Budaya Pop

Valentine, Enggak Selalu Tentang Mencinta dan Bercinta

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Tahun 2019 sudah memasuki bulan kedua. Di bulan ini, ada satu perayaan yang seringkali menjadi perdebatan di masyarakat, yakni perayaan Hari Valentine. Perdebatan yang sebenarnya kita tau enggak ada habisnya ini tetap aja dilakukan sama orang-orang. Emang apa sih, yang diperdebatkan?

Berdebat Tentang Boleh Tidaknya Merayakan Hari Valentine

Kalo ngomongin soal perdebatan tentang Hari Valentine, setidaknya ada dua kubu yang benar-benar berseberangan. Kubu pertama adalah yang mengharamkan perayaan ini karena dianggap penuh dengan kemaksiatan. Mereka pun tidak berhenti hanya sampai enggan merayakan hari Valentine. Mereka juga meminta masyarakat untuk tidak merayakannya. Mereka berharap orang-orang tidak lagi merayakan hari Valentine.

Tak terkecuali untuk Hari Valentine tahun 2019, kubu yang menolak perayaan Hari Valentine ini pun kembali melakukan aksinya. Mereka salah satunya beraksi di Car Free Day Jakarta, hari Minggu (10/2) kemarin. Kali ini, aksi penolakan Hari Valentine dimotori oleh komunitas peduli hijab. Aksi tersebut diberi nama Gerakan Menutup Aurat. “Kan 14 Februari identik dengan hari Valentine, kami ingin di bulan yang identik dengan Valentine ini mereka justru menjalankan syariat Islam, menutup aurat, dan juga menutup isu Valentine,” ungkap salah satu peserta bernama Hanna, seperti dilansir oleh CNN Indonesia.

Tidak hanya di Car Free Day Jakarta, remaja di Ciamis yang tergabung dalam Inspira Ciamis juga melakukan aksi Gerakan Menutup Aurat ini. Aksi digelar di komplek sirkuit BMX Cigembor, Ciamis, Minggu (10/2). “Intinya aksi ini sebagai bentuk tolak Hari Valentine. Itu bukan budaya kita, kami hanya mengingatkan kepada teman-teman untuk tidak ikut-ikutan merayakannya,” ujar Melati Mustika, salah satu peserta aksi, seperti dilansir oleh Detik News.

Di satu sisi yang lain, ada orang-orang yang merasa bahwa merayakan Hari Valentine adalah hak yang sah-sah saja dilakukan. Toh, ini bukan perayaan keagamaan tertentu, hanya masalah budaya. Pihak-pihak ini biasanya melihat Hari Valentine sebagai perayaan yang dapat didefinisikan oleh masing-masing yang merayakan. Di media sosial, khususnya Twitter, ungkapan-ungkapan dari pihak ini cukup terasa. Salah satunya adalah cuitan dari akun Twitter @sheknowshoney. Ia merasa bahwa Hari Valentine bukan hanya masalah percintaan yang berhubungan dengan seksualitas atau masalah perayaan keagamaan. Hari Valentine dapat dirayakan dengan berbagai macam bentuk. Seperti anak-anak di Amerika Serikat yang merayakannya dengan memberikan teman dan gurunya kartu buatan sendiri. Berikut cuitan tersebut.

Eh, otak mesum!! Hari Valentine di AS ga cuma urusan cinta-cintaan eros. Anak-anak SD merayakan Hari Cinta dengan mengekspresikan cinta pada para guru dan teman sekelas dengan memberi kartu buatan tangan dan hadiah kecil seperti sebutir permen, sebatang pensil, bunga kertas, dll. pic.twitter.com/alRP7iIIIR— Uly Siregar (@sheknowshoney) February 11, 2019

Lantas, Bagaimana Seharusnya Memaknai Hari Valentine?

Menurut saya, kedua belah pihak memang memiliki basis argumentasinya masing-masing. Keduanya menafsirkan Hari Valentine sesuai dengan apa yang mereka percaya. Sejauh ini tidak ada yang salah, hanya berbeda pandangan saja. Bukankah itu fungsinya demokrasi? Eits, tunggu dulu.

Demokrasi adalah sebuah hak untuk menyuarakan pendapat yang kita anggap benar. Namun, bukan berarti kita bisa seenaknya mengkafir-kafirkan orang lain karena melakukan sesuatu yang kita anggap salah. Ketika kita sampai melarang orang untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap benar, perlu dipikirkan kembali seberapa demokratis kita. Dalam demokrasi, satu hal yang esensial adalah memastikan kalau orang lain mendapatkan hak yang setara dengan kita. Kalau kita diizinkan untuk menolak perayaan Hari Valentine, lantas mengapa kita tidak mengizinkan orang lain merayakannya? Yang penting, orang lain tersebut merayakannya tanpa mengganggu hak kita. Itu sudah cukup.

Toh, kembali lagi, Hari Valentine bukan hanya tentang seks. Hari Valentine dapat dijadikan satu momentum membagikan kasih sayang ke seluruh elemen yang ada di sekitar kita, baik itu makhluk hidup atau benda mati. Dengan definisi yang lebih longgar ini, Hari Valentine seharusnya tidak menjadi masalah jika ingin dirayakan di Indonesia.

Hafizh Mulia adalah mahasiswa tingkat akhir program sarjana di Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Tertarik dengan isu-isu ekonomi, politik, dan transnasionalisme. Dapat dihubungi melalui Instagram dan Twitter dengan username @kolejlaif.

Share: Valentine, Enggak Selalu Tentang Mencinta dan Bercinta