Budaya Pop

Berkencan Menonton Film Polri, Dikelilingi Polisi: Sebuah Pengalaman

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Teman kencan saya punya banyak pertanyaan, dan tak satu pun jawaban saya memuaskan. Pertama, mengapa film ini mesti ada di dunia? Kedua, mengapa saya mengajaknya menonton film tersebut? Ketiga, mengapa kita dikepung? Apakah semua baik-baik saja?

Jawabannya adalah tidak. Padahal semua bermula sebagai lelucon. Pada 7 November 2019, sebuah film laga berjudul Hanya Manusia mulai tayang di bioskop-bioskop lokal. Kemunculan film arahan sutradara Tepan Kobain ini semestinya dianggap sekadar angin lalu, apabila satu detail tidak mencuat: film ini diproduksi oleh Mabes Polri.

Berhubung memori akan represi aparat terhadap demonstran beberapa bulan silam masih segar, saya pun merasa terpanggil untuk menonton film ini. Saya juga merasa, alangkah leganya bila saya tidak sendiri dalam menyaksikan semuanya. Saya pun mengajak Warsidah. Tak hanya sebagai kawan: tetapi sebagai kawan kencan.

Usai menjelaskan duduk perkara sedetail-detailnya, Warsidah rela menjadi tumbal. Kami berjumpa sepekan setelah film tersebut rilis, tetapi Hanya Manusia sudah hampir turun layar. Beruntung, salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan masih menayangkannya. Beberapa jam sebelumnya, saya memesan tiket melalui aplikasi daring dan mendapati bahwa semua kursi bioskop masih tersedia.

“Kita kayaknya nonton berdua saja, nih. Kamu keberatan?”

“Lho, iya kan?” balas Warsidah. “Memangnya ada yang mau ikut?”

“Maksudku, nggak ada yang beli tiket selain kita.”

“Hah?”

Dengan dua ember popcorn di tangan, kami melangkah masuk bioskop dengan pasti. Kami telat sepuluh menit dari jam tayang yang tertera di tiket. Kami masuk disambut sayup-sayup bunyi iklan dan trailer film, bersiap menahan tawa melihat seantero bioskop kosong melompong.

Tetapi tidak. Di luar dugaan kami, bioskop tersebut penuh sesak.

Kami kaget tapi semringah. Barangkali kami tidak sendirian. Selera humor kami telah ditangkap oleh warga Ibukota lain, dan kita dikelilingi orang-orang yang juga sedang merasa bosan. Namun selagi kami melangkah ke arah kursi kami di atas, kami menyadari sesuatu yang tak wajar di kalangan yang duduk manis dan berswafoto.

“Mereka…” bisik saya pada Warsidah setelah kami duduk. “Seragaman?”

Kawan saya melihat sekeliling. “Kayaknya. Satu rombongan?”

Bisa jadi. Satu baris penuh terisi Ibu-ibu berhijab yang semua mengenakan motif hijab dan warna baju sama. Lima orang perempuan berbadan agak kekar dan berambut bob lewat di hadapan kami dan berjalan ke arah kursi mereka. Di barisan bangku belakang, berkerumun bapak-bapak berjaket kulit dengan gesper dan kaos berkerah. Ada yang ganjil dari kerumunan ini.

“Hey, kayaknya mereka…”

Ruangan gelap seketika dan teman kencan saya menyuruh saya diam. Namun ia paham maksud saya. Ia memeluk ember popcorn-nya dengan gugup dan menatap layar. Saat film dimulai, beberapa orang di sekeliling kami bersorak dan bertepuk tangan. Teman kencan saya menoleh ke arah saya dan mengangguk. Kami memikirkan hal yang sama tapi ogah menyatakannya keras-keras.

