Isu Terkini

Kasus Baiq Nuril dan Tiga Masalah Krusial yang Harus Dibenahi Pemerintah dan DPR RI

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Presiden Joko Widodo akhirnya secara resmi memberikan amnesti kepada terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril Maknun. “Tadi pagi Keppres untuk Ibu Baiq Nuril sudah saya tanda tangani,” kata Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, seperti dilansir dari laman resmi Sekretariat Presiden, Senin (29/07/19). “Jadi, Ibu Baiq Nuril kalau mau ambil di Istana silakan. Kapan saja bisa diambil,” ujarnya.

Kasus Nuril memang sudah selesai, tapi ada banyak hal yang perlu jadi perhatian dan dibenahi dari rumitnya perjalanan kasus tersebut.

Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FHUI dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapreasiasi langkah pemberian amnesti oleh Presiden Jokowi untuk Nuril. Namun, keduanya menguraikan bahwa proses panjang sampai dengan pemberian amnesti ini tidak semestinya terjadi jika perbaikan dilakukan, mulai dari revisi UU ITE, pembaruan hukum acara pidana, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana.

Menurut MaPPI FH UI dan ICJR, pemberian amnesti tersebut merupakan salah satu bentuk sikap dari presiden untuk menegaskan bahwa perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan negara. “Kasus ini sebetulnya adalah tamparan keras kepada pemerintah, bahwa sistem peradilan pidana telah gagal melindungi warga negara,” kata MaPPI FH UI dan ICJR dalam keterangan resminya kepada Asumsi.co, Selasa (30/07).

Tiga Masalah Penting Butuh Dibenahi

Lewat kasus ini, MaPPI FH UI dan ICJR menegaskan bahwa banyak hal yang harus direformasi pemerintah dan DPR RI dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Setidaknya ada tiga masalah penting yang harus dibenahi setelah perjalanan panjang Baiq Nuril.

Pertama, UU ITE menjadi akar seluruh masalah dan harus direvisi. Seperti diketahui, Nuril didakwa dengan Pasal 27 ayat (1) UU No 19 tahun 2016 atau yang dikenal dengan sebutan UU ITE, menurut MaPPI FH UI dan ICJR pasal itu memuat rumusan yang tidak jelas baik dalam unsur “melanggar kesusilaan” yang tidak jelas konteksnya dan merujuk pada “kesusilaaan” dengan batas apa, termasuk tidak ada jaminan untuk melindungi korban kekerasan seksual dalam konteks melakukan pembelaan diri.

Baca Juga: Jika Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas, Adakah Jalan Lain?

Selain itu, MaPPI FH UI dan ICJR memandang unsur “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” kendati telah dirumuskan harus dalam sistem elektronik, dalam implementasinya, putusan pengadilan di tingkat Mahkamah Agung sekalipun masih menginterpreasikan unsur tersebut secara luas dan multitafsir, yang berdampak pada terjadinya kriminalisasi.

“Perlu ditekankan, Pasal 27 ayat (1) bukan satu-satunya masalah dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memuat ketentuan pidana tentang penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal ini merujuk pada ketentuan KUHP. Namun UU ITE gagal menjelaskan rujukan pasal KUHP mana yang dimaksud, karena mengenai penghinaan, KUHP mengatur tingkatan tindak pidana mulai dari “penghinaan ringan”, “menyerang kehormatan orang” sampai dengan “fitnah”.”

Kemudian, Pasal 316 KUHP juga mengatur jelas bahwa penghinaan dapat diproses hanya berdasarkan aduan, dan hanya dapat dilakukan terhadap orang, bukan badan hukum. UU ITE dinilai gagal menjelaskan hal ini, pasal penghinaan justru dipakai untuk menyerang korban yang mengkritik institusi yang harusnya bisa dikritik.

Duplikasi pengaturan dalam UU ITE juga menjadi masalah, yakni Pasal 28 ayat (1) dengan UU Perlindungan Konsumen, Pasal 29 ayat (1) dengan Pemerasan dalam KUHP, dan pasal lainnya.

Poin kedua yang jadi perhatian MaPPI FH UI dan ICJR adalah soal pembaruan KUHAP yang mutlak diperlukan. Kasus Nuril menunjukkan masalah hukum acara pidana; Pertama, jangan dilupakan bahwa Nuril sempat ditahan dalam proses penyidikan.

Dalam hal ini, penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, termasuk alasan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Dengan begitu penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal yang wajib dilakukan. Sayangnya dengan kewenangan sebesar ini, kontrol dan pengawasan terhadap penyidik absen dalam KUHAP. Penahanan harusnya dilakukan dengan arahan Penuntut Umum dan Izin dari Hakim, hal ini sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak 2005, kewenangan upaya paksa khususnya penahanan harus dilakukan dengan syarat yang ketat dan mekanisme kontrol dan pengawasan yang juga kuat.

