General

Kenapa Resah Tak Dapat Jatah?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kabinet Indonesia Maju di bawah komando Presiden Joko Widodo periode 2019-2024 siap tancap gas bekerja lima tahun ke depan. Nama-nama para menteri, pejabat setingkat menteri, hingga wakil menteri sudah diumumkan beberapa waktu lalu. Namun, tentu ada pihak-pihak yang tak puas dengan komposisi kabinet.

Presiden menyadari kondisi itu. Ia bahkan menyampaikan permohonan maaf karena tidak bisa mengakomodasi semua pihak dalam penyusunan kabinet. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu pun mengatakan bahwa susunan menteri-wakil menteri Kabinet Indonesia Maju sudah proporsional.

“Tidak mudah menyusun kabinet yang harus beragam karena memang Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Oleh sebab itu, saya sadar mungkin yang senang atau yang gembira karena terwakili dalam kabinet itu hanya 34 orang yang dilantik,” kata Jokowi di Jakarta, Sabtu (26/10/2019).

Jokowi menyebut bahwa mau tidak mau pasti ada yang terpilih dan tidak terpilih, apalagi dalam demokrasi. “Itulah meritokrasi, ada yang terpilih, ada yang tidak terpilih karena memang melalui sistem seleksi,” ucapnya. “Artinya, pasti yang kecewa lebih banyak dari yang senang dan mungkin juga sebagian dari yang hadir ada yang kecewa. Jadi saya mohon maaf tidak bisa mengakomodasi semuanya,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.

Kekecewaan NU dan Respons Muhammadiyah

Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Robikin Emhas mengklaim bahwa banyak kiai yang protes dan kecewa terhadap keputusan Jokowi yang memilih Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. “Banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” kata Robikin dalam keterangan tertulis, Rabu (23/10).

Lebih lanjut, Robikin mengatakan para kiai paham bahwa Kementerian Agama memang harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun, lanjutnya, para kiai justru tak habis pikir lantaran Fachrul Razi yang berlatar belakang militer justru bisa menduduki posisi Menag.

Baca Juga: Inilah Daftar Para Wakil Menteri Pilihan Presiden Joko Widodo

Menurut Robikin, para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Lebih lagi, bahkan sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. “Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” ucapnya.

Atas kondisi tersebut dan pertimbangan atas daya destruksi yang dapat diakibatkan, secara kelembagaan NU sudah jauh-jauh hari mengingatkan bahaya radikalisme. Perlu diketahui, sejak era reformasi, sejumlah nama mengisi posisi Menteri Agama di antaranya M Quraish Shihab, Abdul Malik Fadjar, Muhammad Tolchah Hasan, Said Agil Husin Al Munawwar, Muhammad M Basyuni, Suryadharma Ali, Lukman Hakim Saifuddin dan HR Agung Laksono (Plt Menag).

Sementara itu, di masa pemerintahan Orde Baru, menteri berlatar belakang militer juga pernah memimpin Kementerian Agama, seperti Tarmizi Taher dan Alamsyah Ratu Prawiranegara. Adapun Fachrul Razi merupakan purnawirawan TNI berpangkat Jenderal dan merupakan Ketua Tim Bravo 5, relawan Jokowi yang berbasis purnawirawan TNI.

“Kalau saya menebak-nebak Pak Jokowi, mungkin karena saya suka ibadah dan suka ceramah, temanya Islam damai dan toleransi serta persatuan kesatuan,” kata Fachrul setelah pelantikan saat menerka apa kira-kira alasan Jokowi memilihnya menjadi menteri, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta pada Rabu, 23 Oktober 2019.

Tak hanya NU, Muhammadiyah juga sempat jadi sorotan lantaran tak masuk dalam kabinet. Biasanya, Muhammadiyah memang paling sering mengisi kursi Menteri Pendidikan di pemerintahan. Terkait hal itu, Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Dadang Kahmad menyebut bahwa organisasinya menghormati susunan Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk Jokowi.

Dadang juga mengatakan Muhammadiyah berterima kasih kepada Presiden karena masih memercayakan salah satu kursi menteri kepada kadernya. “Muhammadiyah bahkan berterima kasih karena Prof Muhadjir Effendy diberi amanat dan diangkat Presiden sebagai Menko PMK,” kata Dadang dalam keterangan tertulis, Sabtu (26/10).

Baca Juga: Kabinet Indonesia Maju: di Mana Orang Papua?

