Isu Terkini

UU ITE dan Penangkapan Sudarto

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Aktivis Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka) Padang, Sudarto, ditangkap Polda Sumatera Barat, pada Selasa (07/01/20), di kediamannya. Ia dicokok gara-gara mengabarkan pelarangan perayaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatra Barat, lewat Facebook. Hingga Rabu (08/01/20), Sudarto masih diperiksa secara intensif di Polda Sumbar.

Menurut kabar terkini, polisi melepaskan Sudarto dengan permohonan dari pihak keluarga, namun ia diwajibkan melapor seminggu sekali. Keputusan melepaskan Sudarto dituangkan dalam Surat Perintah Pelepasan Tersangka yang dikeluarkan Direktur Reskrimsus Polda Sumbar Kombes Juda Nusa Putra, Rabu (08/01).

Unggahan Sudarto dianggap polisi membuat masyarakat resah, mengganggu kerukunan hidup beragama di dua daerah tersebut. Ia dinilai menyebarkan pemicu kebencian, yang juga tak sesuai kenyataan–sebab perayaan Natal di Dharmasraya berlangsung aman, damai, nyaman, dan tanpa larangan

Baca Juga: Apa yang Bisa Kamu Lakukan Kalau Diancam dengan UU ITE

Berdasarkan surat penangkapan nomor SP.Kap/01/I/RES.2.5/2020/Ditreskrimum yang ditandatangani Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sumbar, Kombes Juda Nusa Putra per 7 Januari 2020, pasal yang disangkakan ke Sudarto yakni 45 ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan 2 dan/atau Pasal 15 UU 1/1946 tentang Hukum Pidana.

Polisi menuding Sudarto lewat akun Facebooknya “Sudarto Toto” menyebarkan informasi bohong dan bermuatan SARA, kebencian, dan diskriminasi kepada orang lain. Ia pun langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Polda Sumbar menegaskan penangkapan Sudarto sudah sesuai prosedur. Direktur Reseserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Sumbar Kombes Juda Nusa mengatakan, penetapan status tersangka dilakukan sehari sebelum penangkapan.

“Kita gelar perkara, statusnya jadi tersangka. Sehari kemudian kita tangkap,” kata Juda Nusa kepada wartawan, Rabu (08/01) dikutip dari detikcom. Juda mengatakan penangkapan dilakukan menyusul adanya laporan warga Jorong Kampung Baru, Kenagarian Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung Kabupaten Dharmasraya terkait postingan-postingan tersangka di media sosial.

Kronologi Penangkapan Sudarto

Pada Desember 2019, Sudarto mengadvokasi umat Kristen dan Katolik di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, yang dilarang merayakan Natal bersama dan hanya diizinkan merayakan Natal di rumah masing-masing oleh pemerintah setempat dengan dalih “kesepakatan bersama”. Kuasa hukum Sudarto, Wendra menjelaskan kronologi penangkapan kliennya itu.

Sudarto diamankan pada pukul 13.30 WIB di Kantor Pusaka. Sebelum ditangkap oleh Polda Sumbar, Sudarto sempat ditelepon oleh satu orang yang tidak dikenal. Dalam sambungan telepon itu, orang tersebut mengajak Sudarto untuk bertemu di kantor Pusaka.

Lalu, setelah ditunggu di kantor Pusaka, ada delapan anggota Polda Sumbar yang datang. Saat itulah, anggota Polda Sumbar menangkap Sudarto dengan menunjukkan Surat Perintah Penangkapan dengan nomor SP.Kap/4/I/RES2.5/2020/Ditreskrimsus.

Baca Juga: Robertus Robert dan Dandhy Laksono, Para Tersangka yang tidak Dibui

“Dalam penangkapan, polisi sempat akan menyita komputer yang ada di Pusaka, akan tetapi penyitaan tersebut ditolak oleh Sudarto karena tidak ada perintah dari pengadilan,” kata Wendra.

Lebih lanjut, Wendra mengatakan bahwa penangkapan ini dilakukan akibat kritikan Sudarto terkait dugaan pelarangan ibadah Natal di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya. Ia mengatakan kasus pelarangan perayaan Natal di Nagari Sikabau atas balasan surat pemberitahuan dari Pemerintahan Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya.

Menurut Wendra, surat itu berisi mengenai pemerintahan Nagari yang merasa keberatan atas pelaksanaan ibadah Natal dan Tahun Baru 2020, yang bersifat terbuka dan berskala banyak agar melaksanakan dan merayakan di luar wilayah Sikabau. Dalam surat dijelaskan bahwa umat Kristiani di Nagari Sikabau yang ingin melaksanakan ibadah Natal agar dilaksanakan secara individual di rumah masing-masing.

“Penangkapan terhadap Sudarto merupakan salah satu bentuk pembungkaman demokrasi di Indonesia,” katanya. Pemakaian pasal-pasal karet dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Eletronik tersebut terus dilakukan oleh negara untuk membungkam suara-suara kritis dalam menyuarakan hak-hak masyarakat yang ditindas dan dikucilkan untuk menjalankan agama yang dipercayai.

Setara Institute: Penangkapan Sudarto Dianggap Upaya Kriminalisasi

Setara Institute mengatakan penangkapan Sudarto tersebut sebagai bentuk kriminalisasi di mana pihak kepolisian dinilai arogan. “Setara Institute mengutuk kriminalisasi yang dilakukan oleh Polda Sumatera Barat atas Sudarto,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos dalam siaran pers kepada wartawan, Rabu (08/01).

