Budaya Pop

Tom Morello, Selamatkan Aku dari Kebanggaan Mereka

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Halo, Tom. Eh, boleh kan kupanggil begitu?

Dengar-dengar, kamu akan tiba di Jakarta dalam waktu dekat bersama band terbarumu, Prophets of Rage. Aku gembira mendengarnya, Tom. Ini pertama kalinya kamu datang ke Indonesia. Sebagai warga negara yang baik, tentu saja aku wajib mengingatkanmu untuk mencicipi bakso dan nasi goreng, serta berkunjung ke Monas. Mungkin kamu sudah tahu, tapi dengarkan sajalah. Seorang Ratu Kecantikan pernah berkata, Indonesia is a very beautiful city, dan kamu harus menjajalnya sendiri.

Negeriku memang tidak asing dengan petaka. Namun, akhir-akhir ini, kabar yang tiba di telinga selalu tak mengenakkan. Cemas membuatku lekas gusar, Tom.

Kau kenal Livi Zheng? Baca, deh, tulisan kawanku. Itulah manusia yang bikin banyak orang sakit gigi. Bertahun-tahun ia dipuja sebagai sutradara muda yang meraih nominasi piala Oscar, dan anak muda inspiratif yang “mengharumkan nama bangsa” kami di negaramu. Namun, ibarat sebongkah batu mulia, baru-baru ini kami mengerti bahwa ia barang palsu saja, berkilauan karena digosok dengan duit yang sumbernya patut dipertanyakan. Ngeri-ngeri sedap, kan?

Tetapi aku tak hendak membicarakan Livi. Aku lebih tertarik membicarakan bagaimana mitos Livi Zheng bisa muncul dan bertahan begitu lama. Setidaknya lima tahun terakhir, kami di Indonesia hidup dalam halusinasi kolektif bahwa ia adalah sineas berkualitas yang berhasil di Hollywood. Padahal, sebenarnya, tak perlu jurnalisme investigatif untuk memeriksa rincian mendasar dari kisahnya. Mengapa kami begitu mudah dikibuli?

Perih mengakuinya, Tom, tapi jawabannya sederhana. Iya, kami tergesa mengambil kesimpulan dan tak teliti. Namun, lebih penting lagi, kami percaya karena kami ingin percaya.

Penyakit sosial itu berbiak dalam diri Overproud Indonesians. Mereka gemar mengekspresikan kecintaan pada tanah air dengan cara-cara yang berlebihan, terutama di dunia maya. Kamu akan menemukan mereka di akun Instagram juragan taksi Malaysia yang belum lama ini marah-marah soal GoJek. Beberapa waktu lalu, kamu akan mendapati mereka berdebat sengit dengan warganet ASEAN ihwal usia asli seorang pemain timnas sepakbola junior Timor Leste. Semakin gawat, kamu akan menjumpai mereka di kolom komentar YouTube Rich Brian, memberitahu semua orang bahwa Brian berasal dari Jakarta.

Tak ada narasi yang lebih memuakkan ketimbang “mendukung karya anak bangsa”, tapi kami menelan tahi kuda itu setiap hari. Potret kami cukup kompleks, Tom. Sebanyak 171 juta orang Indonesia telah terhubung dengan internet, tapi pemahaman kami masih mengkhawatirkan. Hoaks mudah tersebar, media sosial jadi ajang perekrutan sel teroris, dan perisakan daring jadi persoalan menahun. Di sisi lain, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara teroptimis di dunia, dan 70% warganya mengaku rela mengangkat senjata untuk membela negara. Kamu bisa bayangkan seperti apa tampang mereka, kan? Sekumpulan orang yang kelewat bangga dengan prestasinya sendiri, mudah tersinggung apabila nasionalismenya diusik, dan punya kebiasaan menyerang secara berkelompok.

Jangan salah sangka. Alih-alih membenci, aku justru bersimpati kepada mereka. Membanggakan Indonesia di hadapan dunia itu tidak gampang, Tom. Sejarah kami dipenuhi tragedi, genosida, dan penguasa yang memuakkan. Satu dekade lalu, Indonesia mungkin lebih dikenal dunia sebagai negara yang kena travel warning akibat sering didera serangan teroris. Kami tidak bisa flexing kepada dunia, dan itu bikin sengsara.

Maka, ketika memiliki sesuatu yang terlihat cemerlang seperti Rich Brian, Livi Zheng, atau reporter teledor yang bilang ada tanaman penyembuh kanker itu, kami gembira bukan main. Akhirnya, ada sesuatu dari Indonesia yang bermanfaat bagi dunia dan tidak bikin malu. Kuakui, Tom, aku juga turut serta. Walaupun Bonek garis keras, aku mendukung PSM Makassar dan Persija Jakarta saat mereka berlaga di kompetisi tingkat Asia. Sekalipun aku benci film laga, aku turut bangga menyaksikan Iko Uwais meniti karir menjadi bintang papan tengah Hollywood. Dan meskipun kredibilitasku di dunia game nol besar, aku menangis terharu saat melihat Senyawa mengisi soundtrack game mentereng Red Dead Redemption 2.

