General

Faldo Maldini: Gerindra Berpotensi Ikut Jokowi

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Politikus muda Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini kembali menjadi sorotan lantaran pernyataannya yang diunggah di kanal YouTube pribadinya. Sebelumnya, Faldo sempat menyebut Prabowo sulit menang di Mahkamah Konstitusi terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kini, ia menyebut ada kemungkinan Prabowo merapat ke Jokowi.

Faldo, yang dikenal sebagai Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN), menilai Prabowo sangat mungkin merapat ke kubu Jokowi, dan itu bukan persoalan selama tak kehilangan nilai-nilai yang selama ini diperjuangkan.

Dalam video bertajuk “Prabowo (Mungkin) Gabung Jokowi”, Faldo bicara soal kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam politik. Setelah itu, ia juga berbicara soal Pileg 2019, di mana partai pimpinan Prabowo itu menempati posisi kedua dengan perolehan suara sebanyak 12,97%.

“Mungkin nggak yang 12% gabung sama Jokowi? Gue nggak bilang sih, kalau Gerindra gabung ke Jokowi itu buruk. Itu realistis. Itu pilihan bagi parpol, berada dalam lingkaran kekuasaan tentu lebih baik,” kata Faldo dalam videonya di YouTube, Minggu (23/06/19).

Meski begitu, Faldo juga tak menampik jika hal sebaliknya juga terjadi, di mana misalnya Prabowo dinyatakan menang pilpres, Jokowi bisa saja bergabung di pemerintahan ketum Gerindra itu.

“Balik lagi, misalnya Pak Prabowo Subianto memilih gabung dengan Pak Jokowi kalau Pak Jokowi terpilih. Atau entah siapa pun yang menang. Misal Pak Jokowi gabung ke Pak Prabowo. Pak Prabowo jadi wantimpres atau Pak Jokowi jadi penasihat presiden, Kiai Ma’ruf jadi menteri atau penasihat presiden, Bang Sandi jadi menteri mungkin,” ujarnya.

Lumrah Jika Gerindra Gabung ke Jokowi

Apa yang disampaikan Faldo tentu terkait dengan bentuk koalisi yang mungkin terjadi setelah presiden dan wakil presiden terpilih nanti ditetapkan. Dalam hal ini, yang perlu dipahami bahwa setidaknya ada dua jenis koalisi yang ada di dalam sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Indonesia saat ini. Pertama, koalisi yang “relatif” permanen. Relatif yang dimaksud karena soliditas koalisi dalam sistem presidensial biasanya lebih lemah dibandingkan koalisi dalam sistem parlementer. Dalam konteks Indonesia, koalisi ini biasanya bertahan sampai lima tahun.

Koalisi jenis ini merupakan jaminan awal yang dapat memudahkan presiden untuk mendapatkan dukungan yang cukup dalam menjalankan agenda-agenda pemerintahannya. Jaminan awal itu tentu tak didapat begitu saja, sebab presiden yang terpilih akan menukar dukungan koalisi dengan sejumlah konsesi politik kepada partai-partai pendukungnya, terutama jabatan-jabatan di kabinet atau posisi lain yang setara.

Dalam konteks Pilpres 2019, misalnya, pimpinan partai politik seperti Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sudah menyinggung soal jabatan menteri yang bisa didapat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bahkan jauh sebelum pilpres dimulai. Meski begitu, jaminan awal ini justru sifatnya tidaklah mutlak. Presiden terpilih tidak bisa berharap partai-partai anggota koalisinya akan seratus persen selalu mendukung.

Sementara itu, koalisi kedua adalah koalisi yang bersifat ad hoc yang berarti dibentuk atau dimaksudkan untuk salah satu tujuan saja atau sementara. Dukungan politik untuk kebijakan presiden dapat pula diperoleh per kebijakan atau per isu. Dukungan ini bersifat retail dan sementara.

Koalisi yang bersifat ad hoc ini biasanya terbentuk hanya berdasarkan agenda politik tertentu yang cocok dengan partai politik. Presiden dapat mengidentifikasi agenda-agenda kebijakannya yang cocok dengan partai-partai tertentu, tidak peduli ia berasal dari koalisi atau oposisi. Misalnya saja agenda A mungkin cocok untuk partai B, agenda C cocok dengan partai D, dan seterusnya. Biasanya hal ini terbangun saat perumusan undang-undang atau produk kebijakan lain.

Terkait hal ini, dukungan untuk kebijakan presiden yang bermacam-macam itu tentu akan sangat dinamis, bergantung pada kepandaian tim lobi politik presiden dalam mendekati partai-partai.

Sampai hari ini, model koalisi yang dibangun oleh partai politik di Indonesia dipengaruhi setidaknya oleh dua karakter utama, yakni: 1) Upaya untuk memburu jabatan, di mana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang memperoleh posisi di kabinet dan jabatan pemerintahan lainnya yang akan terbentuk dan 2) modus pencari suara, di mana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan, baik pemilihan presiden ataupun pemilihan legislatif.