Hanya Manusia bercerita tentang Annisa (diperankan Prisia Nasution), seorang polisi yang baru dipindahtugaskan ke Polres Jakarta Utara. Ayahnya polisi jagoan yang meninggal dalam tugas, dan kini ia sendirian mengurus adiknya yang baru masuk kuliah. Di pos barunya di Unit Perempuan & Perlindungan Anak (PPA), ia langsung dihadapkan pada kasus serius: seorang bocah SMA diculik sindikat perdagangan manusia, dan kecurigaan Annisa mengarah pada seorang informan polisi yang diduga berkhianat.

Seperti film laga pada umumnya, alur cerita berjalan dengan cepat dan tanpa penjelasan terperinci. Kita menyaksikan montase Annisa mengobrak-abrik berkas penyelidikan, kemudian tiba pada konklusi mendadak dan lompatan logika yang tak punya peranan lain selain mendorong jalan cerita. Kesimpulan brilian Annisa datang dari kombinasi insting serta sifat keras kepala khas film-film laga Amerika, sekaligus adegan flashback dicampur raut wajah menahan pusing ala serial Sherlock Holmes.

Meski plotnya lebih dangkal dari tambak udang di musim kemarau, ada segelintir potensi yang nampak. Seluruh film tersebut tampak mahal, dengan sinematografi yang apik, set design yang cermat, dan pewarnaan yang mumpuni. Para pemeran berakting dengan baik, dan dialog para karakter polisi saat melakukan investigasi di lapangan terasa mengalir dan natural.

Pemilihan seorang polwan sebagai karakter utama pun menghasilkan pengembangan karakter yang menarik. Annisa baru pindah dari tempat dinas yang gurem. Koleganya yang lebih senior menertawakan temuan-temuannya dan meremehkan kapabilitasnya di lapangan. Pertarungan Annisa untuk membuktikan diri dan fakta bahwa ia pada dasarnya adalah single parent bagi adiknya membuat karakternya punya latar belakang seru. Pertarungan batin yang dahsyat melanda diri saya: apakah saya mulai menikmati Hanya Manusia?

Banyak gelagat aneh yang terjadi sepanjang penayangan film tersebut. Pada saat-saat tertentu, terutama saat muncul adegan dengan banyak figuran polisi, hadirin di bioskop menyambut gembira. Mereka berbisik satu sama lain, menunjuk-nunjuk layar, sebagian bahkan mengeluarkan ponsel dan memotret. Mereka mengomentari warna baret para figuran, tertawa melihat atasan polisi memarahi bawahannya, dan saling senggol sambil bertanya, “Itu pak anu, kan? Lho, ada si anu!” Tiap kali, mereka akan menepuk pundak satu sama lain dan tertawa terbahak-bahak.

What the hell is happening?” tanya Warsidah.

Saya mengangguk sambil menyeringai, padahal itu bukan jawaban.

Mengingat posisi Polri sebagai aparat, mau tidak mau film tersebut mesti menghadapi pertanyaan soal kuasa. Penulis naskah Monty Tiwa, Putri Hermansjah, dan Rebecca M. Bath nampak berusaha menyisipkan pertanyaan-pertanyaan subtil tentang otoritas dan kekerasan dalam dialog antar karakter. Biasanya, ini terjadi dalam percakapan Annisa dengan rekan kerjanya, Aryo (Lian Firman), dan Kepala Divisinya (Yama Carlos).

Sekali waktu, Aryo bertanya tentang kabar keluarga Annisa setelah Bapaknya meninggal. “Bapakmu pahlawan,” ujar Aryo. “Dia meninggal demi menyelamatkan orang banyak.” Tema yang sama berulang kali ditegaskan oleh pak Kepala Divisi. Contohlah Bapak Annisa, sebab ia meninggal demi rakyat. Tak sekali dua kali, sang Kepala Divisi berpidato mengingatkan bawahannya bahwa mereka bekerja demi melindungi masyarakat luas.

