Budaya Pop

COVID-19: Tak Semua Penganut Antivaksin Bertobat

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada 70 calon vaksin COVID-19 yang sedang dikembangkan. Tiga di antaranya sudah memasuki tahap evaluasi klinis. Ini jelas kabar menggembirakan, tetapi mungkin bukan untuk semua orang.

Meski bahaya pandemi ini telah diakui secara universal, kaum antivaksin bisa saja bergeming. Salah satu sebabnya ialah penolakan terhadap sains, tentu penuh bumbu konspirasi, yang terus-menerus dilancarkan oleh selebritas berkeyakinan serupa.

“Para ekstremis yang digerakkan oleh keyakinan untuk menolak vaksinasi, yang bertujuan mengganggu dan mempolarisasi, mereka tidak berubah. Pada kenyataannya, mereka malah memanfaatkan [pandemi] ini,” kata Direktur Vaccine Confidence Project (VCP) London, Heidi Larson kepada The Guardian.

Diperkirakan telah ada sejak abad ke-18, gerakan antivaksin berkembang secara masif dalam beberapa tahun terakhir. Gerakan ini dipengaruhi oleh penelitian Andrew Wakefield, yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara vaksin MMR (Mumps Measles Rubella) dengan autisme pada anak-anak. Tentu ia telah berulang kali dibantah oleh temuan-temuan yang lebih mutakhir, namun bantahan itu tak punya gaung dalam kepala orang-orang yang telanjur percaya.

Anna Kata, antropolog kesehatan dari McMaster University Canada, pernah menunjukkan bahwa gerakan antivaksin banyak dipengaruhi oleh penyebaran informasi yang salah tentang vaksinasi di internet, terutama media sosial.

Beberapa selebritas dunia dengan keyakinan antivaksin adalah atlet tenis Novac Djokovic, aktor Jim Carrey, serta rapper asal Inggris M.I.A. Di Indonesia, yang terbaru, pandangan itu bertebaran dalam video podcast pesulap Deddy Corbuzier dan rapper Young Lex. Dengan lagak “kritis,” mereka mencurigai bahwa ada konspirasi di balik pengembangan vaksin COVID-19.

WHO menyebut gerakan dan sikap antivaksin sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global terbesar pada tahun 2019, di mana mereka menyumbang 30% kenaikan pada penyebaran campak secara global.

Namun, penelitian Larson bersama VCP menunjukkan orang-orang mungkin saja bersikap berbeda dalam konteks pandemi COVID-19. Setelah menganalisis lebih dari 3 juta unggahan media sosial selama Januari hingga Maret, dia menemukan bahwa kebanyakan orang bersemangat untuk sesegera mungkin memperoleh vaksin COVID-19.

Sebuah survei VCP di Perancis–yang 33% populasinya menganggap vaksin tidak aman–menemukan hanya 18% responden yang akan menolak vaksin COVID-19. Di Inggris, hanya 5% penduduk yang menolak vaksin, jumlah ini menurun dari 7% pada pertengahan Maret karena peningkatan angka kematian terkait pandemi. Di Indonesia, sebuah studi menunjukkan penolakan terhadap vaksin menurun drastis setelah pandemi datang. Perbedaannya bisa mencapai 37% dibandingkan sebelum itu.

Meski penyebaran pandemi terbukti mengikis penolakan terhadap vaksin, akan selalu ada yang tetap menolaknya–sebagaimana selalu ada nama-nama besar dengan pandangan serupa. Dalam masa-masa penuh ketidakpastian dan ketakutan, mereka memilih jalan termudah untuk memberikan penjelasan dan rasa tenang: mengkhayal.

Di Amerika Serikat, persoalan ini bahkan diperdebatkan dalam ranah politik berskala nasional. Narasi antivaksin digunakan Donald Trump dalam kampanye kepresidenannya untuk memperoleh suara dari kelompok ini. Walaupun akhirnya pandemi COVID-19 mengantarkan Trump pada pintu tobat, banyak politikus yang masih menggunakan narasi ini.

Para politikus penentang vaksinasi yang sedang mencalonkan diri atau menduduki jabatan penting di pemerintahan AS mendapat dukungan dan didanai oleh kelompok advokasi antivaksin yang besar. Mereka menolak kewajiban vaksinasi bagi seluruh warga negara.

Liutenant Governor negara bagian Vermont, David Zuckerman, yang mencalonkan diri sebagai gubernur untuk periode mendatang, dikecam karena berkampanye menggunakan narasi antivaksin dalam situasi wabah COVID-19. Ia menanggapi kecaman itu dengan teori konspirasi lainnya.

Menurutnya, dewan pengontrol penyakit menular di Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memiliki sejumlah konflik kepentingan. Zuckerman mengatakan, “Saya kadang bertanya-tanya: kapan agen pemerintah [CDC] tidak dipengaruhi korporasi dalam membuat keputusan?”

“Itu pesan berbahaya, bahwa setiap orang harus memutuskan [hak vaksinasi] sendiri,” kata Lois Privor-Dumm, peneliti senior kebijakan vaksin global di Universitas Johns Hopkins. Narasi yang menekankan tiap orang berhak untuk tidak divaksinasi membuat orang-orang yang rentan semakin berisiko tertular.

“Jika [orang yang menolak diberi vaksin] mau dikarantina setiap saat, tak masalah. Tapi kenyataannya tidak begitu. Jadi, tidak pantas kalau seorang politikus untuk melawan semua pakar kesehatan masyarakat di luar sana,” tambahnya.

Sebuah artikel editorial di LA Times menyatakan: “Terlepas dari kemenangan luar biasa sains terhadap penyakit, terlalu banyak orang yang lupa atau tidak menyadari: ada sebuah penyakit yang menimbulkan malapetaka sebelum vaksin tersedia untuk melawannya. Amnesia kolektif ini telah memungkinkan munculnya gerakan antivaksin, yang penganutnya–secara tidak bertanggung jawab–mempercayai bahwa vaksin ada untuk mengisi kantong-kantong industri farmasi global. Mereka mengabaikan fakta bahwa vaksin cacar sangat berhasil dalam memberantas penyakit yang telah menjadi petaka selama puluhan abad.

Mereka seharusnya mendengarkan Ice-T, legenda hip-hop dunia: “Hei, mau ini konspirasi global, daging kelelawar… PERSETANLAH. Virusnya nyata dan itu bisa membunuhmu, hanya itu yang perlu kuketahui. Jangan main-main dengan [wabah] ini. Berhati-hatilah.”

Ia melanjutkan dengan petuah ala gangster: “Dengar, jika seseorang menembakkan senjata dan orang-orang berjatuhan, kau tidak pelu mencari tahu siapa dan apa dan mengapa. Berlindunglah! Mencari tahunya nanti saja. Berlindunglah, sialan!”

Share: COVID-19: Tak Semua Penganut Antivaksin Bertobat