Isu Terkini

Andi Arief dan Aturan Rehabilitasi Narkoba

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief positif mengonsumsi narkoba jenis sabu. Andi lebih dulu menjalani serangkaian asesmen secara medis oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), Selasa, 5 Maret 2019. Setidaknya ada dua asesmen yakni secara medis dan pidana, termasuk untuk memastikan ada-tidaknya keterlibatan dalam jaringan. Mekanisme asesmen ini berlaku untuk seluruh pengguna narkoba.

Proses asesmen ini berlangsung 6×24 jam. Asesmen ini akan menjadi pertimbangan untuk tahap lanjutan rehabilitasi. Terkait hal ini, keluarga Andi Arief sendiri akan mengajukan permohonan rehabilitasi. Namun, rehabilitasi dilakukan setelah asesmen tim dokter BNN rampung.

“Pak Hinca Panjaitan berjanji pagi ini akan menghadirkan keluarga AA bertemu penyidik untuk mengajukan permohonan rehabilitasi,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa 5 Maret 2019.

Dedi menyebut ada kemungkinan Andi Arief bakal menjalani rehabilitasi di pusat rehabilitasi ketergantungan narkoba di Lido Bogor. Tapi penempatan rehabilitasi bisa juga mempertimbangkan pengajuan permohonan dari pihak keluarga atau penasihat hukum supaya dekat dengan tempat tinggalnya.

Sementara itu, Kadiv Humas Polri Irjen M Iqbal sebelumnya menjelaskan secara rinci bagaimana penanganan penyalahguna narkotika yang ditangkap tanpa ditemukan barang bukti. Menurut Iqbal, penanganan kasus narkotika ini, berdasarkan Surat Edaran Kabareskrim SE 01/II/Bareskrim tanggal 15 Februari 2018 tentang Pelayanan Rehabilitasi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Panti Rehabilitasi Sosial dan Medis.

“Bahwa terhadap pecandu/penyalah guna yang tidak ditemukan barang bukti narkotika dan hanya hasil tes urine positif, maka kepadanya tidak dilakukan penyidikan. Penyidik hanya melakukan interogasi untuk mengetahui sumber narkotika,” kata Iqbal, Senin, 4 Maret 2019.

Saat ini Andi Arief sendiri masih berstatus terperiksa. Polisi punya waktu 3 x 24 jam untuk menentukan status lanjutan terhadap Andi Arief. Memang dari kasus Andi Arief ini, banyak pihak yang bertanya-tanya perihal peluang sosok yang dikenal lewat cuitan pedasnya itu untuk direhabilitasi. Apalagi selama ini hukuman yang kerap dijatuhkan terkait kasus narkoba setidaknya ada dua macam yakni vonis penjara dan rehabilitasi. Sebenarnya seperti apa aturan rehabilitasi narkoba?

Kualifikasi Pelaku Narkoba yang Bisa Direhabilitasi

Seperti pada kasus narkoba pada umumnya, biasanya para pengguna ada yang langsung direkomendasikan untuk direhabilitasi dan ada juga yang langsung dilanjutkan dalam proses hukum. Tapi sebenarnya, dalam kasus narkoba, semangat untuk tidak memenjarakan para pelaku penyalahgunaan narkoba, tetapi lebih kepada rehabilitasi, sudah muncul dalam sistem hukum Indonesia.

Bahkan, hal itu tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010. Dalam surat edaran itu, Mahkamah Agung menetapkan lima kualifikasi pelaku penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika yang dapat ditempatkan di rehabilitasi. Pertama, penangkapan terhadap terdakwa dilakukan secara tertangkap tangan.

Lalu yang kedua, pada saat tertangkap tangan tersebut ditemukan barang bukti pemakaian 1 hari narkotika dengan jenis dan bobot tertentu. Ketiga, terbitnya surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik. Keempat, diperlukan surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim. Sementara kelima, tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

Lalu, indikator utama para pengguna dapat direhabilitasi di rumah sakit adalah jumlah barang bukti yang ditemukan tidak melebihi jumlah tertentu. Indikator ini harus menjadi catatan bagi tersangka/terpidana/keluarga yang terlibat tindak pidana narkotika.