Kedua, tentang ketentuan penggunaan alat bukti elektronik. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR Baiq Nuril telah dijelaskan bahwa alat bukti elektornik yang digunakan di persidangan dipertanyakan karena aslinya tidak dapat ditemukan dan divalidasi, Majelis Hakim PN secara jelas menjelaskan bahwa dakwaan tidak dapat diterapkan.

Putusan Kasasi No. 574K/Pid.Sus/ 2018 dari MA malah lantas menggunakan kembali alat bukti yang tidak dapat divalidasi tersebut untuk menguraikan fakta hukum versi Putusan Kasasi. Putusan Kasasi bahkan tidak memberikan arugumen sama sekali terkait dengan alasan menggunakan kembali alat bukti yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut. Ketiga, Putusan Kasasi justru malah keluar dari kewenangannya sebagai pemeriksa judex juris yang seharusnya tidak diperbolehkan untuk memeriksa fakta, apalagi menyusun sendiri fakta hukum yang berbeda dengan judex factie.

Baca Juga: Presiden Jokowi Kabulkan Amnesti Baiq Nuril, Apa Langkah Selanjutnya?

Putusan Kasasi malah menguraikan fakta baru yang berbeda dari yang dimuat dalam Putusan Pengadilan Neger Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.MTR. Berkaca pada kasus ini, maka pembaruan KUHAP harus dilakukan, paling tidak, pertama terkait kewenangan upaya paksa khususnya penahanan oleh aparat penegak hukum seperti penyidik kepolisian, syarat dan mekanisme kontrol dan pengawasan harus diperketat.

Kedua untuk mengatur kewajiban validasi alat bukti dalam penggunaan alat bukti dalam persidangan. Dan ketiga, KUHAP harus tegas meletakkan kembali fungsi Mahkamah Agung dalam sistem peradilan pidana, bahwa kewenangan MA lewat pemeriksaan kasasi adalah memeriksa penerapan hukum (judex jurist)dalam suatu perkara, bukan malah tanpa dasar yang jelas mengganti fakta hukum (judex factie).

Soal Perlindungan Perempuan yang Sedang Berhadapan dengan Hukum

Ketiga, perlindungan perempuan yang berhadapan dengan hukum masih menjadi masalah dalam sistem peradilan pidana. MaPPI FHUI dan ICJR berpendapat kasus Baiq Nuril seharusnya tidak perlu sampai ke proses penegakan hukum. “Hal ini dapat terjadi karena tujuan pemidanaan kita masihlah berorientasi penghukuman dan tidak sensitif dan berperspektif kepada perlindungan korban, khususnya korban kekerasan sesksual.”

Kasus Nuril bukanlah satu-satunya kasus di mana korban pelecehan seksual justru menjadi terpidana dan dihukum. Menurut catatan MaPPI-FHUI, masih ada beberapa kasus lain, di mana korban yang seharusnya dilindungi oleh negara justru malah menjadi terpidana dalam kasus lainnya, semata-semata karena perbuatannya memenuhi unsur kesalahan di dalam suatu undang-undang.

“Misalnya saja pada kasus WA di Muara Bulian dan BL di Jakarta Selatan, korban perkosaan yang divonis bersalah pada tingkat PN karena dituduh melakukan pengguguran kandungan padahal merupakan korban perkosaan. Lalu, ada juga Anindya Joediono, yang juga korban pelecehan seksual juga dijerat pidana UU ITE.”

Dalam Riset MaPPI FHUI ditemukan bahwa tak jarang dalam kasus-kasus perempuan sebagai korban, aparat penegak hukum justru menyematkan stigma dan stereotip negatif pada korban kekerasan seksual. Aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana harusnya mampu melihat suatu kasus yang melibatkan perempuan secara lebih luas, bahwa kerentanan perempuan yang erat kaitannya dengan adanya relasi kuasa dalam masyarakat sering mengakibatkan perempuan yang dalam hal pelaku tindak pidana justru merupakan korban yang seharusnya dilindungi oleh negara.

Hal ini pun sebenarnya telah dibakukan dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 3 tahun 2017, harusnya nilai-nilai dalam Perma tersebut juga dapat dijalankan oleh semua aparat penegak hukum. Maka dari itu, berkaca dari perjalanan panjang keadilan bagi Nuril, MaPPI FHUI dan ICJR pun menuntut tiga hal:

1. Pemerintah dan DPR segera mengonkretkan wacana revisi untuk perbaikan UU ITE, kesalahan-kesalahan UU ITE telah membuat korban yang seharusnya dilindungi justru dikriminalisasi;

2. Pemerintah dan DPR segera melakukan upaya-upaya untuk mendukung pembaruan hukum acara pidana dalam pembaruan KUHAP yang cenderung lamban direformasi, ketika sistem peradilan pidana bergerak begitu cepat;

3. Pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung dalam kewenangannya masing-masing secara seksama mengambil langkah-langkah untuk mengevaluasi aparat penegak hukum untuk menjamin adanya perspesktif perlindungan korban dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompok rentan, seperti perempuan korban kekerasan seksual.

Share: Kasus Baiq Nuril dan Tiga Masalah Krusial yang Harus Dibenahi Pemerintah dan DPR RI