Isu Terkini

Waspadai Kekerasan Berbasis Gender Online

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Media sosial hari-hari ini kerap dijadikan tempat untuk mempermalukan, mencemarkan nama baik seseorang, sampai melakukan pelecehan seksual. Instagram, Facebook, dan Twitter merupakan platform yang paling banyak dipakai untuk melancarkan aksi-aksi kotor tersebut.

Saat ini dikenal istilah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), bentuk kekerasan yang dilancarkan atas dasar identitas gender korban. Maka dalam hal ini, perempuan dan gender minoritas menjadi pihak yang rentan mengalami kekerasan.

KBGO terdiri dari berbagai kategori. Sepanjang 2017, setidaknya ada delapan bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yakni pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).

Bahayanya Pelanggaran Privasi dan Hate Speech

Dari berbagai jenis KBGO itu, seorang korban sudah pasti tak hanya berpotensi mendapatkan satu jenis kekerasan, tapi bisa bermacam-macam. Menurut Ellen Kusuma, Head of Digital At-Risk SAFEnet, pelanggaran privasi jadi salah satu bentuk KBGO yang paling sering terjadi.

Baca Juga: Derita Korban Revenge Porn: Trauma hingga Tak Mendapat Perlindungan Hukum

“Itu bakal jadi kekerasan bila tidak adanya persetujuan mengenai distribusinya di antara pihak-pihak yang terkait dalam produksi foto/video tersebut (consent), atau ketika dilakukan salah satu pihak sudah tanpa izin dan juga bertujuan untuk menjatuhkan martabat korban (dengan sadar bertujuan jahat),” kata Ellen saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (21/11/19).

Selain itu, aktivitas yang bisa dianggap melanggar privasi ini misalnya seperti doxing atau menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang, kadang-kadang dengan maksud untuk memberikan akses untuk tujuan jahat lainnya, misal pelecehan atau intimidasi di dunia nyata.

Lalu, ada pula kasus revenge porn yang belakangan marak. Kasus itu biasanya terjadi dalam hubungan antar lawan jenis, di mana seseorang sengaja mengirimkan foto atau video intim orang lain ke media sosial untuk menyakiti/mengintimidasi/melecehkan korban, hanya karena sang korban tidak mau menuruti permintaan pelaku.

Sementara untuk kategori hate speech, hal ini harus dipahami bahwa ujaran kebencian itu pada intinya selalu menarget salah satu atau lebih dari identitas seseorang (mis: gender). Sehingga terjadi diskriminasi bahkan sampai pada persekusi yang menyebabkan hidup seseorang bisa sampai tidak tertahankan (mis: tidak bisa bekerja, harus pindah rumah, bahkan hingga mendapatkan kekerasan fisik).

Untuk kasus-kasus hate speech yang terkait KBGO bisa dipastikan minoritas gender seperti LGBT ialah pihak yang paling rentan menjadi korban. Contoh kekerasan yang terjadi pada warga LGBT bisa berupa deadnaming (menyebutkan nama asli teman-teman LGBT tanpa izin mereka dengan maksud jahat dan berpotensi menghasut publik untuk dapat mengetahui data-data pribadi lainnya sebagai bahan untuk menyerang/melakukan persekusi pada mereka.

“Dari contoh-contoh di atas, dapat dipahami juga bahwa biasanya KBGO tidak berhenti hanya di ranah online/atau supported by digital technology saja, juga bisa extended ke kehidupan offline,” ucap Ellen.

Langkah Tercepat Menangkal Serangan KBGO

Berbagai kasus KBGO kerapkali membuat korban merasa tertekan, ketakutan, bahkan stres, lantaran tindakan sebagian warganet yang melecehkan tersebut. Untuk itu, Ellen menyarankan untuk melakukan tindakan-tindakan kecil dalam bermedsos untuk menghindari serangan langsung dari para pelaku KBGO.

