Isu Terkini

Sepakbola Indonesia Berduka (Kembali)

Kiki Esa Perdana — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Dunia sepakbola kembali berduka. Kata ‘kembali’ jelas merepresentasikan korban meninggal dunia karena perilaku bar-bar suporter sepakbola yang terjadi. Tercatat, dihimpun dari berbagai macam sumber, sudah ada 41 orang korban keributan antarfans sepakbola meninggal dunia sejak tahun 2001. Mulai dari anggota Maczman, Bonek Mania, Brajamusti, Snex, LA Mania, Jakmania, dan juga Bobotoh Persib sudah pernah menjadi korban. Benar-benar bukan jumlah yang sedikit. Malahan menurut saya, satu korban pun sudah tergolong banyak.

Jumlah 41 tersebut sebabnya terbilang serupa, kekerasan dalam bentuk pengeroyokan hingga bentrokan. Kasus-kasus yang memakan korban jiwa pada ranah sepakbola ini mayoritasnya karena adanya kekerasan. Kekerasan tersebut dilakukan dengan pengeroyokan oleh orang banyak menggunakan rantai besi, kayu, penusukan menggunakan benda tajam atau. Semua terlihat mengerikan. Melihat hal tersebut, sepakbola seakan hanya memunculkan sisi kekerasan daripada prestasi yang bisa dibanggakan.

Apa yang terjadi pada Haringga Sirla minggu kemarin (23/9) juga seakan memaparkan hal yang sama; memperlihatkan kekerasan dibanding prestasi. Video yang beredar mengenai pengeroyokan itu seakan memunculkan amarah hebat yang telah lama hadir antar suporter. Banyak pula yang beranggapan di sosial media bahwa chants dan kaos atau scraft yang bernada kekerasan, memiliki peran penting. Semuanya memang tidak bisa dipungkiri berpotensi memacu kebencian. Semuanya memiliki kapabilitas untuk menjadi media informasi untuk menghasilkan kekerasan.

Mengenai sepakbola di Indonesia sendiri, tidak bisa dipungkiri bahwa olahraga tersebut menjadi salah satu olahraga favorit semua kalangan. Baik itu laki-laki maupun perempuan, anak-anak sampai dewasa, juga dari kalangan bos besar juga sampai kalangan bawah semua suka sepakbola. Tidak mustahil apabila setiap pertandingan sepak bola, stadion selalu penuh sesak oleh penonton hingga puluhan ribu. Tak lupa, pertandingan-pertandingan sepakbola selalu dipenuhi suporter fanatik yang tak pernah mau ketinggalan menyaksikan performa dari atlet-atlet sepakbola favorit mereka. Selain atlet favorit mereka, fanatisme terhadap suatu klub bola pun membuat pertandingan olahraga ini selalu dipenuhi pendukungnya. Mereka akan selalu berada di stadion dan mendukung klub tersebut dengan sepenuh hati, walau klub favorit mereka mengalami kekalahan. Tidak ketinggalan, mereka pun memiliki tingkah laku bermacam-macam. Mulai dari sibuk berswafoto hingga berteriak sebagai bentuk dukungan kepada klub favorit, semua bisa dijumpai di stadion ketika pertandingann berlangsung. Itulah kenapa, jika kita membicarakan sisi sepakbola dan stadionnya, bukan hanya peranan distrbusi tiket, titik bisnis, keamanan, panitia pelaksana ataupun fasilitas saja, tetapi juga peran keilmuan psikologi massa tidak bisa ditolak, untuk membicarakan jiwa sekumpulan orang banyak baik yang tampak ataupun tidak tampak.

Keterlibatan emosional dari para pendukung setia bisa jadi menjadi salah satu penyebab Hingga kehilangan nyawanya. Maka tidak dapat dihindari jika kasus ini melibatkan banyak pihak. Akhirnya, kasus ini pun berakhir di pihak kepolisian dan para pelakunya dipidanakan. Otomatis, hal ini menjadi perhatian warga luas. Konflik diantara Jakmania dan Bobotoh adalah sebuah konflik destruktif, tidak sebatas terjadi karena kebencian semata diantara keduanya. Bingungnya, entah mengapa konflik ini tidak pernah selesai. Paling tidak, sampai hari ini.

Saya pribadi, sebagai penggemar berat olahraga sepakbola, muak dengan kekerasan yang selalu terjadi dan dikabarkan luas oleh media massa.  Saya harap Anda merasakan hal yang sama dan mari kita mulai berperilaku sebagai pendukung suportif, menghindari kekerasan ketika berpapasan dengan pendukung dari pihak lawan.

Kiki Esa Perdana adalah dosen Ilmu Komunikasi. Ia sangat antusias dengan isu komunikasi politik dan budaya.

Share: Sepakbola Indonesia Berduka (Kembali)