Namun, sebelumnya justru beredar kabar bahwa Muhammadiyah mengkritik posisi Mendikbud yang tak seharusnya diisi Nadiem Makarim, sosok bos dari start-up ojek online. Dadang menegaskan, pernyataan-pernyataan di luar yang telah disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir terkait kabinet tidak mewakili sikap PP Muhammadiyah secara keseluruhan.

Dadang pun mengimbau kader Muhammadiyah agar tidak mengeluarkan pernyataan tentang susunan kabinet yang tidak sejalan dengan garis Muhammadiyah. “Saya mengimbau agar para anggota/kader Muhammadiyah tidak mengeluarkan pernyataan-peryataan politik seputar kabinet atau masalah nasional lainnya yang tidak sejalan dengan kepribadian dan garis kebijakan PP Muhammadiyah.”

Dadang menekankan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik. Muhammadiyah akan tetap istiqomah sebagai gerakan kemasyarakatan yang menjalankan misi dakwah dan tajdid atau pembaruan untuk kemajuan umat, bangsa dan kemanusiaan. Misi ini, lanjut Dadang, sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi dunia atau rahmatan lil-‘alamin.

Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim mengatakan bahwa secara organisasi, Muhammadiyah kecewa dengan susunan Kabinet Indonesia Maju. Kekecewaan itu lantaran jabatan Mendikbud biasanya diisi oleh kalangan Muhammadiyah. “Sangat kecewa,” kata Fahmi dalam diskusi bertajuk ‘Kabinet Bikin Kaget’ di Kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (26/10).

Fahmi pun berharap, ditunjuknya Nadiem yang berlatar belakang pengusaha sebagai Mendikbud tidak menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa penyusunan formasi Kabinet Indonesia Maju ini dilakukan secara asal-asalan. Tak hanya itu saja, ia pun sedikit menyesalkan penunjukan Muhadjir Effendy sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dinilai belum cukup bagi Muhammadiyah.

Pasalnya, jabatan menteri koordinator tidak mempunyai otoritas yang bersifat teknis serta tidak memiliki kewenangan anggaran sebagaimana kementerian teknis.

Projo Dapat Jatah Meski Sempat Merajuk

Tak hanya NU dan Muhammadiyah, relawan pendukung Jokowi yang bernama Pro Jokowi alias Projo juga sempat tak terima dan merajuk lantaran tak dapat jatah masuk kabinet. Bahkan, Projo menyatakan bubar usai Jokowi menunjuk Ketum Partai Gerinda Prabowo Subianto, yang notabene adalah rival di Pilpres 2019, menjadi Menteri Pertahanan dalam kabinet.

Projo yang sudah mengawal Jokowi sejak 2012 itu pun mundur dengan rasa kecewa dan tak terima. “Kami ikhlas jika memang tidak dibutuhkan lagi,” kata Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi, Rabu, (23/10).

Sikap merajuk itu sempat ramai jadi perbincangan lantaran Projo terkesan tak ikhlas membantu Jokowi selama Pilpres 2019 dan hanya mengharapkan kursi jabatan saja. Apalagi Projo menamakan diri sebagai relawan, yang secara harfiah itu berarti orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan).

Baca Juga: Endowment Fund Era Jokowi dan Masalah Tata Kelola

“Ada kekecewaan soal Prabowo jadi Menhan, mengingat Prabowo rival yang cukup keras waktu itu. Kita bertarung cukup keras, tapi sekarang menjadi Menhan,” ucap Sekretaris Jenderal Projo, Handoko, di kantor DPP Projo, Jalan Pancoran Timur Raya, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu, (23/10).

Menariknya, dua hari setelah menyatakan bubar, situasi pun berubah 180 derajat. Jokowi justru menunjuk Budi Arie sebagai Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Jumat (25/10) di Istana Negara. Ia mengaku sudah dihubungi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno yang memberitahukan bahwa Jokowi membutuhkan dirinya sebagai Wamen Desa sejak Kamis (24/10) malam. Oleh sebab itu, Projo menegaskan akan terus berada di garis rakyat untuk mendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Situasi itu pun sontak langsung membuat Projo membuat klarifikasi bahwa organisasinya tak jadi bubar. “Projo tidak pernah menyatakan bubar, kami hanya menyatakan mundur dari kegiatan politik di tanah air. Kenapa DPP Projo menyatakan itu, karena tugas memenangkan Pak Jokowi sebagai Presiden dalam dua periode sudah selesai,” kata Ketua Bidang Organisasi DPP Projo, Freddy Alex Damanik, Jumat, (25/10).

