenderal ini lembaga ilegal yang dimunculkan dan tidak terdapat di UU 30 Tahun 2002 dan UU 19 Tahun 2019, apalagi sudah ada Dewan Pengawas,” ujar Feri. Terkait hal itu, Feri menduga, inspektorat jenderal sengaja dimunculkan guna menggusur posisi Direktorat Pengawas Internal yang sudah lebih dahulu ada di KPK.

“Jadi, Istana satu per satu hendak menyingkirkan kekuatan di tubuh KPK,” ujarnya.

Mahfud MD Tak Ambil Pusing Kritik Draf Perpres KPK

Menko Polhukam Mahfud MD tak terlalu mempermasalahkan kritik. Ia bahkan mempersilahkan kalau ada yang mau menguji draf perpres itu lantaran dianggap kurang layak.

“Ya nggak apa-apa dikritik, nanti dilihat sajalah. Itu kan gampang, nih, kita semuanya ingin baik. LSM tentu ingin baik, kita juga ingin baik gitu. Nanti kalau di antara ingin baik dan ingin baik itu kewenangan ada pada siapa, yang berwenang aja membuat dulu,” kata Mahfud di Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (30/12).

Baca Juga: Hanya di Indonesia, Koruptor Justru Disubsidi Rakyat

Menurut Mahfud, ada sejumlah cara untuk menguji peraturan yang dibuat pemerintah. “Nanti kalau nggak baik juga ya diujikan saja. Bisa direvisi lagi melalui executive review, judicial review, dan sebagainya. Tapi masukan-masukan itu tentu harus ditampung,” ujar mantan ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.

Share: Draf Perpres KPK Jadi Sasaran Kritik, Apa Isinya?