“Cara mencegah komentar-komentar negatif warganet adalah memanfaatkan fitur-fitur yang sudah disediakan masing-masing platform media sosial, misalnya di Twitter ada BRIM (block, report, ignore, mute), atau di Instagram ada fitur matikan komentar ataupun saring/filter kata-kata yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Selain itu, jangan sungkan untuk melakukan fitur report/lapor di masing-masing media sosial. Begitu pula jangan “feed into the negativity” dengan membalas komentar-komentar pelecehan tersebut satu per satu. Mestinya langsung address the violence publicly untuk mengedukasi followers, juga bisa jadi salah satu cara yang digunakan.

Pentingnya melakukan langkah-langkah kecil dalam bermedsos tersebut, lantaran jerat hukum bagi para pelaku KBGO ini belum terlalu kuat. Apalagi untuk meringkus pelaku KBGO ini adalah hal yang cukup rumit.

“Dari beberapa kasus yang saya tangani dan dilaporkan ke pihak berwenang (polisi) seringkali tanggapannya masih tidak sensitif gender. Bahkan bila terkait kekerasan seksual dengan korban perempuan masih ada kecenderungan terjadi victim blaming saat penanganan kasus,” kata Ellen.

Belum lagi penanganan kasus yang cenderung menggunakan prosedur panjang, sedangkan kekerasan atau kejahatan yang terjadi secara online punya karakteristik “cepat menyebar” dan susah untuk dicek jejaknya dan dihapus bila sudah menyebar. Poin ini juga jadi kritik Ellen dan kawan-kawan pegiat ranah digital agar pihak berwajib bisa cekatan dalam menangani kasus KBGO.

“Yang mesti diingat, salah satu karakteristik dunia maya adalah jejak digital itu abadi. Dalam kasus NCII (non consensual intimate images) violence, atau kadang disamakan dengan revenge porn, atau disebut juga malicious and non-consensual distribution of intimate images/video. Sering kali korban harus menghadapi situasi bahwa ‘tubuhnya’ diperkosa beramai-ramai di ranah online, sebelum bisa mencari keadilan atas kekerasan yang ia alami.

“Payung hukum pun belum berpihak pada korban. Misalnya saja kasus Baiq Nuril, seorang korban KBGO yang justru berhasil dikriminalisasi oleh pelaku yang memanfaatkan salah satu pasal karet UU ITE (pasal 27 ayat 1 terkait informasi elektroni bermuatan melanggar kesusilaan).”

Makanya, lanjut Ellen, pihak SAFEnet terutama Divisi Digital At-Risk yang berfokus di isu KBGO ini sangat menyayangkan lambannya pemerintah mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Setidaknya, menurut Ellen, ada beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan semua pihak untuk mencegah dan mengatasi permasalahan KGBO ini. Pertama, edukasi publik tentang KBGO dan bagaimana cara-cara mencegah dan menghadapinya.

Kedua, bergandeng tangan antar para pemangku kepentingan di isu KBGO ini seperti Komnas Perempuan, Kemenkominfo, platform media sosial, platform transportasi online, organisasi dan komunitas yang berkecimpung dalam isu kekerasan online, kepolisian, bahkan sampai pada pengadilan. Ketiga, mengadvokasi kebijakan terkait KBGO yang berperspektif korban dan sensitif terhadap isu gender, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Sementara itu, pengurus SAFENet lainnya, Bimo Fundrika, menyebut bahwa pola-pola seperti kasus Baiq Nuril kemarinlah yang membuat banyak korban lain enggan untuk melapor lantaran jerat hukum justru berbalik membidik si korban. “Makanya menurut saya perlu produk hukum dan juga penegakan hukum yang lebih sensitif terhadap korban dan berperspektif korban. Oleh karena itu menurut saya inisiatif untuk terus mendorong produk hukum yang bisa melindungi korban KBGO ini perlu didukung,” kata Bimo kepada Asumsi.co, Kamis (21/11/19).

Untuk panduan lengkap mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO), bisa diakses di link ini.

Share: Waspadai Kekerasan Berbasis Gender Online