Terkait situasi yang sudah terlanjur menyedot perhatian publik itu, Freddy menjelaskan bahwa sebagai Dewan Pembina DPP Projo, dalam Rakernas III Projo tahun 2018, Jokowi memerintahkan Projo melakukan kampanye Pilpres 2019.

Oleh sebab itu, Projo membentuk tim pemenangan di tingkat pusat, daerah dan cabang. Projo juga layaknya partai politik yang memiliki kepengurusan DPP, DPD dan DPC, sehingga untuk membubarkannya harus sesuai dengan mekanisme organisasi melalui Kongres II Projo yang baru akan dilaksanakan bulan Desember 2019 mendatang.

Di sisi lain, Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa pilihan Jokowi terhadap dirinya sebagai Wamen Desa PDTT bukan karena merajuk hingga ancaman pembubaran Projo. Ia menyebut bahwa politik itu tidak boleh mudah merajuk. “Politik harus tegar, nggak boleh zero sum game, ngambek, nggak boleh baper,” kata Budi, Sabtu (26/10).

Kenapa Harus Risau Tak Masuk Kabinet?

Direktur Eksutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menyebut sebetulnya lumrah kalau banyak pihak merasa pantas masuk ke dalam kabinet yang di periode kedua kepemimpinan Jokowi. Pasalnya, ada banyak pihak pula yang mengaku berjasa dalam memenangkan Jokowi di Pilpres 2019 sehingga pantas diganjar kue kekuasaan.

Namun, Karyono menyebut bahwa mestinya semua pihak harus menyadari dan memahami bahwa konstitusi UUD 1945 itu jelas mengamanatkan kepada Presiden RI untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya. Artinya itu merupakan hak prerogatif, kewenangan presiden, yang diberikan amanah, untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya

“Amanat konstitusi juga menyebutkan bahwa presiden adalah pemegang kekuasaan. Artinya semua pihak itu menyadari kondisi itu,” kata Karyono saat dihubungi Asumsi.co, Selasa (29/10).

Terkait posisi menteri, Karyono membeberkan bahwa sejatinya konstitusi Indonesia sudah menjelaskan secara tegas sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Lalu dalam Pasal 17 ayat 2 UUD NRI 1945 ditegaskan bahwa presiden memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan menteri-menterinya.

“Dengan demikian, soal posisi menteri, tentu menjadi domainnya presiden. Atas dasar itu, semua pihak harus tunduk pada konstistusi.”

Menurut Karyono, keresahan beberapa pihak yang tak dapat jatah kursi di kabinet lebih karena mereka merasa ada investasi terhadap terpilihnya Jokowi-Ma’ruf Amin dalam Pilpres 2019 lalu. Banyak piha-pihak yang merasa berkeringat dan merasa berdarah-darah dalam kontestasi politik yang sempat memecah belah masyarakat tersebut.

Namun, kursi menteri yang berjumlah 34 orang itu pun juga tak mungkin bisa mengakomodir banyak tokoh yang diajukan sebagai calon menteri. “Jadi tidak ada satu keputusan pun yang bisa membahagiakan semua pihak. Tentu ada yang kecewa, ada yang puas, dan itu sudah jadi keniscayaan. Tapi sekali lagi yang perlu dipahami bahwa presiden punya hak prerogatif untuk mengangkat menteri.”

Terkait masuknya Prabowo, yang sebelumnya merupakan rival berat Jokowi, ke dalam Kabinet Indonesia Maju, Karyono juga menilai hal itu sebagai sebuah kewajaran. Dalam realitas politik, terutama di Pilpres 2019 lalu, pasangan capres-cawapres tentu diusung sejumlah partai, sehingga akhirnya mesti ada power sharing.

“Ada bagi-bagi kekuasaan ya intinya. Itu lumrah dalam konteks partisipasi politik, sekalipun dengan lawan politik, sekali lagi itu lazim. Toh mengakomodir lawan politik itu bukan hanya terjadi kali ini saja. Di era Pak SBY pada 2004 dan 2009, lalu kemudian di periode pertama kepemimpinan Pak Jokowi pada 2014 juga beliau mengakomodir Golkar dan PAN, yang sebelumnya jadi kompetitor.”

Adanya power sharing itu juga tak lepas dari sistem demokrasi Indonesia yang sebetulnya lebih mengedepankan asas gotong royong. Terlebih, tak ada istilah oposisi dalam konstitusi negara, meskipun memang dalam negara demokrasi perlu ada check and balances, ada kontrol dari parlemen maupun civil society untuk melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah.

Share: Kenapa Resah Tak Dapat Jatah?