Isu Terkini

Manusia VS Pandemi, dari Masa ke Masa

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Riwayat wabah sama panjangnya, atau bahkan lebih panjang, daripada riwayat manusia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyakit menular telah menimpa manusia sejak masa prasejarah. Namun, karena corak kehidupan mereka yang sederhana–nomaden, berburu dan meramu serta hidup dalam kelompok kecil yang terisolasi–penyakit tidak sampai menjadi pandemi karena kesempatan transmisi penyakit dari satu kelompok ke kelompok lainnya sangatlah kecil.  

Situasi itu berubah ketika manusia menemukan modus produksi baru: bercocok tanam. Sejak manusia menetap dan membangun komunitas di desa dan (terutama) kota, mereka harus berurusan dengan penyakit menular dalam skala yang lebih besar. Kemudian, pembangunan imperium memfasilitasi penyebaran berbagai penyakit di sepanjang rute perniagaan dan peperangan.

Pandemi paling awal tercatat pada masa Perang Peloponnesia (430 SM). Penyakit itu diduga datang dari Ethiopia dan mewabah di Athena, tepat ketika pasukan Sparta mengepung. Dua pertiga dari populasi meninggal.

Dalam History of Peloponnesian War (431 SM), Thucydides menulis, “Wabah yang begitu parah dan mematikan, para dokter yang tidak peduli dengannya bukan saja tidak berdaya, tetapi mereka justru yang paling cepat meninggal karena paling banyak berhubungan dengan orang sakit. Di Athena yang penuh sesak, penyakit ini menewaskan sekitar 25% populasi.” Pandemi ini berdampak serius terhadap masyarakat Athena, bahkan menurunkan kepatuhan terhadap aturan dan keyakinan religius mereka.

Pada pertengahan abad ke-6, di Mesir muncul wabah Justinian yang menyebar melalui Palestina dan Kekaisaran Bizantium, dan kemudian ke seluruh Mediterania. Wabah itu menyebabkan rencana Kaisar Justinia untuk menyatukan Kekaisaran Romawi dan menyebabkan kekacauan ekonomi besar-besaran. Hal ini juga menciptakan suasana apokaliptik yang mendorong penyebaran agama Kristen dan kejatuhan imperium Romawi.

Wabah ini menewaskan sekitar 30-50 juta orang, atau sekitar 26% dari populasi dunia. Ini juga  diyakini sebagai awal mula kemunculan penyakit pes–yang dibawa oleh tikus dan disebarkan oleh kutu–yang menyebabkan wabah Black Death berabad-abad setelahnya.

Pada 1347, wabah kembali menghampiri Eropa. Ia masuk melalui kota Kaffa (saat ini Feodosia, Ukraina) di Krimea, yang dibawa oleh tentara Kekaisaran Mongol pada masa pengepungan. Para pedagang yang melarikan diri tanpa sadar membawanya kembali ke Italia. Dari sana, wabah ini menyebar ke Prancis, Spanyol dan Inggris. Kemudian sampai ke Norwegia dan seluruh Eropa, bahkan sampai ke Moskow.

Puluhan juta orang tertimpa penyakit, tubuh mereka menyerah pada penyakit dengan cara yang berbeda. Beberapa orang menunjukan bengkak di leher, ketiak, dan paha mereka; beberapa menunjukkan daging yang menghitam karena pendarahan di bawah kulit; beberapa batuk darah karena peradangan di tenggorokan dan paru-paru mereka. Tetapi mereka semua mengalami satu hal yang sama: demam, kelelahan, dan bau busuk yang menguar dari tubuh.

Wabah yang dikenal sebagai Black Death ini menyebabkan kematian pada sepertiga populasi Eropa atau sekitar 200 juta orang. Ia bahkan menyebabkan Inggris dan Prancis, yang saat itu berperang, untuk melakukan gencatan senjata. Hal ini juga dianggap menjadi awal dari keruntuhan sistem feodal Inggris karena berdampak pada demografi petani saat itu.

Teori paling populer mengatakan wabah Black Death berakhir melalui penerapan karantina. Yang tidak terinfeksi biasanya akan tetap tinggal di rumah dan hanya pergi jika diperlukan, sementara mereka yang mampu melakukannya akan meninggalkan daerah yang lebih padat penduduknya dan hidup dalam area isolasi. Perbaikan dalam kebersihan pribadi juga dianggap sudah mulai terjadi selama pandemi. Alih-alih mengubur jenazah yang terinfeksi wabah, praktik kremasi dilakukan untuk memastikan wabah tidak lagi menular.

Pada abad ke-16, Small Pox atau cacar mewabah. Meski sudah ditemukan sejak awal peradaban manusia, wabah ini hampir melibas habis pribumi Amerika selepas kedatangan orang Spanyol di Karibia. Hal ini terus berlanjut hingga seorang dokter asal Inggris, Edward Jenner, memformulasikan vaksin pada tahun 1976. Kekaisaran Aztec adalah korban dari wabah ini, ia runtuh pada tahun 1520 ketika banyak rakyatnya terinfeksi cacar dari para budak Afrika.

Pada 1918, merebak wabah flu yang dikenal sebagai Flu Spanyol. Orang-orang menamainya demikian karena pemberitaan gencar media massa Spanyol selama pandemi terjadi. Penyebab utama flu ini adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1. Virus ini mudah menular melalui udara sehingga bisa merebak ke wilayah yang luas dalam waktu singkat.

Ada dua versi yang menyebutkan asal kemunculan virus Flu Spanyol. Perkiraan pertama, virus ini mulai mewabah di kompleks militer Fort Riley, Amerika Serikat pada Maret 1918. Virus ini lalu menyebar ke Eropa ketika Amerika Serikat mengirim tentara ke medan Perang Dunia I. Perkiraan lain menyebutkan, wabah flu Spanyol bermula di Swedia atau Rusia dan lalu menyebar ke Cina, Jepang, hingga Asia Tenggara.

Spanish Flu menyebabkan kematian sekitar 40-50 juta orang hanya dalam kurun waktu satu tahun saja. Pada saat itu, tidak ada obat atau vaksin yang efektif untuk mengobati jenis flu yang mematikan ini. Warga diperintahkan untuk mengenakan masker; sekolah, teater dan bisnis ditutup; mayat-mayat ditumpuk di kamar mayat sementara sebelum virus berakhir pada musim panas tahun 1919.

Virus ini menghilang secara misterius karena dibayangi oleh kematian pada Perang Dunia I dan tertutupi oleh pemadaman berita dan pencatatan yang buruk. Satu abad setelahnya ia kembali dan dikenal sebagai Flu Babi meski tidak menyebabkan jumlah kematian seperti pada saat kemunculan pertamanya.

Kepanikan hingga langkah rasional kerap mewarnai tindakan manusia pada masa pandemi. Penulis buku China Syndrome (2006), Karl Taro Greenfeld menuliskan ada empat tahap kesedihan epidemi (epidemic grief): penolakan, kepanikan, ketakutan, dan –jika semuanya berjalan dengan baik– respons rasional.

Dengan wabah yang menyerang pernapasan seperti SARS, MERS, dan COVID-19, teknik dan peralatan medis abad ke-19 –topeng, sarung tangan, sepatu karet, ruang isolasi, karantina– adalah bentuk respons rasional. Menurut Greenfeld, kepanikan adalah proses yang wajar saja. Itu dilakukan oleh manusia sepanjang masa sejarah pandemi. Namun, berusahalah secara rasional. Lagipula, ujung-ujungnya umat manusia selalu selamat dari virus yang mengancam keberlangsungan spesies.

Share: Manusia VS Pandemi, dari Masa ke Masa