Namun, kasus Livi Zheng membuktikan bahwa ada sisi kelam dari mentalitas tersebut. Kami terberak-berak memperjuangkan validasi di mata dunia, sehingga mudah alpa terhadap kebenaran. Kami jadi sensitif terhadap kritik. Kami gampang memercayai kabar burung apa saja yang memberi makan ego kolektif serta menguatkan narasi bahwa Indonesia adalah negara besar yang layak dibanggakan. Ayolah, Tom. Bangsa yang butuh situs khusus kabar-kabar gembira dari negaranya adalah bangsa yang sakit jiwa. Kenapa harus kabar baik saja? Apa yang salah dari kabar yang apa adanya?

Barangkali kami memang lupa, Tom, bahwa perubahan yang signifikan dan mengakar dimulai dari nalar kritis, serta kesadaran bersama bahwa ada sesuatu yang salah dan patut diperbaiki. Bukan dari kebanggaan dan dukungan membabi buta. Dengan perspektif yang lebih berimbang, persoalannya akan lebih jernih. Barulah kami sadar bahwa Niki Zefanya bisa sukses bukan karena Indonesia, tapi karena ambisi dan manajemen tangguh label 88rising di Amerika Serikat. Saat itulah kami paham bahwa pemain sepakbola muda berbakat macam Egy Maulana Vikri harus hijrah jauh-jauh ke Polandia untuk mengembangkan diri sebab infrastruktur dan kompetisi di Indonesia kelewat bobrok.

Bahkan aku berani taruhan: semisal Iko Uwais atau Yayan Ruhiyan mangkrak di Indonesia dan tidak nekat meniti karier di Amerika, mereka bakal terpaksa membintangi sinetron-sinetron tunamutu dan menerima peran kameo di film Azrax 2. Orang-orang ini sukses walaupun berasal dari Indonesia, Tom, bukan karena berasal dari Indonesia.

Bahkan, keunggulan demi keunggulan yang telah kami banggakan sejak zaman nenek moyang mulai sirna. Kamu mungkin pernah mendengar bahwa alam kami indah tiada tara, lempar kayu dan batu jadi tanaman, tetapi sekarang Indonesia divonis menghadapi kondisi darurat ekologis. Kami layak membanggakan khazanah budaya tradisional yang kaya bukan main, tapi kami lamban memenuhi hak-hak masyarakat adat yang menghidupi tradisi tersebut. Kami dikenal sebagai bangsa yang ramah, tapi kasus diskriminasi berbasis agama dan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat.

Mungkin aku kelewat pesimistis, Tom. Namun, siapa bisa menyangkal bahwa bangsa kami punya banyak sekali pekerjaan rumah, dan kebanggaan yang keras kepala tidak akan menuntaskannya.

Barangkali kamu bertanya-tanya mengapa aku mengutarakan semua ini padamu. Aku paham kebingunganmu, kok. Sebetulnya, aku meracau begini karena aku tahu kamu siapa, Tom, dan aku percaya padamu.

Bertahun-tahun lalu, musik yang kamu mainkan pernah menyuntikkan energi luar biasa bagi anak-anak muda di negaraku. Tentu saja aku tidak membicarakan Audioslave, proyek gagalmu yang menghasilkan lagu wajib abang-abang warnet dan pos ronda itu. Aku berbicara tentang Rage Against The Machine.

Mungkin kamu tidak mengenal Herry “Ucok” Sutresna alias Morgue Vanguard, rapper dan aktivis jempolan, tapi karyamu mengubah hidupnya. Pada dekade 1990-an, angkatannya sempat tergila-gila pada album keduamu, Evil Empire (1996). Karena album kalian dirilis oleh label mayor, kaset kalian mudah didapat dan tak selangka rilisan dari band-band punk bawah tanah. Maka, bocah muda tanggung semacam Ucok bisa mendapatkannya dengan mudah.

Dua hal membikin syok angkatannya. Pertama, ketika Zack De La Rocha berpadu dengan riff gitar sangarmu dan meneriakkan frase ikonik “Fuck you, I won’t do what you tell me!” di radio nasional. Kedua, pada booklet album Evil Empire, kalian memuat daftar rekomendasi buku-buku politik, mulai dari The Wretched of the Earth-nya Frantz Fanon, Now and After-nya Alexander Berkman, hingga Capital, Volume I karya Karl Marx.

