General

Hanya di Indonesia, Koruptor Justru Disubsidi Rakyat

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih jauh dari harapan. Mulai dari perilaku koruptor yang tak punya urat malu, hukuman yang tak sesuai, hingga sulitnya menumpas akar korupsi itu sendiri. Mirisnya lagi, koruptor justru disubsidi oleh uang rakyat.

Pada 2015 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebetulnya pernah mendorong agar koruptor dikenai beban membayar biaya sosial. Hal itu bertujuan selain membuat efek jera, penerapan hukuman biaya sosial korupsi juga diharapkan bisa memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.

Sayangnya, hukuman itu bukanlah perkara mudah untuk diterapkan dalam aturan hukum di Indonesia. Padahal sebetulnya, gagasan hukuman biaya sosial itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang malah cenderung makin ringan, yakni dari dua tahun 11 bulan pada tahun 2013, lalu turun jadi dua tahun delapan bulan pada 2014, dan menjadi dua tahun satu bulan pada tahun 2016.

Jerat Hukuman Koruptor Makin Ringan

Perlu diketahui, tren vonis hukuman kepada koruptor di Indonesia itu justru makin ringan. Berdasarkan data yang dirangkum Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Semester I 2016, hukuman untuk koruptor didominasi hukuman kategori ringan. Selama periode Januari-Juni 2016, ada 275 terdakwa atau alias 71,6 persen yang divonis antara 0-4 tahun.

Sementara hukuman 4-10 tahun dijatuhkan kepada 37 terdakwa. Lalu, sebanyak tujuh orang divonis hukuman lebih dari 10 tahun. Mirisnya, ternyata tercatat tak ada koruptor yang dihukum maksimal 20 tahun penjara atau bahkan seumur hidup.

Baca Juga: Dewan Pengawas KPK Jangan Jadi “Jebakan Batman”

Kalau dirata-rata, pada Semester I 2016 ini, hukuman bagi tiap koruptor itu hanya dua tahun satu bulan. Bahkan, angka rata-rata hukuman ini hanya sedikit selisihnya dengan tren tahun-tahun sebelumnya. Coba saja kita lihat sejak 2012 lalu di mana vonis untuk koruptor malah sebagian besar hanya mendapatkan hukuman 1-1,5 tahun.

Belum lagi kalau bicara soal peluang terdakwa korupsi yang berpeluang mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat di masa mendatang. Tengok saja baru-baru ini Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada Annas Maamun yang merupakan terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan di Provinsi Riau.

Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Ade Kusmanto mengatakan, grasi tersebut ditetapkan pada 25 Oktober 2019. “Bahwa memang benar, terpidana H Annas Maamun mendapat grasi dari Presiden berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 23/G Tahun 2019 tentang Pemberian Grasi, tanggal ditetapkan tanggal 25 Oktober 2019,” kata Ade dalam siaran pers, Selasa (26/11/19) lalu.

Ade mengatakan, grasi yang diberikan berupa pemotongan masa hukuman selama satu tahun. Artinya, Annas hanya akan menjalani enam tahun masa hukuman kendati divonis tujuh tahun dalam upaya kasasinya. Jokowi menyebut, grasi itu diberikan atas pertimbangan kemanusiaan.

“Memang dari sisi kemanusiaan memang umurnya juga sudah uzur dan sakit sakitan terus. Sehingga, dari kacamata kemanusiaan itu diberikan,” kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu (27/11).

Sayangnya, grasi yang diberikan Jokowi untuk Maamun itu justru dinilai terlalu kompromis. Seharusnya, sebelum mengambil keputusan Jokowi sebagai kepala negara mesti meminta pertimbangan ke KPK, yang merupakan lembaga yang tahu persis tindakan koruptif yang dilakukan terpidana.

Baca Juga: Ramai-Ramai Mengomentari Dugaan Kepala Daerah Cuci Uang lewat Kasino

Komitmen mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut dalam pemberantasan korupsi pun akhirnya semakin diragukan. Ditambah lagi sebelumnya ia enggan mengeluarkan Perppu KPK, yang dinilai bisa jadi penyelamat dari upaya memperlemah komisi antirasuah itu.

