Isu Terkini

BPJS Tak Menanggung Obat Kanker Usus dan Nasib Penderita yang Terus Bertambah

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Obat kanker usus tak lagi ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Maret 2019 nanti. Hal itu mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan tentang Formularium Nasional. Keputusan tersebut telah dikeluarkan pada 19 Desember 2018 lalu.

Setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker. Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar).

Baca Juga: Jalan Terjal Magdalena Selamatkan Anak-anak ODHA yang Terbuang

“Pada prinsipnya, mengenai obat kanker usus tak lagi ditanggung BPJS, pihak BPJS Kesehatan senantiasa berusaha untuk, comply dengan regulasi yang mengatur program,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maruf pada media pada Kamis, 22 Februari 2019.

Meskipun obat kanker usus dihapus dari layanan, menurut Iqbal hal itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap BPJS Kesehatan.  Sebab, pembiayaan obat jenis kasus kanker usus hanya sebagian kecil dari dana Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Tanggungan biaya JKN untuk obat kanker usus, ungkap Iqbal, adalah sekitar 50 sampai 60 Miliar Rupiah. Sedangkan JKN 2017 berjumlah Rp84 Triliun.

“Pembiayaan obat kanker usus kisaran Rp50 miliar sampai Rp60 miliar setahun. Gambaran biaya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 2017 itu Rp84 triliun,” kata Iqbal.

Penolakan Obat yang Dihilangkan dari Layanan BPJS

Biaya pengobatan memang cenderung mahal apalagi bagi masyarakat yang kurang mampu. Pemerintah pun menghadirkan BPJS Kesehatan sebagai asuransi dengan biaya iuran lebih murah. Dengan begitu, para peserta BPJS Kesehatan bisa mendapatkan layanan perlindungan kesehatan, mulai dari pemeriksaan, rawat inap, pembedahan, obat, dan lainnya. Lalu, bagaimana jadinya jika peserta BPJS Kesehatan yang menderita kanker usus tidak bisa menebus obat?

Oleh sebab itu, salah satu yayasan yang membantu anak-anak penderita kanker, Yayasan Pita Kuning menolak dengan keras keputusan Menteri Kersehatan perihal obat kanker yang tak lagi ditanggung BPJS. Head of Service Yayasan Pita Kuning Tyas Amalia mengatakan bahwa para penggiat kanker sudah mulai bergerak untuk membuat petisi menolak penghapusan dua jenis obat kanker usus tersebut. Petisi tersebut nantinya akan bertujuan untuk menggugat Kementerian Kesehatan agar mengembalikan dua jenis obat kanker usus dalam layanan BJPS Kesehatan.

Baca Juga: Perusahaan Swasta Wajib Daftarkan Pekerjanya ke BPJS

“Jadi di WA (WhasApp) itu sudah mulai bergerak teman-teman penggiat kanker membuat petisi sebenarnya untuk menggugat dikembalikannya lagi kedua jenis obat itu dalam tanggungan BPJS,” ujar Tyas, Kamis, 22 Februari 2019.

Tyas menilai keputusan penghapusan obat kanker usus yang tertuang dalam Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/Menkes/707/2018 itu terlalu terburu-buru. Bahkan dia menilai keputusan diambil tanpa melibatkan banyak pihak, baik dari pakar kesehatan maupun masyarakat, terutama para pasien kanker usus. Obat kanker usus, ungkat Tyas, tidaklah murah apalagi bagi mereka yang hidupnya kekurangan.

“Untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari saja sulit, apalagi untuk menebus obat dengan harga nominal tidak sedikit?” tuturnya.

Jumlah Penderita Kanker Usus Terus Meningkat

Kanker kolorektal (usus besar) sebenarnya telah menjadi penyakit yang mengancam masyarakat Indonesia. Apalagi di Indonesia, kanker kolorektal sudah bercokol di urutan ketiga untuk kanker yang paling sering menyerang wanita, setelah rahim dan payudara. Sementara kanker ini menempati urutan kedua yang menyerang pria. Penderita penyakit kanker usus memang terus meningkat seiring dengan perubahan lingkungan dan gaya hidup.

Guru Besar Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Aru Wisaksono Sudoyo mengungkapkan, hingga 2015, jumlah penderita kanker kolorektal sudah mencapai 10 persen dari semua jenis kanker. Itu mengartikan bahwa ada sekitar 1,4 juta orang yang menderita penyakit tersebut. Diperkirakan akan terjadi kenaikan angka kejadian kanker yang sangat besar di negara berkembang.

“Bahaya kanker lebih besar daripada AIDS dan HIV. Angkanya terus bergulir. Terutama kanker kolorektal, yang meningkatnya cukup tinggi,” ungkapnya.

Baca Juga: Siswa Dikeluarkan dari Sekolah dan Salah Kaprah Penularan HIV yang Perlu Diluruskan

Aru menjelaskan, kanker ini erat kaitannya dengan kerentanan genetik dan lingkungan. Artinya, gaya hidup sangat mempengaruhi keganasan kanker kolorektal. Bahkan sebagian besar bersifat sporadis dan hanya sebagian kecil bersifat turunan dari orang tua ke anak (herediter).

Bahkan kejadian kanker kolorektal di Indonesia semakin meningkat. Di mana lebih dari 30 persen penderitanya adalah kaum muda yang berada di usia produktif atau di bawah 40 tahun. Kanker memang menjadi masalah kesehatan terbesar di dunia, khususnya di Indonesia. Angka kejadian kanker akan meningkat sampai 80 persen pada 2030.

“Kalau tidak ditanggulangi secara serius, bisa sebanyak itu peningkatannya,” tutur Prof Aru yang juga merupakan Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia.

Kanker usus yang menyerang orang di usia produktif itu sebenarnya juga memiliki faktornya sendiri. Beberapa gaya hidup tidak sehat, misalnya, yang dapat memicu penyakit kanker kolorektal. Contoh gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, meminum alkohol, dan sering memakan makanan berlemak atau daging merah, sedangkan konsumsi serat dan aktivitasnya fisiknya kurang.

“Dalam 20 tahun terakhir terjadi perubahan gaya hidup, orang-orang senang memakan cepat saji, hal ini dapat memicu berbagai macam penyakit salah satunya kanker kolorektal,” kata dia saat acara diskusi Kenali Kanker Kolorektal Lebih Dekat, di Jakarta, Selasa, 3 April 2018 lalu.

Share: BPJS Tak Menanggung Obat Kanker Usus dan Nasib Penderita yang Terus Bertambah