Namun, contoh paling ekstrem dari percakapan sulit ini terjadi ketika adik Annisa mengeluh karena dijauhi kawan-kawan kampus barunya. Ia meminta Annisa mengantarnya ke kampus dengan satu syarat: pakai seragam polisi, dan “senjatanya agak diliatin” supaya kawan-kawannya tahu ia bukan anak sembarang. Annisa menawarkan jawaban bijak: polisi itu ada untuk melayani rakyat, bukan menakut-nakuti. Dahulu, Bapak pun dihormati bukan karena beliau polisi, melainkan karena beliau orang baik.

“Oke, itu mengganggu,” bisik Warsidah pada saya setelah adegan percakapan Annisa dengan adiknya. “That scene was very uncomfortable.

“Maksudmu?”

“Mereka kayak insecure sama posisinya sendiri di hadapan masyarakat. Ya kan?”

Saya paham maksudnya, tetapi tidak berani melanjutkan percakapan. Seluruh bioskop senyap setiap kali adegan macam itu muncul. Seolah para hadirin terhenyak mendengar wejangan dari atasannya sendiri. Sebuah pertanyaan yang pasti sudah sering mereka dengar: melindungi dan mengayomi siapa?

Penelusuran Annisa dan Aryo semakin memanas. Intrik dan konspirasi berhamburan, adegan baku hantam dan tembak-tembakan membikin ramai suasana. Namun, penyidikan mereka tidak bermuara pada apa-apa. Petunjuk menjanjikan muncul dari sosok Billy, seorang tukang pukul yang bekerja di restoran dan diduga suka bantu-bantu sindikat perdagangan manusia tersebut. Tetapi, Billy mati ditembak setelah kejar-kejaran dengan kedua polisi. Kepala Divisi pun muntab. Ia ditekan atasannya karena Annisa menyelidiki Jamal, informan polisi yang terpercaya, dan diberondong media karena kasus penculikan anak SMA tersebut tidak bergerak ke mana-mana.

Jika Hanya Manusia menangani pertanyaan soal kekuasaan dengan canggung, mereka menggambarkan relasi polisi dengan media dengan rasa jijik. Ucok dihentikan di depan kantor polisi oleh sekumpulan wartawan yang rebutan bertanya. Pemenangnya adalah seorang pria paruh baya, yang merangsek ke depan dan melempar pertanyaan-pertanyaan tengil soal mandeknya penyelidikan tersebut. Rombongan Bapak-bapak di barisan belakang tertawa lepas dan menunjuk-nunjuk layar, sembari saling sikut. Rupanya, pemeran wartawan tersebut adalah teman mereka.

Persis setelah adegan yang canggung tersebut, langsung muncul adegan siaran televisi yang menunjukkan seorang wartawan mewawancarai Ayah korban. “Bagaimana perasaan Bapak saat ini?” tanya sang wartawan, dalam parodi terang-terangan terhadap kerja media. “Apakah ada firasat sebelum terjadinya penculikan?”

Para hadirin terbahak-bahak, saya sendiri yang melongo. Pada rangkaian demonstrasi 22-23 Mei maupun #ReformasiDikorupsi pada September lalu, muncul berbagai laporan kekerasan polisi terhadap jurnalis yang meliput di lapangan. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan bahwa jurnalis dari berbagai media mengalami intimidasi dan kekerasan fisik saat berusaha mendokumentasikan tindak kekerasan polisi terhadap demonstran dan warga. Pada demo #ReformasiDikorupsi, seorang jurnalis dari Katadata dipukuli dan ditendangi aparat meskipun ia sudah menunjukkan kartu identitas pers. Ponselnya dirampas dan dokumentasinya dihapus paksa.

“Gantian,” celetuk saya pada Warsidah. “Now that scene was very uncomfortable to me.”

