Isu Terkini

Lebih Penting ketimbang Larangan “Hedon”

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Para polisi agaknya harus buru-buru membereskan feed media sosial masing-masing. Instagram, Facebook, Twitter, semua diawasi institusi. Tak main-main, ancaman hukuman menunggu jika tak patuh.

Dua hari lalu, Mabes Polri mengeluarkan peraturan disiplin anggota Polri, kode etik profesi Polri, dan kepemilikan barang mewah oleh pegawai negeri di Polri. Aturan tersebut diterbitkan melalui Surat Telegram Nomor: ST/30/XI/HUM.3.4./2019/DIVPROPAM tertanggal 15 November 2019 yang ditandatangani oleh Kadiv Propam Polri Irjen Pol Listyo Sigit Prabowo.

Surat telegram itu menyebutkan bahwa Polri meminta jajarannya untuk bersikap sederhana, sejalan dengan cita-cita mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Polri juga meminta para pegawai negeri di lingkungan Polri untuk bersikap antikorupsi dan menerapkan pola hidup sederhana.

Lebih rinci, sejumlah poin pola hidup sederhana yang harus jadi pedoman yakni tidak menunjukkan, memakai, dan memamerkan barang-barang mewah dalam kehidupan sehari-hari, baik di kedinasan maupun di ruang publik. Selanjutnya, polisi diminta hidup sederhana di lingkungan internal Polri maupun kehidupan bermasyarakat serta tidak mengunggah foto dan video ke media sosial yang menunjukkan gaya hidup mewah karena dapat menimbulkan kecemburuan sosial.

Para polisi juga diminta menyesuaikan diri dengan norma hukum, kepatutan, dan kepantasan kondisi lingkungan tempat tinggal, serta menggunakan atribut Polri yang sesuai untuk penyamarataan. Terakhir, para pimpinan, kasatwil, dan perwira diminta memberikan contoh perilaku dan sikap yang baik dengan tidak memperlihatkan gaya hidup mewah, terutama Bhayangkari dan keluarga besar Polri.

Setidaknya ada dua alasan yang menjadi latar belakang penerbitan surat tersebut. Pertama, anggota kepolisian diharapkan dapat memberi teladan bagi masyarakat.

Baca Juga: Restorative Justice dan Eks Koruptor Ikut Pilkada

“Sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, dia juga punya sebuah kewajiban untuk memberikan keteladanan kepada masyarakat,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (18/11/19) malam.

Bahwa dengan pola hidup sederhana itu kan juga menunjukkan sebuah kebersahajaan dalam hidup. Kedua, untuk mengingatkan anggota Polri agar tidak menyimpang dari tugasnya.

“TR itu juga dimaksudkan supaya sebuah rambu-rambu pembatas dan pengingat bahwa anggota Polri senantiasa harus betul-betul menjaga dalam kaidah, dan koridor tugasnya. Tidak boleh korupsi, tidak boleh memeras, tidak boleh menyakiti hati masyarakat yang terkait dengan kepentingan individual yang memperkaya diri,” ujarnya.

Polisi Hedon Terancam Sanksi

Polisi yang kedapatan memamerkan gaya hidup mewah di media sosial terancam diberi sanksi berupa kurungan hingga pencopotan jabatan. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal mengatakan bahwa anggota yang melanggar akan diperiksa terlebih dahulu.

“Kalau misalnya terbukti, kami tindak sesuai mekanismenya. Bisa sampai ancaman kurungan, demosi, pencopotan jabatan,” kata Iqbal di Gedung The Tribrata, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/19).

Menurut Iqbal, anggota kepolisian harusnya melayani segenap masyarakat. Melalui kewenangan yang dimiliki anggota polisi, nantinya masyarakat bakal melihat dan mencontoh. Sehingga Polri menilai konten yang memamerkan barang-barang mewah akan menimbulkan kesan negatif di tengah masyarakat.

“Tapi kalau menampilkan sepeda motor, sepeda motor Harley (Davidson), mobil, walaupun itu pinjam, tapi persepsi publik akan sangat negatif. Untuk itu, Pak Kapolri menerapkan batasan kepada semua anggota Polri,” kata Iqbal.

Di sisi lain, Iqbal menuturkan, anggota yang mengunggah konten humanis di media sosial justru akan diberi reward. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut reward seperti apa yang dimaksud.

Jauh sebelumnya, Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur pernah melontarkan anekdot, bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia. Ketiganya adalah patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng Iman Santosa. Ini bentuk sindiran bahwa sulit mencari polisi jujur di negeri ini.

