Isu Terkini

Dendam di balik Peristiwa Bom Medan

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Rabu, 13 November 2019 pagi, orang-orang mulai sibuk melakukan aktivitas mereka. Ada yang belajar, bekerja, masih bermacet-macetan di jalan, bertani, sampai melakukan pelayanan publik. Begitu pula dengan anggota kepolisian yang membantu permintaan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Namun, pelayanan SKCK di Mapolrestabes Medan, Sumatera Utara, pada pagi itu dihentikan bom bunuh diri. Pukul 08.45 WIB, pelaku berinisial RMN (24) meledakkan diri dan tewas di lokasi kejadian. RMN yang datang mengenakan atribut ojek online itu mengaku ingin membuat SKCK.

Alih-alih mengurus surat keterangannya, ia malah meledakkan diri di area parkir Mapolrestabes Medan. Serangan yang sempat diduga dilakukan sendiri atau lone wolf ini juga mengakibatkan adanya 6 orang yang menjadi korban. Empat korbannya merupakan anggota kepolisian, satu pekerja harian lepas, dan seorang warga. Tiga kendaraan dinas dan satu kedaraan pribadi pun rusak karenanya.

Pada Senin (18/11), pihak kepolisian membuka fakta baru. RMN dipastikan tergabung dalam jaringan Jamaah Ansharut Daullah (JAD). Ia merupakan anak buah Y alias Yasir alias Anto, pemimpin JAD wilayah Sumatera Utara hingga Aceh. Polisi juga memastikan bahwa RMN sudah merencanakan aksinya bersama kawan-kawannya yang juga terlibat dalam pembuatan bom.

Lone Wolf, Strategi Penyerangan Baru

Seperti yang sudah disebutkan, RMN sempat diduga melakukan aksinya sendirian. Memang diketahui bahwa ia datang sendirian ke Mapolrestabes Medan. Sebelumnya, sempat terjadi perbedaan pernyataan antara pihak kepolisian dan pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD sempat mengatakan bahwa pelaku berjumlah lebih dari satu orang. “Penanganan soal bom yang saat ini sudah diketahui pasti korban jiwa ada satu pelaku, dan empat aparat kita dari polisi yang satu dari orang biasa luka-luka. Yang satu bomber-nya lari dan masih pengejaran,” katanya saat ditemui wartawan di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (13/11).

Sementara itu, pada Kamis (14/11), polisi menyanggah hal tersebut. “CCTV merekam kalau pelaku ini seorang diri melakukan bom bunuh diri di halaman Polrestabes Medan,” ucap Dedi.

Aksi yang dilakukan seorang diri ini, menurut pengamat intelijen dan militer Nuning Kertopati, bisa jadi karena dendam. Namun, harus diketahui dulu motifnya.

“Dalam kasus bom Medan tentu yang utama kita harus ketahui embrio adanya aksi lone wolf di mana seseorang bertindak atas kemauan sendiri. Jangan abaikan sentimen pribadi yang muncul dalam niatan pelaku. Bisa karena dendam juga,” ujarnya pada Asumsi.co, Kamis (14/11).

Joevarian Hudiyana, kandidat doktor psikologi Universitas Indonesia, menuturkan bahwa memang kemauan untuk melakukan bom bunuh diri itu terjadi. “Karena dia itu merasa bahwa yang dia lakukan itu bermoral. Yang dia lakukan itu sudah menjadi sesuatu yang baik di mata Tuhan. Dan ketika dia mati, dia masuk surga… Dia tahu bahwa itu sesuatu yang baik secara psikologis di kepala dia,” katanya.

Peristiwa bom bunuh diri dengan cara lone wolf ini bukanlah hal baru di dunia terorisme. Beberapa negara yang sudah terpapar paham radikalisme ISIS sudah pernah melakukannya. Bahkan yang menjadi pelakunya adalah perempuan. Negara-negara tersebut misalnya Afghanistan, Irak, Suriah, dan beberapa wilayah lain di Timur Tengah.

Kemudian, ada juga beberapa aksi lone wolf di Indonesia, seperti bom Sibolga (2019), bom Mapolresta Solo (2016), bom di Mall Alam Sutera (2015), dan aksi teror di Cikokol, Tangerang (2016.

Kenapa Dendam pada Polisi?

Seperti kata Nuning, aksi yang menyerang pihak kepolisian ini bisa jadi karena adanya dendam. “Dianggap polisi yang menghukum kaumnya [para teroris],” tutur Nuning. Senada dengan Nuning, peneliti terorisme dari Universitas Indonesia Ridwan Habib juga sempat menuturkan pernyataan soal ini.

“Karena polisi paling banyak menangkap, memenjarakan, membunuh teman-teman [teroris]. Sehingga kemudian mereka melakukan semacam balas dendam,” kata Ridwan seperti dilansir dari Tirto.