Pada adegan penutup, investigasi Annisa dan Aryo berujung pada penggrebekan besar-besaran di pelabuhan Jakarta. Muncul adegan rapat koordinasi polisi menjelang penggrebekan yang penuh kameo petinggi-petinggi Polri, dan montage anggota kesatuan yang mempersiapkan senjata dan baris berbaris dengan penuh gaya. Penggarapan adegan yang mereka mereka lakukan tidak lebih halus dibanding perusahaan besar yang memaksakan product placement serampangan

Setelah tensi yang dibangun begitu tinggi sampai akhir film, juga plot twist yang ditempatkan secara presisi, penutup film ini terasa begitu lekas dan mengecewakan. Sebuah pengingat, kalau pun saya lupa, bahwa film ini adalah ajang unjuk gigi Polri kepada masyarakat.

Ketika film usai dan lampu dinyalakan, para hadirin mendadak berbondong-bondong ke barisan depan bangku bioskop. Mereka mengeluarkan sebuah spanduk besar dengan logo kepolisian tercetak besar-besar. Kecurigaan saya dan Warsidah sepanjang film terbukti. Keesokan harinya, saya mendapati bahwa kami tidak sengaja turut serta dalam nobar keluarga besar Kepolisian Pelabuhan Tanjung Priok. Berhubung Annisa digambarkan bekerja di Polres Jakarta Utara dan banyak adegan direkam di sana, pantas saja hadirin berulang kali bersorak saat menyaksikan kameo yang mereka kenal. Bukan tidak mungkin, salah satu dari mereka hadir di hadapan kamera.

Warsidah tertunduk dan bertahan di kursinya. Kami termenung berdua di sana, menunggu seluruh hadirin nobar Kepolisian Tanjung Priok angkat kaki dari bioskop. Dalam perjalanan keluar, kami memulai percakapan untuk mengomentari film yang baru kami saksikan.

“Kamu sadar nggak kalau Annisa itu ditempatkan di Unit PPA?” tanya saya.

“Iya,” jawab Warsidah. “Tapi, aku kurang familiar dengan unit itu.”

“Itu Unit untuk Perempuan dan Perlindungan Anak.” Ucap saya. “Mereka menangani kasus seperti kekerasan terhadap perempuan, anak yang berhadapan dengan hukum, begitulah. Yang sedih-sedih dan bikin pengin misuh, pokoknya.”

“Lho, terus kenapa rekan kerja Annisa lelaki semua?” tanya Warsidah. “Cuma ada satu perempuan di tim itu selain Annisa, dan dia bahkan enggak bilang apa-apa sepanjang film. Munculnya aja di satu adegan doang.”

Warsidah benar. Meski film ini sebenarnya banyak menghadirkan karakter perempuan yang berperan besar dalam cerita, penggambaran mereka amat maskulin. Annisa bekerja di Unit PPA yang menangani kasus serius seperti pelecehan seksual dan kekerasan pada anak, tetapi ia baru dianggap oleh rekan kerjanya setelah ia menyelamatkan nyawa Aryo dalam baku tembak. Ia pun digambarkan galak bukan main di ruang interogasi dan luka parah akibat baku hantam dengan tersangka. Meskipun film ini sengaja menghadirkan perempuan sebagai karakter utama, penyelesaian masalah dan perkembangan karakternya melulu maskulin.

Tak sekali-dua kali pula male gaze menguar dalam arahan sutradara Tepan Kobain. Terutama dalam adegan saat tiga orang remaja perempuan korban sindikat perdagangan manusia dipaksa telanjang dada di hadapan pelanggan. Untuk film yang bertajuk Hanya Manusia, ia gagal memanusiakan subyeknya.

Padahal, pemilihan Unit PPA sebagai tempat kerja Annisa punya banyak implikasi menarik. Di kehidupan nyata, PPA adalah salah satu unit kerja kepolisian yang paling merana. Berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007, salah satu tugas mereka adalah melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan. Pemeriksaan dan kerja lain PPA semestinya dilakukan di Ruang Pelayanan Khusus, atau disingkat RPK.

