Isu Terkini

Kalau Coronavirus Merupakan Ujian Demokrasi, Adakah Negara yang Lulus?

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sesungguhnya, petaka tidak kenal batas negara. Sampai hari ini (4/3), lebih dari 93 ribu orang dari 80 negara di seluruh dunia telah terserang virus COVID-19, bagian dari famili Coronavirus. Setidaknya tiga ribu orang telah meninggal dunia. Wabah tersebut menyerang dengan trengginas tanpa peduli suku, agama, ras, dan ideologi.

Setiap negara tentu punya resep jitu untuk menangani epidemi tersebut. Geger akibat pandemi Coronavirus sekaligus jadi ajang untuk melihat negara macam apa yang ternyata paling cekatan menanggapi situasi krisis semacam ini. Lebih penting lagi, peristiwa ini jadi kesempatan untuk mencari tahu sejauh manakah suatu negara rela mengorbankan martabat masyarakatnya sendiri demi “kebaikan yang lebih besar.”

Masalahnya begini. World Health Organization (WHO) sudah susah payah bikin panduan teknis bejibun yang menjabarkan tata kelola karantina yang baik, protokol untuk pekerja medis, dan banyak tetek bengek lainnya. Namun, menurut Health and Human Rights Journal (2020), hingga kini WHO belum melepas panduan teknis yang secara khusus menerangkan bagaimana pemerintah dapat menangani krisis kesehatan masyarakat sembari tetap menghormati hak asasi manusia.

Imbasnya, baik negara otoriter maupun yang katanya demokratis sama-sama mengambil langkah yang mengkompromikan hak masyarakat demi menjegal penyebaran COVID-19.

Ujian pertama memang dilempar ke sebuah negara otoriter, Cina. Kita harus mengakui bahwa tanggapan pemerintah Cina setelah wabah COVID-19 merebak di Wuhan tidak main-main. Pemerintah Cina membatasi perjalanan di kota-kota yang terdampak, menutup sekolah dan bisnis, meneliti mutasi virus tersebut dan membagikannya ke publik, bahkan membangun dua unit rumah sakit khusus hanya dalam waktu sepuluh hari. Upaya cekatan Beijing menuai pujian dari Dirjen WHO, yang menyatakan bahwa Cina “menetapkan standar baru untuk merespon pandemi.”

Namun, setelah dikulik lebih jauh, penanganan COVID-19 di Cina ternyata bermasalah. Oleh laporan Human Rights Watch, Beijing dituding telah membatasi arus informasi ke publik, mengurangi laporan infeksi dari yang sesungguhnya, serta mendistribusikan informasi yang tidak tepat kepada publik.

Pemerintah juga menyensor diskusi daring soal epidemi tersebut, membatasi pemberitaan media (termasuk mengusir wartawan asing), dan mencekal pekerja-pekerja medis serta jurnalis yang bersikeras membocorkan informasi ke publik. Paling sensasional, sejak Januari 2020 mereka mengkarantina sepenuhnya kota Wuhan dan kota-kota terdampak lainnya, menjebak puluhan juta orang dalam kota mati macam di film-film zombie.

Semakin parah lagi, Cina baru-baru ini memperkenalkan langkah yang niscaya bikin Orwell jumpalitan di liang kubur. Mereka mewajibkan warga menggunakan software bernama Alipay Health Code yang menentukan apakah warga tersebut boleh masuk transportasi umum, ruang publik seperti pusat perbelanjaan, atau malah harus dikarantina.

Ada dua kabar gembira di sana: pertama, aplikasi tersebut dikembangkan bareng Ant Financial, perusahaan yang dinaungi oleh raksasa e-commerce Alibaba, langkah yang menunjukkan betapa pemerintah Cina makin mesra dengan petinggi-petinggi bisnis. Kedua, analisis The New York Times mendapati bahwa software tersebut juga mengandung kode terselubung yang membagikan data pengguna kepada polisi. Seram dan suram.