Peristiwa penyerangan kantor polisi di Medan kemarin bukan kali pertama terjadi di 2019. Terakhir, pada pada hari kemerdekaan Indonesia, anggota Polsek Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur diserang Imam Mustofa (31). Sang korban, Aiptu Agus Sumarsono terluka dan harus dibawa ke RS RKZ Surabaya. Sedangkan dari aksi tersebut, polisi melakukan penelusuran di kos Imam dan menemukan buku literasi soal ISIS dan benderanya. Polisi pun turut menyita alat penyerangan berupa celurit.

Sementara di 3 Juni 2019, Rofik Asharuddin (22) meledakkan dirinya di depan pos pantau simpang Tugu Kartasura, Jawa Tengah. Ia terkena bahan pedelak di tubuhnya. Lokasi penyerangan pun terlihat baik-baik saja.

Joe yang sedang menggarap disertasi “How the Awakening of Significance Threat And Collectivistic Shift Determine Violent Extremism” ini juga setuju dengan Nuning dan Ridwan. Menurutnya, rasa dendam ini memang mungkin saja ada dalam diri anggota teroris atau yang disebut sebagai ekstrimisme militan oleh kalangan ilmiah. Ia menjelaskan bahwa ekstrimisme itu ibarat sebuah tangga.

Tangga paling bawah terdiri dari orang-orang yang ada di tengah kita dan merasa hidupnya hampa sehingga mencari makna hidup yang lain. Inilah yang menjadi celah masuknya ia ke dalam kelompok ekstrimis. Sedangkan tangga paling atas, ia siap mengorbankan dirinya.

“Tangga paling atas itu tangga di mana orang udah siap melakukan bom bunuh diri atau tindakan-tindakan yang sangat ekstrem… Mengorbankan dirinya, nyawanya,” ujarnya kepada Asumsi.co, Senin (18/11).

Semakin tinggi tangga, semakin terdoktrin isi otak mereka. Kebencian dan rasa dendam akan “musuh” mereka pun menguat, termasuk kebencian dan dendam pada polisi. Joevarian mengungkapkan bahwa bisa jadi ada dua penyebab yang membuat mereka memiliki kebencian dan rasa dendam.

Yang pertama adalah adanya anggapan bahwa para teroris yang dibunuh pihak kepolisian itu merupakan teman atau keluarga mereka. “Ibaratnya kayak kita deh. Kita punya temen, sahabat baik gitu, ya. Kita punya keluarga yang memang selama ini kita kasihi, kita sayangi sehari-hari. Terus tau-tau dibunuh sama orang yang kita enggak tahu atau pihak-pihak yang selama ini kita anggap musuh gitu. Gimana perasaan kita?” tuturnya.

Kemudian yang kedua, bisa jadi karena mereka merasa sudah satu dengan anggota kelompok ekstrimis yang lain. “Kelompok-kelompok ekstrimis ini cenderung punya… apa, ya… rasa kebersamaan yang sangat tinggi biasanya. Itu istilah ilmiahnya, namanya grup entitativity-nya sangat tinggi. Nah, ketika itu terjadi, jadi ya enggak harus orang-orang jadi sahabat dia. Itu pun dia juga udah akan merasa marah gitu lho. Karena ‘ini orang-orang di kelompok saya nih, ini macem-macem nih musuh saya’.”

“Identitasnya dia tuh ngasih kebermaknaan buat dia. Identitas ekstrimis ini. ‘Oh, jadi ini lah memang kalau mau jadi orang baik ya saya harus gabung dengan kelompok ekstrimis ini, saya harus menjalani tuntutan-tuntutan yang ada dalam kelompok ini’, gitu” tambahnya.

Polisi dan Pemerintah: Musuh Bersama

Kembali pada perumpamaan tangga yang dijelaskan Joe, ia sempat mengatakan bahwa para anggota ekstrimis ini mendapatkan ilmunya dari berbagai media. Orang-orang yang, menurut perumpamaan Joe, ada di ‘tangga menengah’ belajar ilmu agama dari internet juga.

“Di sini, kebencian terhadap pihak-pihak yang menjadi musuh terhadap kelompok semakin kuat, termasuk kebencian pada polisi,” jelas Joe.

Sama dengan Joe, Nuning berpendapat bahwa terorisme menjadi musuh bersama. Mereka juga menjadi target TNI-Polri. Namun, pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi tugas aparat penegak hukum.

“Sesungguhnya pemberantasan terorisme ini bukan hanya tanggung jawab tunggal polisi saja, tetapi secara terintegrasi melibatkan Departemen Agama, Sosial, dan Pendidikan. Juga pelibatan Toga Tomas Tobud di tengah masyarakat.  BNPT juga harus bekerja lebih ke arah pendidikan masyarakat, bukan melalui seminar-seminar saja tapi turun ke bawah, ke organisasi-organisasi masyarakat. Tentu saja kerja intelijen di bawah koordinasi BIN.”

Satu lagi, menurut Nuning, salah satu cara memberantas radikalisme adalah balik pada diri sendiri. Apabila sesorang ingin belajar dan memperdalam agama, baiknya ia menghadap seseorang yang memang memiliki pengetahuan agama yang mumpuni. “Masyarakat juga untuk belajar agama dengan guru agama yang benar tidak radikal. Jangan belajar dari YouTube.”

Share: Dendam di balik Peristiwa Bom Medan