Isu Terkini

YLBHI: Perampasan Lahan Terus Terjadi walau Sedang Ada Pandemi

MM Ridho — Asumsi.co

featured image

Sehebat-hebatnya dampak pandemi COVID-19 terhadap dunia, ia tak menghentikan perampasan lahan di Indonesia. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 16 kasus konflik lahan yang terjadi sejak pandemi dimulai hingga 2 Mei 2020.

Kasus-kasus tersebut terjadi dalam sektor perkebunan (56%), kehutanan (19%), infrastruktur (13%), pertambangan (6%), serta pariwisata (6%) yang tersebar di Sumatra Utara, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, hingga Papua.

Akibatnya, paling sedikit 70 keluarga telah kehilangan lahan dan 900 KK terancam mengalami nasib serupa. Diperkirakan lebih dari 40 keluarga merupakan bagian dari masyarakat adat yang terdiri dari 30 keluarga Suku Anak Dalam kelompok Mat Nuri di Batanghari, Jambi, dan 9 keluarga Minahasa di Kelelendoy, Sulawesi Utara.

Adapun perusahaan-perusahaan yang berhadapan dengan mereka di antaranya PT Asiatic Persada di Jambi, PT Laju Perdana Indah di Jawa Tengah, PT Cakra Guna Dharma Eka di Sulawesi Utara.

Wakil Ketua Advokasi YLBHI Era Purnamasari mengungkapkan pandemi COVID-19 seolah menjadi peluang bagi perusahaan untuk mempercepat proses-proses perampasan lahan. Keterbatasan pergerakan masyarakat, lembaga advokasi, dan NGO dimanfaatkan sebagai momentum bagi perusahaan dan aparat untuk menyelesaikan urusan pengosongan lahan. Dari 16 kasus konflik lahan, 14 kasus di antaranya (87,5%) mendapat beking dari aparat kepolisian.

“Kalau kita lihat, nggak ada kasus baru. Jadi, ini konflik-konflik lama yang menguat lagi dan jadi peluang [perusahaan dan aparat],” ungkapnya dalam webinar “Badai Pandemi dan Perampasan Lahan”, Rabu (20/5).

Perusahaan-perusahaan yang berkonflik dengan masyarakat, kata Era, memanfaatkan peraturan pemerintah tentang physical distancing secara sewenang-wenang. Masyarakat diancam pidana pelanggaran PSBB jika berkumpul menolak penggusuran lahan, tetapi aturan tersebut tidak berlaku bagi pihak perusahaan yang tetap beroperasi.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Choirul Anam mencontohkan kejadian demikian di Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Polisi membubarkan kemah warga yang menolak aktivitas penambangan di Gunung Pitu dan Salakan pada 27 Maret 2020 dengan alasan PSBB. Padahal, kata Choirul, warga sudah mendirikan kemah tersebut jauh sebelum pandemi COVID-19.

Menurutnya konflik lahan juga terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Namun, karena lebih mudah dijangkau oleh Komnas HAM, kasus-kasusnya dapat segera ditangani.

Dalam sengketa lahan, kekuatan jelas tidak berimbang. Masyarakat umumnya lemah karena terbentur berbagai masalah seperti birokrasi. Dalam kondisi tersebut, mereka hanya bisa mengandalkan kegiatan berkumpul dan menyuarakan pendapat. Namun, di tengah pandemi COVID-19, hal tersebut tidak mungkin dilakukan.

“Oleh karenanya, ketika mereka mempertahankan dan lain sebagainya, berbagai pihak yang kepingin menggusur mereka harus berhenti. Karena itu nggak fair bagi masyarakat yang tidak bisa mempertahankan haknya dalam situasi [pandemi COVID-19] kayak begini,” kata Choirul Anam.

Atas kejadian itu dan beberapa penyalahgunaan peraturan PSBB untuk merebut lahan, Komnas HAM RI menerbitkan surat imbauan terbuka kepada pihak perusahaan dan penegak hukum supaya tidak memanfaatkan situasi pandemi COVID-19 untuk mempercepat proses sengketa, tindak kekerasan, penggusuran, pelanggaran hukum, serta pelanggaran hak asasi manusia.

Share: YLBHI: Perampasan Lahan Terus Terjadi walau Sedang Ada Pandemi