Isu Terkini

Pentingnya Desentralisasi Informasi di Tengah Wabah COVID-19

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Jumlah pasien yang dikonfirmasi positif COVID-19 di Indonesia perlahan terus meningkat menjadi 96 kasus, dengan jumlah yang meninggal dunia sebanyak 5 orang (14/3). Jumlah yang dilaporkan oleh Pemerintah Pusat ini dianggap hanyalah puncak gunung es, mengingat tes COVID-19 yang dilakukan di Indonesia diutamakan bagi orang-orang yang telah bepergian ke wilayah terdampak di luar negeri, pernah berkontakan dengan pasien yang positif Corona, atau orang yang menunjukkan gejala serius pneumonia. Sementara itu, terdapat pula kasus-kasus pasien yang menunjukkan gejala serupa COVID-19, tetapi dianggap tidak perlu untuk melakukan tes, seperti yang dilaporkan oleh pasien dari RS Persahabatan dan RS Pelni.

Di Indonesia, tes COVID-19 dilakukan oleh Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan di Jakarta Pusat, bukan di rumah sakit rujukan tempat pasien melaporkan gejala mereka. Dari rumah sakit, spesimen pasien dibawa oleh dinas kesehatan provinsi setempat ke laboratorium Litbangkes. Belakangan, pemerintah menunjuk Lembaga Eijkman dan Universitas Airlangga untuk dapat turut melakukan tes. Namun, corong informasi resmi tetap dipusatkan di Kementerian Kesehatan yang akan mengumumkannya ke publik.

Pihak Dinas Kesehatan Provinsi Bali sempat mengeluhkan birokrasi dan alur informasi yang rumit ini. Salah satu imbasnya adalah Pemprov Bali yang terlambat mengetahui salah satu pasiennya positif COVID-19. Setelah pasien meninggal dunia, Pemprov baru mengetahui status pasien.

“Belum keluar hasil labnya, sehingga statusnya masih pengawasan. Ketika tadi meninggal dunia, kami mencoba untuk konfirmasi dengan Dirjen Kesehatan P2P, baru kemudian diinfokan bahwa pasien ini positif COVID-19,” ujar Sekda Pemprov Bali Dewa Made Indra, dikutip dari Kompas.com. Pihak Dinas Kesehatan Provinsi Bali pun sempat mengeluhkan informasi dari Pemerintah Pusat yang hanya disampaikan melalui pesan WhatsApp.

Pemerintah Pusat dituduh telah menutup-nutupi informasi terkait persebaran kasus COVID-19. Juru bicara penanganan wabah virus Corona Achmad Yurianto pun tidak secara transparan menjabarkan lokasi keberadaan pasien yang terinfeksi serta riwayat perjalanan mereka. Hingga Minggu (15/3), Kemenkes hanya menginformasikan lokasi kota persebaran kasus COVID-19, seperti di DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Solo, Yogyakarta, Bali, Manado, dan Pontianak.

Merespons hal ini, beberapa Pemprov berinisiatif untuk menginformasikan dan melakukan tindak pencegahan sendiri di wilayah masing-masing. Pemprov DKI Jakarta, misalnya, telah membuat peta persebaran kasus positif Corona di DKI Jakarta. Begitu pula dengan Pemprov Banten yang menetapkan Banten berstatus wilayah KLB dan mengumumkan terdapat 4 pasien positif Corona di wilayahnya. Menanggapi hal ini, pemerintah pusat justru mempertanyakan keabsahan data pemprov. Pihak Pemprov DKI pun mengklaim mengumpulkan data secara mandiri, yang kemudian dipublikasikan ke situs corona.jakarta.go.id.

Inisiatif-inisiatif Pemerintah Daerah

Wali Kota Surakarta F.X. Hadi Rudyatmo sempat mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan monopoli informasi pemerintah. Ia mengusulkan agar daerah diberikan kewenangan untuk mengecek hasil laboratorium tes Corona. Sejak salah satu pasien positif COVID-19 di RSUD dr. Moewardi, Solo, dinyatakan meninggal dunia, Rudyatmo juga menetapkan kota ini berstatus KLB atau Kejadian Luar Biasa (13/3) dan melakukan penutupan serta pembatalan acara di Solo demi mencegah penyebaran virus Corona.

Langkah-langkah pencegahan dan antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah Solo termasuk meniadakan car free day untuk sementara waktu, meliburkan murid TK sampai SMA, menutup kegiatan di GOR Manahan dan Sriwedari, meliburkan pentas wayang orang Sriwedari dan Pentas Ketoprak Balekambang, menutup destinasi-destinasi pariwisata, dan membatalkan acara-acara olahraga. “Lebih mending kita disalahkan orang yang sehat tapi tidak disalahkan orang yang sakit,” kata Rudyatmo dikutip oleh Liputan 6.

