General

Ramai Bicarakan Pilpres, Potensi Dinasti Politik di Pileg 2019 Ternyata Ada

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Dinasti politik selalu jadi bahasan yang menarik ketika kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 hanya menghitung bulan saja. Perihal yang selalu jadi sorotan sampai hari ini adalah bahwa keterlibatan satu keluarga yang bersama-sama terjun ke dunia politik disebut berdampak kurang baik bagi demokrasi. Lantas apakah dinasti politik dilarang secara hukum?

Di Pemilu 2019 nanti, salah satu keluarga yang mencolok maju bersama-sama dalam kontestasi politik adalah keluarga Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo. Adalah istri Hary Tanoe beserta tiga anak perempuannya maju sebagai calon legislatif di DPR RI.

Baca Juga: 4 Anak Politisi yang Bertarung Jadi Caleg di Pemilu 2019

Ada Jessica Herliani Tanoesoedibjo, anak dari Hary Tanoesoedibjo yang maju sebagai calon legislatif (caleg) dari daerah peilihan (dapil) Jawa Timur VII yang memperebutkan 8 kursi di DPR RI. Lalu, ada Valencia Herliani Tanoesoedibjo yang maju sebagai caleg di dapil Jawa Tengah VII dan memperebutkan total 7 kursi. Anak sulung Hary Tanoe, Angela Herliani Tanoesoedibjo juga maju sebagai caleg di dapil Jawa Timur I yang memperebutkan 10 kursi di DPR RI.

Tak ketinggalan, istri dari Hary Tanoe yakni Liliana Tanaja Tanoesoedibjo juga memutuskan maju sebagai caleg dari dapil DKI Jakarta II yang memperebutkan 7 kursi di DPR RI. Majunya istri dan ketiga anak Hary Tanoe tentu bakal menimbulkan respons yang beragam dari publik. Meski di satu sisi, mereka juga memiliki hak sebagai warga negara yang baik untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be candidate).

Baca Juga: Kampanye Caleg Lewat Komik: Kreasi Demi Hapus Politik Uang

Tentu masih banyak lagi anak dan istri dari politisi besar di tanah air yang maju baik itu sebagai caleg ataupun kepala daerah. Sejauh apa dinasti politik akan memberikan dampak pada keberlangsungan demokrasi meski tak dilarang?

Dinasti Politik Tak Dilarang

Setiap warga negara memang memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih (right to be vote and right to be candidate). Hak itu juga dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno pun memandang bahwa tak masalah jika memang ada istri dan anak-anak dari seorang politisi maju sebagai caleg selama memang berkualitas dan memenuhi syarat.

“Ya enggak apa-apa, kan enggak ada yang salah. Dinasti politik itu enggak ada yang salah, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, Singapura itu kan juga banyak dinasti politik, artinya keluarganya yang juga sama-sama terjun ke dalam politik,” kata Adi kepada Asumsi.co, Selasa, 29 Januari 2019.

Menurut Adi, setiap warga negara berhak maju sebagai caleg begitupun dalam satu keluarga. Yang ditekankan tentu soal perekrutan yang transparan dan bersih sehingga calon yang dihasilkan pun akan berkualitas. Adi pun melihat keluarga Hary Tanoe sepertinya memang memiliki rekam pendidikan yang lumayan dan berkepribadian baik.

Baca Juga: Kenapa Caleg Enggak Harus Foto Ngepal Tangan Melulu?​​​​​​​

“Selama proses rekrutmennya itu pada kapasitas dan potensi diri ya enggak masalah. Kalau melihat rekam jejaknya istri Hary Tanoe itu kan berpengalaman di dunia bisnis, pengusaha, dan berkecimpung juga di aktivitas sosial ya, anaknya juga berpengalaman, rekam jejak dan sekolahnya bagus,” ucap Adi.

“Itu politik dinasti, politik dinasti itu artinya adalah dalam suatu keluarga itu sama-sama terjun dalam dunia politik, enggak ada yang salah, semua warga negara di negara ini dijamin haknya untuk mencalonkan diri atau memilih siapapun, itu politik,” ujarnya.

Menurut Adi, yang tidak boleh dilakukan itu adalah merekrut sanak-saudara yang tidak berdasarkan pada kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri. Apalagi, lanjut Adi, sengaja merekrut anggota keluargaberdasarkan ikatan kekeluargaan tanpa melihat rekam jejaknya. Hal itulah yang dianggap bahaya lantaran melanggengkan kekuasaan dengan sangat mudah. “Saya pikir pertimbangan Hary Tanoe merekrut istri dan anak-anaknya tentu berdasarkan kapasitas dan kompetensi ya.”

Dampak Dinasti Politik Jika Tak Dilarang

Adi pun tak menampik bahwa dinasti politik akan berada pada jalur yang salah jika saja perekrutan calon yang dilakukan bukan berdasarkan kompetensi. Menurutnya, jika hanya berdasarkan kedekatan keluarga saja tanpa melihat kualitas, maka hal itu yang justru berbahaya. “Itu seperti menutup ruang kepada orang lain untuk berkontestasi secara terbuka dan transparan, itu politik dinasti yang berbahaya dan enggak boleh terjadi,” ujarnya.

Tentu Adi melihat bahwa politik dinasti berbahaya jika tujuannya menjalankan sebuah kekuasaan politik oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Apalagi kalau sampai kekuasaan yang didapat justru diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak.

Baca Juga: Caleg Eks Koruptor Partai Pendukung Jokowi Lebih Banyak Dibanding Prabowo

Senada dengan Adi, Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Bakir Ihsan mengatakan bahwa siapa saja boleh maju sebagai calon legislatif jika berdasarkan kompetensi dan kualitas yang mumpuni. Kalau tidak, hal itu tentu akan berdampak buruk bagi demokrasi. “Bila tak disertai meritokrasi dan kompetensi, politik dinasti akan mengarah pada oligarki dan akan mengancam substansi demokrasi,” kata Bakir Ihsan kepada Asumsi.co, Selasa, 29 Januari 2019.

Apalagi, dinasti politik yang lebih mengedepankan regenerasi politik saja berdasarkan ikatan genealogis, dan tak mempertimbangkan prestasi. Jika praktik dinasti politik tanpa kompetensi itu terus terjadi, maka dampak nyata yang akan terjadi yakni proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan atau macet.

Dinasti politik seperti itu akan membuat orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Sebaliknya, orang-orang yang kompeten justru tak dipakai karena alasan tak ada garis keluarga. Dampak lainnya adalah cita-cita kenegaraan menjadi tidak terealisasikan karena pemimpin atau pejabat negara tidak mempunyai kapabilitas dalam menjalankan tugas.

Lalu dalam tataran kepala daerah, dinasti politik yang tak dibarengi dengan kompetensi dan kualitas diri, tentu akan berpotensi mengundang tindak korupsi, berpeluang terjadinya kebocoran sumber-sumber pendapatan daerah, serta penyalahgunaan APBD dan APBN.

Share: Ramai Bicarakan Pilpres, Potensi Dinasti Politik di Pileg 2019 Ternyata Ada