Menurut Bonar, tindakan kriminalisasi tersebut, apalagi penahanan terhadap yang bersangkutan, sangat jelas menunjukkan arogansi kepolisian dalam menggunakan kewenangan polisionalnya untuk membungkam kritik dan pembelaan atas kelompok minoritas.

Baca Juga: Kasus Baiq Nuril dan Tiga Masalah Krusial yang Harus Dibenahi Pemerintah dan DPR RI

“Dalam pandangan Setara Institute, kriminalisasi atas Sudarto merupakan serangan secara terbuka terhadap pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas untuk beragama dan beribadah secara merdeka, sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya.

Bonar mengatakan advokasi dan pembelaan yang dilakukan oleh Sudarto selama ini merupakan tindakan yang seharusnya mendapat dukungan dari aparatur pemerintah. Sebab, menurutnya, pembelaan itu merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil untuk memajukan jaminan konstitusional hak kebebasan beragama.

“Tindakan Polda Sumbar, dalam pandangan Setara Institute, merupakan paradoks atas spirit dan citra yang berusaha dibangun oleh Pemerintahan Joko Widodo dengan Kabinet Indonesia Maju-nya bahwa pemerintah berkomitmen untuk memajukan toleransi, menangani radikalisme, dan memperkuat kebinekaan.”

Untuk itu, Bonar dan Setara mendesak Kapolri Jenderal Idham Azis agar mengambil langkah yang memadai untuk melindungi pembela hak-hak konstitusional kelompok minoritas, seperti Sudarto. Pembebasan Sudarto merupakan langkah strategis untuk menunjukkan keberpihakan kepolisian terhadap pemajuan toleransi dan kebhinekaan yang dijamin oleh konstitusi.

Bagaimana Proses Hukum Sudarto?

Executive Director SAFEnet Damar Juniarto menyebut dari kasus yang sudah dikembangkan kepolisian, ada 13 postingan yang dipermasalahkan dan ditanyakan pihak kepolisian ke Sudarto. Selain isu hoaks, ternyata sekarang melebar ke dugaan ujaran kebencian.

“Nah dalam hal ini yang jadi pertanyaan sebenarnya yang diperkarakan itu adalah ujaran hoaksnya. Sebenarnya kita tau bahwa yang disampaikan Mas Darto itu berdasarkan pada hasil penelitian dan juga pengamatan di lapangan,” kata Damar saat dihubungi Asumsi.co, Rabu (08/01).

Sekadar informasi, pada Desember 2019 kemarin, masyarakat dihebohkan dengan kabar umat Kristen di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat, yang dilarang merayakan Natal bersama. Lalu, pemerintah setempat hanya mengizinkan perayaan Natal di rumah masing-masing dengan dalih “kesepakatan bersama”. Menurut Damar, hal itu berarti kejadiannya memang berdasarkan situasi yang nyata di sana.

“Nah situasi yang sudah kondusif dan diharapkan semua pihak itu kan sebenarnya sudah terjadi. Tapi dengan kejadian penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian, SafeNET memiliki beberapa catatan terkait kasus ini.”

Pertama, SafeNET melihat bahwa tidak perlu ada penangkapan terhadap Sudarto. Kalau memang keperluannya adalah memeriksa dalam kaitannya dengan apa yang ia sampaikan di media sosial, hal itu harusnya bisa disampaikan dengan mengirim surat secara formal agar Sudarto selanjutnya bisa memenuhi undangan pemeriksaan tersebut untuk memberikan keterangan

“Dengan penangkapan yang dasarnya bisa dipastikan dari Pasal 28 ayat 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1, kan jadi menempatkan Mas Sudarto ini setara dengan penjahat kelas berat. Itu yang menjadi keberatan kami dengan cara berlebihan yang dilakukan polisi dalam meminta keterangan Mas Sudarto,” ujarnya.

Kedua, dampak dari penangkapan ini seperti mau kembali memperkeruh situasi yang sebetulnya sudah kondusif. Kalau memang yang dianggap oleh polisi itu soal keonarannya, kalau mau dilihat lagi keonarannya itu muncul disebabkan oleh pokok persoalannya yakni diskriminasi agama.

“Jadi kalau memang kepolisian dengan sangat yakin bahwa Mas Sudarto ini dianggap menyebar kebencian, kan harusnya juga dipertimbangkan dengan cukup baik dari situasinya. Bukan hanya dari media sosial, tapi juga lihat kondisi lapangannya.”

Lebih lanjut, Damar mengatakan justru dengan cara penangkapan seperti ini yang menempatkan Sudarto sebagai tersangka, hal itu akan membuat pokok persoalan gesekan agama ini akan kembali terjadi di Dharmasraya. Untuk itulah ia mendesak kepolisian untuk segera melakukan SP3 atau Surat Penghentian Penyidikan Perkara.

Kalau saja proses ini diteruskan, lanjut Damar, publik tentu akan menghadapi tren buruk di sepanjang tahun 2020 ini. Di mana orang-orang yang ingin menyuarakan ketidakadilan, menyuarakan diskriminasi, justru akan dengan mudah menjadi tersangka dan dijebloskan ke penjara.

“Itu kan namanya kita masuk dalam siaga satu kebebasan berekspresi. Lalu yang ketiga, kita juga harus melihat fakta bahwa jumlah orang yang ditangkap ini kan makin lama kan makin banyak. Sebenarnya ini menunjukkan bahwa kalau ini tidak kunjung diselesaikan dengan merevisi pasal karetnya, ini akan terus bertambah. Ini membahayakan, karena makin rusak nanti jaringan sosial di masyarakat kita karena kalau ada masalah orang-orang langsung pakai UU ITE.”

Share: UU ITE dan Penangkapan Sudarto