Inisiatif juga terlihat dilakukan oleh pemerintah maupun pemangku kebijakan di daerah, seperti pemda Surabaya yang telah meniadakan car free day, pemda Bandung yang menutup sejumlah area publik, dan pemerintah DKI Jakarta yang meliburkan sekolah selama dua minggu serta menunda dilaksanakannya ujian nasional tingkat SMA/SMK. “Anak-anak memang tidak banyak terjangkit COVID-19, tetapi mereka carrier,” ujarnya (14/3) dikutip dari CNN Indonesia.

Sejumlah perguruan tinggi di Indonesia pun memutuskan untuk melangsungkan kuliah jarak jauh, seperti di Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan lain-lain.

Sementara itu, pemerintah Indonesia menganggap lockdown masih tidak perlu dilakukan. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang menganggap lockdown akan menimbulkan kepanikan di masyarakat dan juru bicara Achmad Yurianto yang berkata bahwa lockdown bukanlah pilihan. Sementara itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi telah dinyatakan positif COVID-19 (14/3) setelah berkunjung dari beberapa daerah, seperti Toraja, Luwuk, Wakatobi, Makassar, Pare Pare, Kertajati, dan Indramayu.

Blunder Pemerintah Korbankan Nyawa

Presiden Joko Widodo mengakui bahwa ada informasi yang sengaja dirahasiakan dari publik. “Memang ada yang kita sampaikan dan ada yang tidak kita sampaikan. Karena kita tidak ingin menimbulkan keresahan dan kepanikan di tengah masyarakat,” ungkap Jokowi (13/3), dikutip dari Kompas.com. Bukan hanya pemerintah Indonesia yang terkesan menutup-nutupi informasi dan menganggap remeh ke publik. Tindakan serupa juga sempat dilakukan oleh pemerintah Cina, Iran, Amerika Serikat, dan lainnya.

Serupa dengan di Indonesia, pemerintah daerah di Cina tidak diberikan kewenangan dan tidak mendapatkan akses informasi terbaru terkait Corona. Pemerintah Cina, misalnya, sempat menuduh dokter-dokter yang coba memperingatkan virus Corona ini sebagai penyebar hoaks. Salah satu dokter, Li Wenliang, yang kini telah meninggal dunia akibat terinfeksi virus Corona, menyebutkan bahwa dirinya sempat diancam oleh polisi setempat: “kami memperingatkanmu, jika kamu tetap keras kepala dan melanjutkan aktivitas ilegal ini, kamu akan diadili. Mengerti?” Pemerintah Cina pun sempat menganggap remeh tingkat bahaya virus Corona ini, dengan menyampaikan bahwa virus tidak bisa ditularkan ke sesama manusia hingga kasus kematian yang tidak diumumkan ke publik.

Hal serupa juga terjadi di Iran, di mana tenaga medis diancam jika mereka memberikan informasi terkait pasien dan jumlah kematian kepada media. Pemerintah Iran pun dituduh telah menahan informasi dari publik, dan menganggap enteng penyebaran virus ini hingga sesumbar mengatakan diri mereka mampu membantu Cina dengan mengekspor masker ke negara tersebut. Namun, Iran kini menjadi negara dengan kasus virus Corona ketiga tertinggi di dunia.

Sementara itu, Korea Selatan justru belajar dari kesalahan pemerintahnya terdahulu. Pada 2015, Korea Selatan jadi negara dengan kasus MERS terbanyak kedua di dunia. Pemerintah mereka dikritik telah merahasiakan sejumlah informasi terkait penyebaran virus penyakit MERS ini. Kini, Korea Selatan menjadi salah satu negara yang paling transparan dengan menginformasikan secara detail riwayat bepergian warga negaranya yang positif COVID-19. Negara ini juga mengembangkan sistem tes drive-through yang berhasil membuat hampir 20.000 orang dites setiap harinya. Tingkat kematian akibat virus Corona di Korea Selatan pun telah menurun menjadi 0,7%–dibandingkan dengan tingkat kematian di seluruh dunia yang mencapai 3,4%, dilaporkan oleh World Health Organization (WHO).

Hingga saat ini, Korea Selatan tidak menetapkan sistem lockdown — walaupun sekolah tetap ditutup, pegawai kantoran dianjurkan untuk kerja dari rumah, dan acara bermassa besar tidak lagi diberi izin. Namun, Korea Selatan lebih mengedepankan sistem “trace, test, and treat”. Walaupun wabah terlihat mereda, tetapi pemerintah Korea Selatan dan tenaga medis tetap memperingatkan agar tidak lengah. Sebab, penyebaran di satu wilayah saja dapat berdampak besar ke wilayah-wilayah lain. “Lebih baik saya tahu,” kata seorang warga Korea Selatan yang baru saja selesai tes virus Corona, dikutip dari BBC. “Sehingga saya tidak membahayakan orang lain.”

Share: Pentingnya Desentralisasi Informasi di Tengah Wabah COVID-19