Isu Terkini

Vonis Penjara Jurnalis Diananta Mengancam Fungsi Kontrol Sosial Pers

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Seorang jurnalis sekaligus mantan Pimpinan Redaksi Banjarhits, Diananta Putera Sumedi, divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kotabaru, Kalimantan Selatan, yang dipimpin oleh Meir Elisabeth. Diananta divonis hukuman penjara tiga bulan 15 hari, Senin (10/8/20).

Majelis hakim menilai Diananta terbukti bersalah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan sesuai pasal 28 Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kasus Diananta bermula dari berita yang ditayangkan Banjarhits dengan judul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” pada 8 November 2019 lalu pukul 19.00 WITA. Berita ini ditulis oleh Diananta dan merupakan hasil wawancara dengan narasumber dari masyarakat adat suku dayak yaitu Bujino, Riwinto, dan Sukirman.

Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia dan PT Jhonlin Agro Raya mengadukan Diananta ke Dewan Pers di Jakarta. Sukirman menilai berita itu menimbulkan kebencian karena dianggapnya bermuatan sentimen kesukuan. Pada saat yang sama masalah ini juga telah dibawa ke Dewan Pers.

Kemudian, Diananta dan Sukirman datang ke Sekretariat Dewan Pers di Jakarta, pada Kamis, (9/1) guna menjalani proses klarifikasi. Dewan Pers kemudian mengeluarkan lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor: 4/PPR-DP/11/2020 yang isinya mewajibkan Banjarhits selaku teradu melayani hak jawab dari pengadu karena dinilai bersalah melanggar Kode Etik.

PPR diterbitkan Dewan Pers pada Rabu (5/2). Merujuk kepada UU Nomor 40/1999 tentang penanganan sengketa pers, PPR tersebut sudah menyelesaikan semua masalah. Hak jawab pengadu sebagai kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan versi pengadu sudah diberikan.

Selain itu, Banjarhits juga sudah meminta maaf dan menghapus berita yang dipersoalkan. Selain dilaporkan ke Dewan Pers, Diananta juga dilaporkan ke polisi. Sesuai MoU antara Dewan Pers dan Polri, setiap sengketa pemberitaan harus diselesaikan melalui mekanisme di Dewan Pers.

Polisi juga perlu meminta keterangan dari Dewan Pers jika kasus itu diproses polisi. Karena kasusnya sudah diproses Dewan Pers, semestinya laporan pidananya tidak dilanjutkan.

Namun, penyidikan polisi terus berlanjut dengan surat panggilan kedua dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Kalsel, pada 25 Februari 2020, hingga penahanan Diananta pada 4 Mei 2020. Polisi menjeratnya dengan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berisikan ancaman hukuman 6 tahun penjara.

Menanggapi vonis majelis hakim, Diananta tentu saja kecewa. Sebab, ia merasa kasusnya sudah berakhir di Dewan Pers. “Ini menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers,” kata Diananta.

Untuk itu, Diananta pun mempertimbangkan langkah hukum yang akan diambil setelah vonis. Apakah akan menempuh banding di Pengadilan Tinggi Kalsel atau menerima putusan hakim, majelis hakim memberi waktu tujuh hari.

Diananta mengucapkan apresiasi sebesar-besarnya atas solidaritas jurnalis, aktivis, serta segenap pihak yang telah mendukung dari awal kasus. “Kesadaran kolektif dari kawan-kawan membuat semangat saya di situasi sulit seperti ini,” ujarnya.

Sementara itu, Diananta sudah dipenjara selama tiga bulan enam hari sejak 4 Mei 2020 atau sehari setelah Hari Kebebasan Pers Internasional. “Putusan ini bukan hanya soal Diananta, tapi juga soal kebebasan pers di Indonesia. Dan ini tentu saja akan tercatat sebagai hari kelam bagi kebebasan pers di Indonesia,” kata Direktur LBH Pers sekaligus kuasa hukum Diananta Ade Wahyudin, saat dihubungi Asumsi.co, Kamis (13/8).

Pada 24 Mei Nanta dipindahkan ke Kotabaru dan dititipkan di Polres Kotabaru hingga persidangan mulai masuk jadwal persidangan sejak 8 Juni 2020. sementara itu, atas vonis terhadap Diananta tersebut, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap:

1. Mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru yang memvonis Diananta Putra Sumedi karena karya jurnalistiknya. Hakim dalam mengadili kasus ini mengabaikan adanya Undang Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialist dibandingkan dengan Undang Undang ITE, yang di dalamnya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan. Vonis ini menjadi preseden buruk bagi pers karena bisa dipakai oleh siapa saja untuk mempidanakan, dan mengintimidasi, jika terusik oleh pemberitaan media. Tentu saja ini akan berdampak pada tumpulnya fungsi kontrol sosial oleh pers.

2. Mengecam sikap polisi yang memproses Diananta dengan pasal pidana Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sesuai MoU, sengketa pemberitaan ditangani oleh mekanisme di Dewan Pers. Dalam kasus ini, Dewan Pers sendiri sudah menanganinya dan mengeluarkan Pernyataan Penilaian, Pendapat dan Rekomendasi. Kumparan dan Diananta sudah memenuhi anjuran Dewan Pers tersebut sebagai bagiann dari penyelesaian sengketa pemberitaan. Dengan perkembangan tersebut sudah sepatutnya kasus pidana Diananta itu tidak diproses lebih lanjut oleh polisi.

3. Mendesak pemerintah dan DPR menghapus pasal karet dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, khususnya Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat 2 soal dugaan penyebaran kebencian. Dua pasal ini bisa dengan mudah dipakai oleh siapa saja, termasuk untuk membungkam sikap kritis media terhadap penguasa atau orang kuat yang terusik oleh jurnalis dalam menjalankan profesinya.

Share: Vonis Penjara Jurnalis Diananta Mengancam Fungsi Kontrol Sosial Pers