Isu Terkini

Pro Kontra Tapera, Rumah Impian atau Beban Tambahan?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pemerintah mematangkan rencana program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020. Nantinya, pemerintah akan memotong gaji ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, BUMD, dan pegawai swasta sebesar tiga persen untuk iuran Tapera.

Dalam aturannya, rincian iuran sebesar tiga persen itu berasal dari pemberi kerja dan pekerja sendiri. Besaran simpanan peserta untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen.

Sementara besaran iuran simpanan untuk peserta mandiri (non-ASN), ditetapkan berdasarkan penghasilan rata-rata setiap bulan dalam satu tahun sebelumnya dengan batas tertentu. Dalam hal ini, seluruh simpanan peserta mandiri menjadi tanggung jawab pribadi.

Perlu diketahui, keberadaan iuran Tapera mengingatkan kembali masyarakat pada iuran-iuran lain yang digagas pemerintah, dengan mekanisme yang sama yakni iuran ditanggung perusahaan dan pekerja. Sebelumnya, pemerintah juga menetapkan iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang kemudian berganti nama menjadi BPJamsostek.

Baca Juga: Jokowi Teken PP Tapera, Mekanismenya Potong Gaji Pegawai 3 Persen

Aturan ini sendiri dinilai mampu mempercepat realisasi program sejuta rumah yang menjadi program unggulan Jokowi. Namun, Tapera justru jadi sorotan lantaran dianggap memberatkan publik, apalagi pembayaran iurannya terkesan “memaksa” pegawai dan pengusaha.

Program Tapera Harus Jelas Manfaatnya bagi Masyarakat

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan bahwa Tapera bukanlah program baru. Bahkan program perumahan murah di Indonesia berawal dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat pada Agustus 1950 di Bandung. Salah satu hasil kongres tersebut adalah mencanangkan Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai perintis rumah murah di Indonesia.

Berdasarkan SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada tanggal 25 April 1952, dibentuklah Djawatan Perumahan Rakyat di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Tugas pokoknya antara lain membuat konsep kebijakan perumahan dan mengatur penyelenggaraa pembiayaan pembangunan perumahan.

“Ini bukan program baru, ya, sejak tahun 1950-an sudah ada program-program sejenis seperti Taperum, dan lain-lain. Kan orang memang butuh rumah, nah sekarang yang jadi persoalan apakah iuran ini bisa berjalan baik, gimana cara mengawasinya? Apalagi banyak iuran lain juga saat ini,” kata Agus saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (04/06/20).

Menurut Agus, di situasi sulit pandemi COVID-19, memang banyak pekerjaan besar yang harus diselesaikan secara gotong royong. Meski begitu, pemerintah juga perlu memperhatikan banyak hal, baik itu dari sisi manfaat dan beban yang akan ditanggung masyarakat.

Agus menyebut Tapera itu sama juga dengan BPJS, dan juga tidak beda jauh dengan Taperum dan iuran-iuran lainnya. Namun, yang jadi pertanyaan Agus, bagaimana caranya masyarakat yang akan dipotong gajinya itu bisa mengetahui transparansi pengelolaan dana Tapera? Apalagi iuran ini bersifat jangka panjang, dan tentu akan jadi dana besar.

Di sisi lain, Tapera memang dibutuhkan karena masih banyak kebutuhan hunian yang belum terpenuhi (backlog). Dari data Kementerian PUPR, tercatat bahwa backlog perumahan per 2019 lalu mencapai 7,6 juta unit. Angka tersebut ditargetkan bisa dipangkas menjadi lima juta unit tahun ini, dan 2,6 juta unit di tahun 2024.

“Nah, sekarang yang perlu kita tahu, iuran itu akan berubah atau akan dievaluasi setiap berapa lama? Karena kan harga tanah juga naiknya gila-gilaan. Di Indonesia, tanah itu kan tergantung pada makelar. Seberapa kuat pemerintah dengan uang yang ditabung itu bisa mempertahankan harga tanah di wilayah tertentu dan tidak terganggu oleh makelar.”