Saya tahu pernyataan berikut ini bisa bikin marah sobat tankies, tetapi pencekalan informasi bukan resep sukses menangani epidemi. Alangkah teledornya bila kami bilang kehumasan adalah faktor terpenting dalam menyudahi persebaran penyakit, namun peranannya tak dapat dinafikan. Seperti dilaporkan Ariana A. Berengeut di The Atlantic, praktik kesehatan masyarakat yang baik juga mensyaratkan “transparansi, kepercayaan publik, dan kebiasaan berkolaborasi” yang membuat suatu masyarakat lebih tangguh menghadapi krisis.

Dalam kasus epidemi Ebola 2014 di Republik Demokratik Kongo, misalnya, kepercayaan publik yang terdampak terhadap pekerja medis dan otoritas terbukti ampuh dalam mengurangi efek samping wabah tersebut. Menyerahkan mayat korban Ebola untuk dikubur terpisah adalah salah satu solusi tokcer mencegah wabah tersebut semakin menyebar di suatu komunitas. Cara tersebut tak mungkin terwujud apabila masyarakat yang ada di sana tidak sungguh-sungguh percaya pada para pekerja medis dan dengan sukarela berkenan menyerahkan jasad orang-orang yang mereka sayangi.

Contoh penanganan COVID-19 yang agak rapi juga terjadi di Taiwan. Negara tersebut tidak masuk WHO sebab relasi diplomatiknya yang rumit dengan Cina, tetapi mereka mengambil langkah mandiri dan memprakarsai Central Epidemic Command Center (CECC) pada Januari 2020.

Sejak didirikan, CECC mengadakan konferensi pers hampir setiap hari untuk mengumumkan kebijakan dan informasi terkait epidemi tersebut. Kementerian Kesehatan Taiwan juga mengadakan kampanye media sosial besar-besaran untuk mendistribusikan informasi terverifikasi secara masif.

Menteri Digital (iya, mereka punya Menteri Digital) Audrey Tang juga bekerjasama dengan masyarakat sipil untuk membuat peta daring yang menunjukkan toko-toko mana saja yang masih menjual masker. Informasi tersebut diterima dari publik, catatan stok dari toko, serta data-data pemerintah. Walhasil, hingga kini jumlah infeksi di Taiwan (42 kasus pada 3 Maret) jauh lebih rendah ketimbang negara tetangga Cina lainnya seperti Korea Selatan (5,261 kasus) dan Jepang (299 kasus).

Tapi, jangan keburu menulis surat cinta untuk demokrasi. Faktanya, tak ada demokrasi yang sempurna. Taiwan boleh jadi sukses memadukan respon cepat pemerintah dengan geliat inisiatif warga. Tetapi negara-negara lain yang katanya demokratis justru menanggapi krisis COVID-19 dengan mengekang kebebasan publik, menegaskan retorika yang bermasalah, dan bahkan–bisik-bisik saja supaya Sentris tidak dengar–nyaris melanggar HAM pula.

Ambil contoh Italia. Kampung halaman Dominic Decoco dan Antonio Margheriti ini belakangan disorot sebab jumlah infeksi COVID-19 melonjak dari belasan jadi ribuan hanya dalam kurun waktu beberapa pekan. Pemerintah Italia kontan membatasi pergerakan warganya, terutama di wilayah Utara Italia yang amat terdampak Coronavirus. Terdapat checkpoint dan pos-pos khusus di perbatasan kota-kota tertentu yang menentukan siapa dapat masuk dan keluar kota. Kepala Ketahanan Sipil Italia, Angelo Borrelli, menyebut bahwa pembatasan tersebut adalah “pengorbanan jangka pendek” yang diperlukan.

Jepang juga tengah menuai tekanan publik karena penanganannya yang buruk terhadap krisis di kapal pesiar Diamond Princess. Selama dua pekan, 3,700 orang di kapal pesiar itu mangkir di lepas pantai selagi Jepang berdebat soal apakah kapal bervirus tersebut boleh merapat ke perairannya.

Hingga hari ini (4/3), setidaknya 899 orang di kapal pesiar tersebut positif kena COVID-19. Keputusan Jepang dikritik sebab mereka “mengorbankan” ribuan penumpang dan kelasi kapal yang sebetulnya sehat walafiat. Bahkan, salah seorang petinggi Kemenkes Jepang, Norio Ohmagari, terang-terangan menyatakan bahwa karantina mensyaratkan penundaan hak asasi untuk sementara waktu.