Namun, belum semua kantor kepolisian memiliki fasilitas RPK, apalagi fasilitas RPK yang memadai. Kepala Satgas Unit PPA Bareskrim Polri, Kompol Sri Bhayakari, mengaku bahwa berbagai faktor mencegah kepolisian menunaikan janji perlindungan terhadap korban yang termaktub dalam Perkap No. 10 tahun 2007. Luas lahan di tiap kantor kepolisian terbatas sehingga tak ada ruang untuk membangun RPK dan pemeriksaan menggunakan ruangan biasa. Selain itu, RPK tidaklah murah. Menurut perhitungan Bappenas, pembangunan satu unit RPK dengan fasilitas ideal membutuhkan biaya sedikitnya RP 3 miliar.

Lebih jauh lagi, Unit PPA kerap dilangkahi oleh atasannya atau unit lain. Pada kasus demonstrasi 22-23 Mei 2019, misalnya, anak di bawah umur yang diciduk polisi diperiksa di Resmob. Padahal, seharusnya anak yang berhadapan dengan hukum ditangani oleh Unit PPA dan diperiksa di RPK.

Oleh Ombudsman Republik Indonesia, Polri dinilai melakukan pelanggaran prosedur. Tudingan tersebut dibantah pihak kepolisian yang berkilah bahwa penyidik di Resmob telah memiliki sertifikasi untuk melakukan penyidikan terhadap anak. Namun, pembenaran tersebut dinilai nonsens. “Tidak ada di dalam Perkap maupun di UU SPPA yang menyebut itu,” ucap Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu. Kewenangan, tutur Ninik, harusnya berdasarkan unit khusus yang ditunjuk. Bukan berdasarkan sertifikasi.

Karena itulah, pihak seperti Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengusulkan agar Unit PPA dikuatkan statusnya. Kini, mereka berwenang mendampingi korban, tetapi belum sepenuhnya berwenang mengambil keputusan final. Blunder 22-23 Mei terjadi pula pada kasus Baiq Nuril. Unit PPA sudah mengambil keputusan yang “pro-perempuan”, tetapi mereka dilangkahi oleh atasan yang menghadirkan pakar pidana yang bias gender.

Namun, memangnya kami berharap apa? Para penulis Hanya Manusia tentu paham bahwa mereka sedang merancang film propaganda. Bila tidak, mereka tak mungkin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan tak nyaman tentang kekuasaan dalam percakapan para karakter. Hanya saja, ego dan dana berbicara. Pertanyaan subtil tersebut diporak-porandakan oleh momen laga heroik yang menonjolkan kehebatan kepolisian, dan pidato-pidato dramatis tentang mengayomi masyarakat. Hanya Manusia adalah film yang tidak tahu apakah ia hendak menjilat atau meludah. Akhirnya, kami semua tersedak.

Paling tidak, Warsidah tampak baik-baik saja. Sepanjang makan malam setelah menonton film, percakapan kami akrab dan riang. Barangkali ia sungguh-sungguh menikmati pengalaman tersebut dan saya telah berhasil bikin ia gembira. Atau mungkin, ia sedang memproses traumanya dan tengah bersiap melesatkan garpu ke tangan saya.

Beberapa hari kemudian, kabar gembira tiba di ponsel saya. Kepolisian akan merilis film berjudul Sang Prawira yang tak hanya berkisah tentang kehidupan polisi. Tetapi disemarakkan pula oleh VVIP Cast yang terdiri dari petinggi kepolisian dan — entah kenapa — Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Kontan, saya menghubungi Warsidah dan mengirimkan poster tersebut kepadanya. Jawabannya singkat, padat, dan mengena.

“Kamu benci aku, ya?”

Tidak, Warsidah. Saya hanya suka penderitaan.

Share: Berkencan Menonton Film Polri, Dikelilingi Polisi: Sebuah Pengalaman