Kembali lagi soal apa yang disampaikan Faldo soal kemungkinan Gerindra dan Prabowo bergabung ke Jokowi, hal itu dianggap sebagai sebuah kewajaran. Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai dalam politik apa saja bisa terjadi, termasuk jika nanti Jokowi dan Prabowo bersatu dalam pemerintahan lima tahun ke depan. Kemungkinan-kemungkinan itu tentu sejalan dengan model koalisi yang selama ini ada dalam kancah perpolitikan nasional.

“Mungkin saja, dalam politik apapun bisa terjadi, apalagi Gerindra dan Prabowo tak punya sejarah atau rekam jejak yang kelam dengan Jokowi dan Megawati. Hubungan kedua pihak ini baik-baik saja,” kata Adi saat dihubungi Asumsi.co, Senin (24/06/19).

Hubungan baik itu, menurut Adi, terlihat jelas ketika Megawati dan Prabowo pernah membawa Jokowi ikut bertarung di Pilgub DKI 2012 dan akhirnya menang. Saat itu, tentu peran Prabowo dalam keberhasilan Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, tak bisa diabaikan.

“Jadi nggak ada persoalan, beda halnya dengan hubungan Mega dan SBY, misalnya. Saya memahami omongan Faldo Maldini soal kemungkinan Gerindra bergabung dengan kubu Jokowi ya itu persoalan biasa dalam politik kita,” ujarnya.

Adi pun mencontohkan kalau kebiasaan lawan menjadi kawan dalam politik itu sudah kerap terjadi di kancah perpolitikan nasional sejak lama. “Sebab, tradisi lompat pagar atau berangkulan antar partai yang bersaing itu adalah hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Dulu misalnya di Pilpres 2004, hanya ada beberapa parpol yang mengusulkan capres, tapi setelah SBY menang semuanya hampir merapat kan.”

Bahkan, cerita menarik tersaji lima tahun sebelumnya atau pada tahun 1999, di mana saat itu PDI Perjuangan meraih suara tertinggi di Pemilu Legislatif, yakni 33,2%, sekaligus berhasil mematahkan dominasi Partai Golkar pada rezim Soeharto. Kala itu, Golkar berada di posisi kedua dengan 25,97% suara.

Meski begitu, kemenangan PDIP itu tak serta merta menjamin dan membuat jalan Megawati Soekarno Putri menjadi mulus untuk maju menjadi calon presiden RI. Hal itu lantaran saat itu belum ada lembaga yang mengatur bahwa partai pemenang pemilu mutlak atau bisa menjadi presiden. Yang membuat langkah Megawati dan PDIP semakin terjal adalah munculnya koalisi partai-partai Islam, yang kemudian disebut Koalisi Poros Tengah, dengan komposisi Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan PKB untuk menghadang Megawati menjadi presiden.

Koalisi Poros Tengah itu mulanya terkesan hendak menyokong Amien Rais untuk menjadi presiden. Saat itu, Amien menjadi sorotan lantaran dianggap berperan besar dalam reformasi. Namun, pada akhirnya, yang muncul justru Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Akhirnya, Koalisi Poros Tengah pun berhasil membawa Gus Dur menjadi Presiden RI ke-4.

Tak selesai sampai di situ, pertanyaan pun muncul, seperti apa strategi politik koalisi tersebut dalam menentukan wakil presiden untuk mendampingi Gus Dur? Imbas kekalahan dari Gus Dur itu, pendukung Megawati pun bergejolak di sejumlah daerah seperti Sumatera Utara, Riau, Bali, Jawa Tengah. Puncaknya, Sidang Istimewa MPR pun digelar dengan agenda pemilihan wakil presiden secara tertutup.

Saat itu, hasil sidang diharapkan bisa meredakan situasi politik yang sedang tegang, di mana Megawati akhirnya terpilih sebagai wakil presiden. Koalisi di tahun 1999 sendiri seperti ingin menegaskan bahwa tawar-menawar dalam politik memang lumrah terjadi. Segala intrik pun sudah pasti muncul dari banyaknya partai dan tokoh-tokoh politik yang memiliki kepentingan untuk merebut kekuasaan.

Pemilu 2004, di mana partai politik Islam saat itu tidak lagi satu suara dan ada yang berkoalisi dengan partai sekuler, berbeda. Pemilihan presiden putaran pertama diisi dengan lima calon pasangan.

