Isu Terkini

Tumpang Tindih Aturan dan Pergantian Rezim yang Bikin Reklamasi Makin Kompleks

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Masalah reklamasi Teluk Jakarta merupakan masalah yang amat rumit. Pro dan kontra semenjak muncul gagasan pembangunannya pada dekade 1990-an membuat reklamasi ini menjadi salah satu perdebatan terlama masyarakat DKI Jakarta. Membahas reklamasi ini, “Asumsi Bersuara with Rayestu” mengundang Elisa Sutanudjaja, Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies.

Dibangun Berlandaskan Dua Perpres yang Berbeda

Memahami pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta ini, ada dua Peraturan Presiden (Perpres) yang menjadi landasan pembangunannya. Dua Perpres ini diterbitkan karena reklamasi di Teluk Jakarta melintasi dua provinsi yang berbeda, yakni Tangerang dan Jakarta.

“Rata-rata semua orang udah tahu bahwa itu dimulai dari ada Perpres 52 Tahun 1995 dari Soeharto, di saat yang bersamaan sebenarnya ada satu Perpres lagi, Perpres 73 tahun 1995. Jadi sebenarnya terjadi dua rencana proyek reklamasi, yaitu satu di Jakarta yang 52 itu, satu lagi di Tangerang, yang 73 itu,” ujar Elisa.

Tiga Peraturan Harus Dipatuhi

Selain landasan pembangunan yang berbeda, ada tiga aturan yang harus dipatuhi dalam pembangunan reklamasi. Dua di antaranya adalah undang-undang, dan satu lagi adalah Pergub 206/2016 yang merupakan landasan untuk memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) kepada pemilik bangunan.

“Ada dua rezim undang-undang berbeda, yang satu 2002, Undang-Undang Bangunan Gedung 2002, yang satu lagi Undang-Undang Tata Ruang 2007,” tutur Elisa. Ia pun melanjutkan, “Panduan Rancang Kota itu, sayangnya, walaupun ini bicara dua ranah undang-undang berbeda, dia menurut Undang-Undang Bangunan Gedung bisa dipakai untuk dasar membuat IMB.”

Yang menjadi permasalahan dari dua undang-undang yang kini harus dipatuhi tersebut adalah terkait penggunaan Panduan Rancang Kota sebagai dasar pengeluaran IMB. Kedua peraturan tersebut berbenturan soal dasar pengeluaran IMB.

“Nah, tadi kan saya bilang ada Undang-Undang bangunan Gedung tahun 2002 yang memang memungkinkan Panduan Rancang Kota itu untuk mengeluarkan IMB, tapi di tahun 2007 ada Udang-Undang Tata Ruang yang sebenarnya tidak mengakui panduan rancang kota, jadi kalau bicara reklamasi itu sebenarnya ada tiga undang-undang berbeda,” ujar Elisa. Ia pun melanjutkan, “dan yang kita lagi omongin ini (Pergub 206/2016) IMB ini udah yang paling terakhir, udah selesai di proses reklamasi, saran lagi pemanfaatan ruang, baru nanti di bangunannya,”

Beda Cara Pandang Anies dan BTP

Elisa pun turut menjelaskan seperti apa perbedaan Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Anies dinilai cenderung berfokus pada pengelolaan oleh negara, sedangkan BTP lebih berpihak pada pengelolaan oleh swasta.

“Sebenarnya, yang akhirnya berbeda antara Pak Basuki dan Pak Anies itu adalah dua cara pikir yang di mana kalau misalnya Pak Gubernur Basuki maunya pengelolaan sepertinya bisa diserahkan kepada swasta tetapi DKI mendapatkan uang. Tapi sementara Pak Anies itu pulau itu adalah milik publik, milik publik itu artinya pemerintah, makanya tunjuk BUMD Jakpro untuk mengelola, nah itu udah dua hal yang berbeda,” ungkap Elisa.

Meski sudah diserahkan ke Jakpro, Elisa mengungkapkan bahwa terkait pengelolaan kawasan reklamasi nantinya, tetap harus merujuk pada Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang dibuat antara Pemprov DKI Jakarta dan pengembang beberapa minggu sebelum Anies Baswedan dilantik, yakni bulan Agustus 2017. PKS ini pun tidak dibuka untuk publik.

“Kalau yang itu harus dilihat lagi ke PKS-nya ya, Perjanjian Kerja Sama, antara DKI dan pengembang,” ujar Elisa.

Share: Tumpang Tindih Aturan dan Pergantian Rezim yang Bikin Reklamasi Makin Kompleks