Pada 20 Februari, Inggris juga menetapkan Undang-Undang Darurat yang mengizinkan aparat menangkap siapapun yang diduga berisiko menulari orang lain dengan virus COVID-19. Seseorang dapat ditahan untuk keperluan penyaringan virus, pengumpulan informasi kesehatan pribadi dan sampel biologis, atau sekadar untuk mengisolirnya dari orang lain. Apabila seseorang menolak penahanan, mereka dapat dikenai kurungan pidana. Tentu saja, UU Darurat ini langsung diprotes sebab dianggap melanggar hak untuk kemerdekaan dan hak untuk informasi pribadi.

Meski kontroversial, tindakan ketiga negara tersebut barangkali masih dapat dicarikan dalihnya. Inggris, Italia, maupun Jepang sekadar berkompromi. Mereka agak mengendurkan komitmen kepada demokrasi dan HAM demi menangani krisis COVID-19. Namun, kepentingan politik serta ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi dalam negara demokratis juga berdampak pada carut marutnya penanganan Coronavirus di sana.

Amerika Serikat masih jadi garda depan untuk urusan semacam ini. Saat ini juga, AS lagi di tengah masa kampanye menuju Pilpres 2020. Dalam sebuah acara kampanye di negara bagian South Carolina, Trump menuding bahwa pemberitaan terkait Coronavirus dilebih-lebihkan. Semakin ajaib lagi, ia menuding bahwa rivalnya dari Partai Demokrat “tengah mempolitisir” wabah COVID-19 dan menyatakan bahwa wabah ini adalah “hoaks teranyar mereka.”

Sudah tentu, pernyataan ini bikin Trump dihajar habis-habisan oleh publik maupun jajaran musuhnya di Partai Demokrat. Tak gentar dengan blunder tersebut, dalam acara kampanye lain ia menyatakan bahwa negaranya akan aman dari COVID-19 sebab “perbatasan kita sangat ketat.” Ia mengacu pada janji kampanyenya untuk menjegal imigrasi ilegal dan menutup rapat-rapat perbatasan negaranya terhadap pengungsi.

Persoalannya: Trump ngawur. Hingga hari ini, AS telah melaporkan 128 kasus COVID-19 dan sembilan orang telah meninggal dunia. Mayoritas yang meninggal berdomisili di Washington, DC, Ibukota AS.

Kalau ditelisik lebih jauh, kamu bakal paham kenapa Trump emoh bicara blak-blakan dengan wabah COVID-19. Selama empat tahun terakhir kepemimpinannya, ia berperilaku layaknya seekor kuda yang nyasar masuk rumah sakit. Maka, krisis besar-besaran macam COVID-19 datang pada saat yang tak tepat. Di mata Trump dan kawan-kawannya, krisis ini dapat menggoyahkan peluangnya untuk terpilih lagi sebagai Presiden.

Trump tidak mau publik tahu bahwa AS sebenarnya tidak siap-siap amat untuk menghadapi wabah selevel COVID-19. Menteri Kesehatan mereka, Alex Azar, sedang dihujat sebab dituduh gagal mengkoordinasi upaya penanggulangan wabah. Instruksi datang terlambat, pakar dan pengambil keputusan dari Departemen lain sering tidak diundang ke rapat koordinasi, dan metode pengujian Coronavirus dianggap tidak memadai sebab laboratorium Center for Disease Control (CDC) terkontaminasi.

Tingkah polah yang paling bikin tepok jidat adalah cara Trump menepikan peranan Anthony Fauci, direktur dari National Institute of Allergy and Infectious Diseases. Pemerintah melarang Fauci berbicara tentang Coronavirus tanpa persetujuan langsung dari Trump. Bahkan, pernyataan Fauci tentang virus tersebut bertentangan dengan pernyataan Trump. Sebagai contoh, Trump sempat berkelakar bahwa AS bakal segera bikin vaksin yang serupa vaksin flu “dalam waktu dekat”. Sementara Fauci menyatakan bahwa vaksin Coronavirus baru mungkin diramu dalam waktu satu sampai satu setengah tahun ke depan.