UU Tipikor ‘Paksa’ Rakyat Subsidi Koruptor

Tren hukuman pada koruptor yang cenderung makin ringan disinyalir karena Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menggunakan pidana minimum. Dalam praktiknya, hakim cenderung menjatuhkan hukuman minimum yang terdapat pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.

Hukuman minimal Pasal 2 UU Tipikor adalah 4 tahun dan Pasal 3 UU Tipikor adalah 1 tahun penjara. Nah, tren hukuman yang makin ringan tersebut justru sejalan dengan dominasi vonis kasus korupsi selama ini.

Kalau vonis korupsi tersebut dibandingkan dengan jumlah kerugian negara, maka vonis ringan masih mendominasi. Maka dari itu, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinilai perlu direvisi karena disusun tanpa mempertimbangkan rasionalitas pelaku maupun calon pelaku korupsi.

“Negeri ini melihat korupsi itu belum sebagai extraordinary crime. Padahal dunia sepakat bahwa korupsi itu adalah serious crime sehingga idealnya cara pemberantasan korupsi pun harus serius,” kata Rimawan Pradiptyo, Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) saat dihubungi Asumsi.co, Senin (23/12/19).

Menurut Rimawan, hukum di Indonesia itu belum serius sehingga cara negara menangani korupsi pun hanya sebagai kejahatan biasa. “Misalnya saja Hal itu dapat dilihat dari penetapan denda maksimum bagi koruptor sebesar Rp1 miliar. Di sisi lain justru tidak ada batasan berapa jumlah nominal uang yang bisa dikorupsi oleh para koruptor,” ujarnya.

Disadari atau tidak, Rimawan mengatakan UU Tipikor yang digunakan untuk memberantas korupsi itu justru menciptakan sistem yang memaksa rakyat menyubsidi para koruptor sehingga perlu dikaji ulang. “Meskipun koruptor bisa dijatuhi hukuman pengganti, kenyataan di lapangan menunjukkan besarnya biaya eksplisit korupsi tidak terkait dengan penjatuhan hukuman pembayaran uang pengganti,” ujarnya.

Rimawan menjelaskan bahwa data memperlihatkan total biaya eksplisit korupsi pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA selama 2001-2012 mencapai Rp62,76 triliun berdasarkan harga berlaku atau Rp168,19 triliun berdasarkan perhitungan konstan pada 2012.

Nah mirisnya, besarnya total hukuman finansial yang dijatuhkan kepada koruptor hanya sebesar Rp6,27 triliun saja berdasarkan harga berlaku atau Rp15,09 triliun berdasarkan harga konstan 2012. Lebih lanjut, besaran total hukuman finansial yang dijatuhkan pada koruptor periode 2001-2012 hanya sebesar 8,97 persen dari total biaya eksplisit akibat korupsi.

Sekadar informasi, perhitungan biaya sosial korupsi yang pernah dikaji KPK tersebut terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Nah, biaya eksplisit dalam hal ini merupakan biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi di antaranya meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.

Baca Juga: Menghukum Mati Koruptor Itu Gampang, yang Sulit Adalah Menyingkirkan Korupsi dari Sistem

Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi. Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan. Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya empat kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.

Lebih luas lagi, nilai kerugian negara selama rentang 2001-2015 diperkirakan mencapai Rp203,9 triliun. Namun, total hukuman finansial yang diberikan ke koruptor hanya 10,42 persen saja atau berkisar pada angka Rp21,26 triliun. Ini belum termasuk biaya sosial korupsi.

Untuk koruptor kelas bawah dengan nilai korupsi di bawah Rp 10 juta, hanya dihukum rata-rata 3,428 persen lebih tinggi dari kerugian negara yang diciptakan. Sementara koruptor kelas atas dengan nilai korupsi mencapai Rp25 miliar ke atas, hanya dihukum rata-rata 8,3 persen dari nilai kerugian negara.