Adapun standar jumlah tertentu diatur pada angka 2 huruf b SEMA No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial sebagai berikut:

Kelompok metamphetamine (shabu): 1 gram
Kelompok MDMA (ekstasi): 2,4 gram atau sama dengan 8 butir
Kelompok Heroin: 1,8 gram
Kelompok Kokain: 1,8 gram
Kelompok Ganja: 5 gram
Daun Koka: 5 gram
Meskalin: 5 gram
Kelompok Psilosybin: 3 gram
Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide): 2 gram
Kelompok PCP (phencylidine): 3 gram
Kelompok Fentanil: 1 gram
Kelompok Metadon: 0,5 gram
Kelompok Morfin: 1,8 gram
Kelompok Petidin: 0,96 gram
Kelompok Kodein: 72 gram
Kelompok Bufrenorfin: 32 mg

Tak hanya itu saja, Kejaksaan Agung juga menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Surat edaran itu diterbitkan dalam rangka menyamakan persepsi dalam penerapan SEJA RI No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Dalam SEJA itu disebutkan pasal-pasal dalam Bab IX UU Narkotika menegaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan tersebut telah dijabarkan di dalam PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Rehabilitasi adalah Hak Korban

Dalam hal rehabilitasi, pengguna narkotika itu harus diposisikan sebagai korban peredaran narkotika. Sehingga dalam kondisi seperti itu, memang sudah seharusnya mereka wajib direhabilitasi. Hal itu bertujuan agar korban bisa pulih kembali baik secara medis maupun sosial.

Namun sebaliknya, jika seorang pengguna narkotika ditangkap dan menjalani proses hukum, maka proses peradilan merupakan kesempatan untuk dilakukannya rehabilitasi terhadap tersangka/terdakwa pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Proses terlaksananya rehabilitasi telah dijamin dalam Pasal 4 huruf d UU Narkotika.

Rehabilitasi sendiri merupakan hak korban. Sebaliknya, yang seharusnya mendapatkan hukuman maksimal adalah pengedar. Hal ini sejalan dengan Pasal 54 UU Narkotika yang berbunyi “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.

UU Narkotika membagi rehabilitasi kedalam 2 (dua) jenis yakni rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, di mana perbedaannya sebagai berikut:

Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika (Pasal 1 angka 16 UU Narkotika).

Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. (Pasal 1 angka 17 UU Narkotika).

Adapun rehabilitasi dilaksanakan dan berlaku pada semua tingkatan peradilan. Mulai tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan hingga pemidanaan secara sinergis dan terpadu. Hakim dalam putusannya juga wajib memasukkan kewajiban Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi sebagaimana diatur pada Pasal 103 UU Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika.

Lalu, proses penyembuhan/perawatan dapat diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Adapun tempat pelaksanaan rehabilitasi dibagi kedalam 2 (dua) golongan yakni sebagai berikut:

Rehabilitasi di Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta yang ditunjuk oleh Pemerintah. Rehabilitasi ini hanya berlaku pada pengguna (Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa Penyalahgunaan Narkotika) yang ditangkap tetapi tanpa barang bukti narkotika dan positif narkotika, atau dengan barang bukti dengan jumlah tertentu sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 ayat (1) (2) dan (3) Peraturan Bersama Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (Perber). Bagi yang tidak mampu, maka biaya pelaksanaan rehabilitasi ditanggung oleh Pemerintah.

Rehabilitasi di Rumah Tahanan Negara cabang rumah tahanan negara di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bagi pengguna yang ditangkap dengan barang bukti melebihi jumlah tertentu sebagaimana disebutkan pada pasal 4 ayat (4) Perber, dan pengguna yang merangkap sebagai pengedar sebagaimana disebutkan pada Pasal 5 ayat (1) Perber.

Share: Andi Arief dan Aturan Rehabilitasi Narkoba