Kami harus menegaskan bahwa mengurusi COVID-19 tanpa Fauci sama saja seperti berangkat ke Isla Nublar tanpa mengajak Dr. Ian Malcolm. Fauci adalah salah satu ahli penyakit menular yang paling dihormati di dunia. Ia telah memimpin lembaga negara yang paling berwenang untuk mengurusi penyakit menular sejak 1984. Fauci juga dipandang sebagai salah satu dokter yang paling berjasa menangani epidemi AIDS, Ebola, dan Zika di berbagai belahan dunia.

Singkat kata, ini peneliti jagoan. Omongannya nggak mungkin ngawur. Tetapi Fauci dibungkam oleh pemerintah AS karena jika ia berbicara apa adanya, Trump dan pemerintahannya bakal kelihatan bego.

Masalah lainnya adalah epidemi manapun pasti menghajar orang-orang yang paling rentan terlebih dahulu. Hal ini sudah dijabarkan oleh jurnal Health and Human Rights (2020). Anak dari keluarga miskin di berbagai negara menerima makanan dari sekolahnya saat ia belajar. Bagaimana nasib mereka saat sekolah-sekolah ditutup? Protokol WHO memang mensyaratkan orang sakit dikarantina dan diisolir dari orang lain. Tetapi, bagaimana caranya menerapkan protokol ini di perkampungan-perkampungan yang kumuh dan sempit, apalagi di tempat seperti penjara?

Kamu enggak perlu pergi terlalu jauh untuk melihat bagaimana kerentanan menggembosi upaya penanganan COVID-19. Kemarin (3/3), dua orang di Batam, Kepulauan Riau, kabur dari karantina karena alasan yang menyedihkan: mereka tidak mau kehilangan mata pencaharian. Keduanya bekerja sebagai supir ojek online, dan tidak bisa nonaktif selama dua pekan untuk masuk karantina COVID-19.

Padahal, mereka bertemu dan bersinggungan dekat dengan tiga orang warga negara Singapura yang positif COVID-19 pasca melawat ke Batam. Kini, Dinas Kesehatan Kepulauan Riau berharap keduanya dapat dibujuk untuk kembali ke karantina bila pemerintah menjamin pemasukan mereka akan diganti.

Data dan pemaparan sejauh ini menunjukkan bahwa penanganan COVID-19 di negara-negara “demokratis” lebih tokcer ketimbang negara otoriter. Namun, negara yang katanya demokratis sekalipun juga merawat kerentanan dengan cara-cara lain. Kepentingan politik menjegal penanggulangan epidemi di AS, sementara ketimpangan sosial-ekonomi mulai nampak sebagai faktor yang menyulitkan penanganan di Indonesia.

Bahkan ada juga negara yang posisinya runyam. Iran, contohnya. Tak ada yang menyangkal bahwa pemerintah mereka represif, pelanggar HAM, dan arus informasi di sana lebih macet dari Kuningan tiap jam 7 malam. Tetapi seperti dipaparkan The Guardian, krisis COVID-19 bereskalasi dengan cepat di Iran karena dampak embargo berkepanjangan dari AS dan negara-negara sekutunya berujung pada kondisi infrastruktur dan layanan kesehatan yang amat buruk dan tidak siap menghadapi krisis semacam ini. Hingga kini, presentase kematian akibat COVID-19 paling tinggi di Iran ketimbang negara manapun di dunia.

Maka, meledek negara-negara otoriter selagi mengelu-elukan demokrasi saja tidak cukup. Krisis COVID-19 membuktikan bahwa demokrasi pun ditantang oleh kepentingan politik, ketimpangan, kecenderungan berkompromi, dan konsekuensi dari kebijakan luar negerinya yang mematikan. Virus Corona membawa petaka tanpa peduli warna kesukaanmu merah atau hijau.

Atau, ya, sudah, kita dapat memandang skenario kelam ini dengan mata berbinar. Boleh jadi, ini adalah kesempatan gemilang untuk menyongsong kemerdekaan sesungguhnya: dunia hancur lebur bersama segala isinya.

Share: Kalau Coronavirus Merupakan Ujian Demokrasi, Adakah Negara yang Lulus?