Pada situasi inilah, kerugian negara yang tidak dikembalikan koruptor kelas kakap terseut seolah mendapat subsidi oleh rakyat. “Lalu siapa yang menanggung kerugian sebesar Rp203,9 triliun-Rp21,26 triliun = Rp182,64 triliun tersebut? Tentu saja rakyat sebagai pembayar pajak di negeri ini yang harus menanggung beban tersebut,” kata Rimawan.

Dalam hal ini terjadi pemberian subsidi dari rakyat kepada koruptor. Itu artinya biaya sosial kejahatan korupsi itu harus ditanggung oleh para pembayar pajak seperti ibu-ibu pembeli susu formula, mahasiswa dan pelajar yang membeli buku teks, orang sakit yang membeli obat-obatan, serta generasi di masa mendatang.

Padahal, kalau mau dihitungm, uang kerugian senilai Rp182,64 triliun tersebut bisa digunakan untuk menggratiskan biaya BPJS hingga Rp60.000 per bulan. Tak hanya itu, nominal itu juga bisa dimaksimalkan untuk meluluskan 182.000 magister luar negeri atau 45.500 doktor luar negeri, serta meluluskan 546.000 sarjana dengan standar PTN top Indonesia, serta bisa untuk membangun 600 rumah sakit standar internasional

Nilai kerugian itu juga bisa digunakan untuk membangun MRT sepanjang 202 km, membangun jalan tol sepanjang lebih dari 10.000 km. Juga bisa pula dipakai untuk membangun 182 stadion sepakbola standar internasional dan membiayai 20 orang Rio Haryanto selama 40 tahun di ajang balapan Formula 1 (F1).

Dari kondisi ini, UU Tipikor memang perlu segera diamandemen. Nantinya, dalam penetapan besaran hukuman denda dan uang pengganti kepada koruptor, akan lebih baik bisa disesuaikan dengan besarnya biaya sosial korupsi yang ditimbulkan.

Ke depan, lanjut Rimawan, biaya sosial korupsi sebaiknya dimasukkan dalam pasal-pasal penentuan hukuman baik hukuman denda maupun uang pengganti.

Menurut Rimawan, jika hukuman biaya sosial korupsi tersebut bisa diterapkan, maka tentu bisa menjamin pemiskinan para koruptor dan menciptakan efek jera yang optimal. Sayangnya, boro-boro mau menerapkan hukuman tersebut, para koruptor justru masih dijerat dengan hukuman ringan.

“Sebetulnya yang lebih berbahaya dari korupsi itu adalah kerugian perekonomian negara. Nah kerugian perekonomian negaranya itu berapa? Itu minimum kalikan 2,5 kali lipat dari berapapun keuangan negara yang tadi mengalami kerugian.”

Menurut perhitungan Rimawan, kerugian negara selama rentang 2001-2015 di atas yang diperkirakan mencapai Rp203,9 triliun itu dikalikan 2,5 kalinya yakni mencapai angka Rp540 triliun. “Itu kira-kira adalah magnitude dari besarnya kerugian perekonomian. Itu minimum ya karena di kasus-kasus tertentu itu bisa 18 kali lipat dari berapapun uang negara yang dikorupsi.”

Kalau pada kasus terkait dengan konsesi lahan, misalnya terkait environment, itu jauh lebih tinggi. Rimawan menjelaskan bahwa yang berlaku bukan lagi 2,5 kali lipat, tapi sudah 18 kali lipat.

Kalau sudah tahu bahwa seorang koruptor itu bisa merusak dua hal sekaligus yakni perekonomian dan keuangan negara dengan nilai yang sangat besar, tapi kenapa hanya diberikan hukuman ringan?

“Sekarang pertanyaannya kalau beban kerugian negaranya 203,9 triliun. Kalau dihitung beban perekonomian negaranya adalah 540 triliun, lah kok bisa hukumannya cuma 21 triliun? Itu rumus dari mana? Kan membingungkan.”

Share: Hanya di Indonesia, Koruptor Justru Disubsidi Rakyat