Baca Juga: Berkencan Menonton Film Polri, Dikelilingi Polisi: Sebuah Pengalaman

Indonesia sebetulnya sudah punya sosok polisi sederhana pada diri Hoegeng Iman Santoso pada medio 1970-an, yang patut dijadikan role model. Dalam buku Hoegeng, Polisi, dan Menteri Teladan yang ditulis Wakil Editor Desk Nusantara Harian Kompas Suhartono, Hoegeng disebut sebagai sosok polisi yang bersahaya, sederhana, dan antikorupsi saat menjadi pejabat era Presiden Soekarno dan Soeharto.

Setelah diberhentikan sebagai Kapolri oleh Presiden Suharto, Hoegeng sempat diusulkan menjabat Duta Besar untuk Swedia, Dubes Kerajaan Belgia, Benelux dan Luxemburg. Namun, Hoegeng justru menolaknya.“Tugas apa pun saya akan terima, asal jangan jadi dubes, Pak,” jawab Hoegeng menolak tawaran Presiden Soeharto dalam Hoegeng, Polisi Idaman dan Kenyataan.

Kala itu, Hoegeng beralasan bahwa sebagai aparat penegak hukum mestinya ia hanya diamanahi tugas sebagai seorang polisi, bukan jabatan lain. Belum lagi menjadi seorang dubes mesti memiliki keilmuan diplomatik. Namun, sang anak Aditya Soetanto Hoegeng sempat membantah sang ayah.

“Kita kan belum tahu luar negeri, Pap. Kalau Papi jadi dubes, kita bisa keluar negeri gratis,” kata Aditya kepada Hoegeng. Namun, Hoegeng berang. Ia menggebrak meja makan mendengar permintaan anaknya itu. “God verdomme! Kamu tahu, kalau papimu jadi dubes, kerjanya hanya seremonial seperti bertemu dengan perwakilan pemerintah negara asing sambil minum atau makan. Padahal di negara kita ini banyak rakyat yang tengah kesulitan hidupnya, dan untuk makan dan minum saja sulit,” ucap Hoegeng.

Hoegeng adalah polisi panutan yang antikorupsi, yang sederhana, terbuka dan jujur, bahkan tak mau kompromi dalam penegakan hukum. Misalnya saja saat berada di kantor, ia justru tak sungkan menerima tamu di hadapan anak buahnya sehingga bisa didengar oleh anak buahnya yang berada di ruang kerjanya.

Hal itu jelas untuk menghindari persepsi negatif yang bisa menganggap adanya pembicaraan rahasia antara Hoegeng dan tamunya. Itu sebagian dari langkah kecil  yang dilakukannya dalam mencegah korupsi.

Selain itu, Hoegeng juga menolak berbagai pemberian dan hadiah seperti barang rumah tangga dan kendaraan. Ia khawatir pemberian itu dapat mempengaruhi sikapnya sebagai aparat penegak hukum. Sebagai pejabat negara, hidupnya pun jauh dari kemewahan.

Walaupun menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng tidak memanfaatkan jabatannya untuk mengumpulkan harta kekayaan. Bahkan, Hoegeng sempat membayar rumah sewaannya dengan wesel. Tak hanya itu saja, ia juga pernah meminta usaha Toko Kembang yang dirintis sang istri ditutup agar saat menjalankan tugasnya sebagai polisi, tak terjadi konflik kepentingan.

Hoegeng juga menolak berbagai fasilitas terkait jabatan yang dinilai berlebihan. Misalnya pemberian tanah kavling, rumah dan mobil dinas. Termasuk menolak pengawalan sehari-hari dan penjagaan di rumah yang ditempatinya.

Baca Juga: Dendam di balik Peristiwa Bom Medan

“Kalau mau menghilangkan korupsi di negara ini sebenarnya gampang. Ibaratnya, kalau kita harus mandi dan membersihkan badan, itu semua harus dimulai dari atas ke bawah. Mmebersihkan korupsi juga demikian. Harus dimulai dengan cara membersihkan korupsi di tingkat atas atau pejabatnya lebih dulu, lalu turun ke badan atau level pejabat eselonnya, dan akhirnya ke kaki hingga telapak atau pegawai di bawah,” kata Hoegeng.

Kebijakan Larangan Polisi Hidup Hedon Jangan Sekadar Pencitraan

Gaya hidup sederhana Hoegeng itu mestinya bisa menjadi pegangan aturan dari Polri tersebut. Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengapresiasi aturan yang mengharuskan anggota polisi untuk hidup sederhana tanpa pamer kemewahan. Sehingga polisi benar-benar bisa jadi panutan masyarakat.

“Imbauan ini bagus, meskipun yang menandatangani Kadivpropam, Listyo Sigit Prabowo, tetapi saya melihatnya itu konsep Kapolri. Pak Listyo itu sudah menjabat sebagai Kadivpropam tidak dalam dua minggu terakhir ini kan? Secara konsep, itu bagus untuk mengingatkan keluarga besar Polri untuk hidup sederhana dan tak bergaya hidup mewah,” kata Bambang Rukminto saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (20/11/19).