“Itu kayak gerbang aneh buat mengenal buku-buku kiri,” kenang Ucok. “Bayangin aja kalian dikenalin ke literatur radikal lewat sampul album rock/rap. Tapi kuat banget inspirasinya, karena buku-buku yang direkomendasikan oleh Rage Against The Machine saat itu tak boleh dibaca, apalagi disebarluaskan.” Ucok bahkan menyebut bahwa bandmu lebih berpengaruh daripada Iwan Fals dalam urusan membentuk kesadaran kritis generasinya. Dan percayalah, Tom, itu pujian selangit.

Dengan berdialog melalui lirik, posisi politik, dan musik kalian, secara tidak langsung Rage Against The Machine menyadarkan mereka bahwa kehidupan tidak baik-baik saja. Lebih penting lagi, literatur yang kamu rekomendasikan membantu mereka memahami bahwa persoalannya tidak berhenti di satu-dua oknum, melainkan persoalan struktural yang membutuhkan penyelesaian struktural pula. Kelewatan kalau aku bilang bahwa musikmu menjadi soundtrack gerakan Reformasi, Tom. Namun, kamu bagian dari konstelasi produk-produk kebudayaan yang turut menempa kesadaran kritis mereka.

Jika karya dan kata-katamu pernah menimbulkan dampak yang begitu dahsyat, Tom, aku yakin kamu dapat mengulanginya. Tengok sekilas berita paling gres tentang Indonesia. Kamu akan menemukan banyak sekali peristiwa yang niscaya membikin lidahmu gatal pengin membacot. Pilih salah satunya, Tom. Ribut-ribut RUU Penghapusan Kekerasan Seksual? Masuk. Kisruh di Papua? Aman. Salah satu dari sekian banyak pernyataan ajaib Jenderal Moeldoko belakangan ini? Semuanya asyik.

Janggal sekali, memang, sebab rasanya seolah aku memintamu menjadi white savior. Namun, bisa jadi kami perlu white savior sebab kami tidak mau menyelamatkan diri kami sendiri. Bagaimanapun juga, aku orang Indonesia, Tom. Aku adalah bagian daripada mereka. Semisal aku mengkritik bangsaku sendiri, yang akan membelaku cuma mas-mas kiri edgy dan para fanboy Dandhy Dwi Laksono. Justru harus kamu yang mengguncang iman kami, Tom.

Tentu kamu harus berhati-hati. Jika kamu salah langkah, kamu akan tampak seperti satu lagi manusia kulit putih kurang piknik. Namun, kalau kamu cerdik, minimal kamu akan berhasil menciptakan keributan mini seperti saat Harrison Ford mendamprat Menteri Kehutanan. Kelemahan paling fatal para Overproud Indonesians adalah kritik pedas dari orang yang mereka kagumi, orang yang mereka nanti-nantikan persetujuannya. Kamu berada dalam posisi terhormat itu, Tom.

Mari, Tom. Izinkan aku mendampingimu dalam pergolakan penuh marabahaya ini. Dugaanku, aku tidak akan sendirian. Kawanku, Dea Anugrah, juga gemar merancang keonaran. Bersama-sama, kami akan menyertaimu menuju mimbar, eh, maksudku panggungmu. Mudah saja merebut hati para Overproud Indonesians itu, Tom. Sampaikan pujian bagi hidangan khas Indonesia, mainkan Indonesia Raya sebelum konsermu, atau ucapkan observasi omong kosong seperti “Saya dengar Presidenmu suka musik metal”. Tidak apa-apa, Tom. Semua akan dimaafkan selama kamu tidak se-katro Arkarna.

Kemudian, kita bikin mereka gempar, Tom. Ada begitu banyak cara untuk menyentakkan mereka dari halusinasi kebanggaan, tapi metode yang kami ketahui tak mungkin lolos sensor redaksi. Kami mesti memberitahumu secara langsung, Tom. Undang kami ke belakang panggung. Mari bercengkerama dan bertukar pikiran. Aku akan berdiri di sisimu, Tom. Akan kunyanyikan lagu warnet itu bersamamu. Kalau perlu, akan kuikuti solo gitarmu yang heboh dengan vokalku.

Kita nikmati festival itu, Tom. Kita tonton Superorganism bersama-sama. Akan kupinjamkan batikku supaya kamu lebih khusyuk saat menonton Arcade Fire, eh, Barasuara. Kemudian, kita hampiri panggung Snow Patrol dan timpuki Gary Lightbody dengan kerikil.

Percayalah, Tom. Saking senangnya, malam itu juga kamu akan minta dinaturalisasi.

Share: Tom Morello, Selamatkan Aku dari Kebanggaan Mereka