Komposisinya saat itu adalah Partai Golkar berkoalisi  bersama PKB untuk mendukung Wiranto-Salahudin Wahid, lalu PDI Perjuangan bersama Partai Damai Sejahtera untuk mendukung Megawati-Hasyim Muzadi, ada pula PAN berkoalisi dengan Partai Bintang Reformasi, PKS, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Partai Sarikat Indonesia untuk mendukung Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, lalu ada koalisi Partai Demokrat bersama PBB dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia untuk mendukung Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, sedangkan PPP sendirian mendukung Hamzah Haz-Agum Gumelar.

Komposisi koalisi pun seketika berubah pada pemilihan presiden putaran kedua, di mana saat itu dua pasangan yang akan bertarung lagi adalah pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla. Berikutnya, partai-partai Islam yang tadinya pecah kongsi justru bergabung di kubu capres tertentu di putaran kedua.

Misalnya saja ada PPP dan PKB yang memilih merapat ke pasangan Megawati-Hasyim. Sementara PAN dan PKS memberikan dukungan untuk pasangan SBY-JK. Peta koalisi sebetulnya tak banyak berubah pada Pemilu 2009, di mana partai-partai Islam masih solid dan berkoalisi mendukung SBY sebagai capres yang berpasangan dengan Boediono. SBY-Boediono saat itu membentuk koalisi bernama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.

Koalisi itu memiliki komposisi sejumlah partai seperti Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, dan Partai Golkar. Kekuatan partai pendukung pemerintah ini bekerja keras untuk melawan kubu oposisi di parlemen dalam hal mengambil keputusan.

Pemilu 2014 lain lagi, di mana partai-partai Islam tampil seperti pada Pemilu 1999 di mana mereka mampu mendulang banyak suara dalam banyak survei, partai-partai Islam disebut tak akan tampil maksimal dan hanya akan memperoleh suara kecil dengan persentase di bawah 5%. Hebatnya, berdasarkan hasil Pileg 2014, partai-partai Islam justru mampu menepis keraguan dengan meraup suara yang cukup signifikan, misalnya saja PKB yang mencatatkan peningkatan suara  signifikan, lalu ada juga PKS yang juga meraih suara cukup banyak.

Hasil pemilu 2014 membuat poros koalisi pun terbentuk dengan tiga partai besar menjadi tumpuan. Partai-partai itu adalah PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu, lalu Golkar dan Gerindra. Masing-masing partai itu juga mengajukan nama calon presiden sendiri, misalnya PDIP yang mengusung Joko Widodo, Golkar dengan Aburizal Bakrie, dan Gerindra mengusung Prabowo Subianto.

Munculnya ketiga nama itu pun berimbas pada pergerakan partai-partai lainnya di mana PKB akhirnya pelan-pelan mulai menjalin komunikasi dengan PDIP. Sementara PPP dan PAN mendekati Gerindra, sedangkan PKS memilih untuk menjalin komunikasi dengan Golkar. Namun, saat opsi capres-cawapres mengerucut jadi dua pasangan saja, perubahan bentuk koalisi pun kian jelas. Pasangan Jokowi-JK didukung PDIP, PKB, NasDem, Hanura, dan PKPI, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa didukung Gerindra, PKS, PAN, Golkar, PPP, PBB, dan Demokrat.

“Namun di Pilpres 2014 lalu, ada beberapa parpol yang awalnya mendukung Prabowo, tapi setelah Jokowi menang, justru tiba-tiba bergabung dengan Jokowi misalnya seperti Golkar, PPP, dan PAN. Hal tersebut merupakan persoalan biasa dalam demokrasi Indonesia. Ini juga bagian dari efek presidensialisme multi partai ekstrem,” kata Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Jika Gerindra Ikut Jokowi, Tak Ada Oposisi Kuat Lagi

Meski dianggap biasa, Adi menyayangkan jika akhirnya Gerindra dan Prabowo merapat ke pemerintahan. Pasalnya, potensi kehilangan kubu oposisi kritis pun semakin besar, apalagi Gerindra selama ini dikenal sebagai oposisi yang konsisten menjadi penyeimbang pemerintah.

“Ya memang kalau begini kondisinya adalah ya jadinya semacam dagelan politik. Tampak di permukaan sebagai oposisi, tapi kalau akhirnya jadi bagian dari pemerintah, ya seperti yang saya bilang bahwa politik ini semacam main-main saja. Padahal selama ini masyarakat memaknai persaingan Jokowi dan Prabowo itu seperti mau perang saja di tataran bawah itu,” kata Adi.

Adi pun menyebut jika Gerindra merapat ke kubu pemerintah, maka mereka tak ubahnya seperti mempertontonkan drama politik. “Kalau saya sih ya melihatnya komposisi konstelasi politik itu harusnya ya dijaga seperti saat ini, di mana kubu oposisi nggak perlu bergabung dengan pemerintah. Artinya pemerintah tetap diimbangi oposisi dengan daya kritis kuat.”

Share: Faldo Maldini: Gerindra Berpotensi Ikut Jokowi