Hanya saja, Bambang mengatakan bahwa jangan sampai aturan tersebut hanya sekadar jadi bahan pencitraan kepolisian saja. Apalagi kalau aturan itu sama sekali tak menyentuh substansi dari tujuan Polri itu sendiri yakni agar anggota kepolisian bisa benar-benar hidup sederhana dan jadi panutan masyarakat.

Maka dari itu hal yang perlu diperhatikan lebih jauh oleh Polri adalah bagaimana aturan itu dibuat agar bisa diterapkan dengan baik. Misalnya saja, nantinya lebih jauh aturan itu bisa berlanjut ke pelaporan harta kekayaan anggota polisi.

“Hanya saja akan lebih baik lagi kalau aturannya menyentuh substansi yang lebih mendasar, dengan lebih radikal misalnya mewajibkan anggota atau calon pejabat Polri membuat Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sehingga bisa diketahui bagaimana profil kekayaan anggota Polri, sebelum dan sesudah menjabat,” ucap Bambang.

Menurut Bambang, dengan pendapatan normal seorang aparatur negara, memang sebenarnya tak mungkin anggota kepolisian bisa bergaya hidup mewah. Pada dasarnya memang gaya hidup itu merupakan hak masing-masing. Namun, ia melihat dari mana asal biaya untuk bergaya hidup mewah bagi aparat negara itu merupakan kewajiban untuk melaporkannya.

Perlu diketahui, mengutip PP No. 17/2019, gaji terendah anggota Polri adalah Rp1.643.500,00 untuk pangkat Bhayangkara Dua dengan masa kerja 0 tahun (sebelumnya Rp1.565.200,00). Sementara gaji tertinggi untuk anggota Polri dalam jajaran Tamtama (dengan pangkat Ajun Brigadir Polisi masa kerja 28 tahun) adalah Rp2.960.700,00 (sebelumnya Rp2.819.500,00).

Sementara jajaran Bintara, gaji terendah diterima anggota Polri yang berpangkat Brigadir Polisi Dua dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp2.103.700,00 (sebelumnya Rp2.003.300,00). Lalu, gaji tertinggi untuk anggota Bintara Polri (Ajun Inspektur Polisi Satu masa kerja 32 tahun) adalah Rp4.032.600,00 (sebelumnya Rp3.838.800,00).

Untuk jajaran Perwira Pertama, gaji terendah diterima anggota Polri yang berpangkat Inspektur Polisi Dua dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp2.735.300,00 (sebelumya Rp2.604.400,00), tertinggi untuk anggota polisi berpangkat Ajun Komisaris Polisi dengan masa kerja 32 tahun yaitu sebesar Rp4.780.600,00 (sebelumnya Rp4.552.700,00).

Sementara jajaran Perwira Menengah, gaji terendah diterima anggota Polri berpangkat Komisaris Polisi dengan masa kerja 0 tahun sebesar Rp3.00.100,00 (sebelumnya Rp2.856.400,00), tertinggi untuk anggota polisi berpangkat Komisaris Besar Polisi dengan masa kerja 32 tahun sebesar Rp5.243.400,00 (sebelumnya Rp4.992.000,00).

Sedangkan untuk jajaran Perwira Tinggi, gaji terendah diterima anggota Polri berpangkat Brigadir Jenderal Polisi masa kerja 0 tahun sebesar Rp3.290.500,00 (sebelumnya Rp3.132.700,00), dan tertinggi untuk Jenderal Polisi masa kerja 32 tahun sebesar Rp5.930.800,00 (sebelumnya Rp5.646.100,00).

Ada pun detail gaji pokok anggota Polri tersebut bisa diklik di link ini. Ketentuan di atas mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019. “Peraturan in mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2019, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 13 Maret 2019.

“Bukan seperti sekarang hanya mengandalkan pendapatan, tetapi bisa bergaya hidup mewah. Ada anggota Polri yg mempunyai usaha keluarga, atau dapat warisan orang tua, sehingga bisa punya penghasilan lebih. Tetapi lebih banyak yang tak punya usaha lain tetapi bergaya hidup mewah, ini yang patut dipertanyakan. Dari mana biaya kemewahan itu berasal.”

Makanya, menurut Bambang, kalau serius dan bukan sekedar pencitraan, harusnya diikuti dengan kebijakan yang lebih substansial yakni LKPHN itu. “Jangan sampai hanya sekadar tak boleh berdandan mewah, tetapi ternyata punya banyak simpanan properti atau emas batangan yang tak bisa dipertanggungjawabkan asalnya,” kata Bambang.

Share: Lebih Penting ketimbang Larangan “Hedon”