Menurut Agus, banyak hal yang perlu dicermati dan dipertanyakan dari PP 25/2020 tersebut. Namun, yang pasti bahwa hal ini terkait soal ketersedian tanah. Pertanyaan lainnya, bisakah masyarakat yang sudah punya rumah, menggunakan uang iuran yang wajib setiap bulan itu, misalnya untuk renovasi rumah, atau membeli rumah yang lain lagi?

“Bolehkah itu? Lalu juga transaksinya gimana, terus boleh nggak saya jual kalau saya sudah punya rumah sebelumnya? Hal-hal seperti itu kan rinci sekali harusnya, apalagi kan ini adalah uang kita yang ditabungkan. Paling nggak uang itu nantinya bisa dimanfaatkan dengan baik.”

Termasuk juga terkait kontrol harga yang belum diketahui seperti apa mekanismenya. Apalagi, hal ini dikhawatirkan tiba-tiba bisa jadi komoditas, meski harusnya ini bukan komoditas, tapi adalah kewajiban negara memberikan pelayanan untuk menyediakan rumah kepada warganya.

“Jadi harga tidak boleh dimainkan seperti harga pasar. Bagaimana caranya? Ya pemerintah harus mengaturnya. Tapi, ini memang bisa bermanfaat bagi orang yang belum punya rumah ya sebetulnya.”

“Belajar dari BPJS, belajar dari Jamsostek, dan lainnya, rakyat perlu aman. Ini kan sama saja dengan menabung. Kalau misalnya warga butuh dana mendesak, apakah uang ini bisa ditarik? Lalu bentuknya seperti apa? Apakah tunai atau surat utang negara, reksadana, atau yang lainnya?”

Pengusaha Tolak Program Tapera Pemerintah

Pihak pengusaha ternyata keberatan dengan munculnya PP 25/2020 tentang Tapera tersebut. Tapera dinilai membebani kalangan pengusaha dan pekerja di tengah kondisi ekonomi dan bisnis yang tak pasti seperti saat ini.

Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan PP Tapera akan membebani pengusaha dan pekerja karena dalam aturan itu disebutkan besaran iuran Tapera sebesar tiga persen dengan komposisi 2,5 persen dipotong dari gaji pekerja dan 0,5 persen ditanggung pengusaha.

“Pengusaha saat ini sedang meradang, cash flow-nya sudah sangat berat akibat berhentinya berbagai aktivitas usaha yang sudah hampir tiga bulan tidak beroperasi, sudah banyak pekerja terkena PHK dan dirumahkan,” kata Sarman dalam keterangan tertulisnya, Kamis (4/6).

Menurut Sarman, jangankan untuk memikirkan iuran Tapera, iuran wajib seperti BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan saja para pengusaha sudah meminta penundaan. Hal itu dilakukan lantaran ketidakmampuan pengusaha dalam kondisi sulit saat ini.

Sarman juga berharap pemerintah bisa mengevaluasi pemberlakuan PP Tapera sampai kondisi ekonomi membaik, arus kas pengusaha memungkinkan dan pendapatan pekerja juga telah normal. Dengan demikian pemberlakuan PP Tapera akan benar-benar efektif membantu pekerja memiliki rumah.

“Daripada dipaksakan hasilnya tidak maksimal dan kesannya pemerintah tidak peka terhadap yang kondisi yang dihadapi pengusaha saat ini,” kata Sarman yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin DKI Jakarta itu.

Bila perlu, lanjut Sarman, PP tersebut sementara dicabut dan diterbitkan kembali pada waktu yang tepat. Menurutnya, dalam masa sulit yang dihadapi pengusaha saat ini yang dibutuhkan adalah kebijakan yang pro bisnis dan pro dunia usaha, stimulus dan relaksasi yang cepat dan tepat dalam rangka menggairahkan kembali sektor ekonomi.

“Berikan kami semangat dan kepastian, jangan beban, supaya dunia usaha dapat berlari kencang di segala sektor untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, menyediakan lapangan pekerjaan dan mengurangi beban sosial pemerintah.”

Share: Pro Kontra Tapera, Rumah Impian atau Beban Tambahan?