Isu Terkini

Thailand Mengakhiri Junta Militer setelah Lima Tahun Berkuasa

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Kabinet baru Pemerintah Thailand baru saja disumpah pada Selasa (17/7). Kabinet ini menggantikan Junta Militer Thailand yang sudah berkuasa selama lima tahun. Kendati demikian, kabinet yang baru disumpah ini sama-sama dipimpin oleh Prayuth Chan-o-cha dan aliansi militer yang menaunginya.

Prayuth Chan-o-cha merupakan jenderal tentara yang mengkudeta pemimpin terpilih Thailand pada tahun 2014 lalu. Kudeta ini dilakukan terhadap kekuasaan Partai Pheu Thai yang didirikan oleh taipan Thaksin Sinawatra. Meski kini tetap dipimpin Prayuth, junta militer dikatakan berakhir karena kali ini Prayuth terpilih melalui mekanisme demokratis.

Terpilihnya kembali Prayuth sebagai Perdana Menteri Thailand kali ini dianggap sebagai pemerintahan sipil karena memang berangkat dari suara parlemen yang dipilih oleh rakyat pada Pemilu bulan Maret 2019 lalu.  Pemilu tersebut telah berhasil membuat partai-partai pro-militer menjadi mayoritas di parlemen. Sebagai mayoritas, partai-partai pro-militer berhak untuk menunjuk satu nama untuk menduduki kursi perdana menteri. Posisi ini lah yang akhirnya diberikan kembali kepada Prayuth yang berasal dari Partai Palang Pracharath.

Dengan posisinya saat ini, Prayuth memegang jabatan sebagai Perdana Menteri Thailand sekaligus Menteri Pertahanan. Ia dibantu oleh Jurin Laksanawisit dari Partai Demokrat yang memegang jabatan sebagai wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Perdagangan, dan Anutin Charnvirakul dari Partai Bhumjai Thai yang memegang jabatan sebagai wakil Perdana Menteri dan Menteri Kesehatan.

Dalam sebuah konferensi pers di hari Senin (15/7) malam, Prayuth mengatakan bahwa Thailand sudah kembali bertransisi menjadi negara demokrasi penuh dengan sistem pemerintahan monarki konstitusional.  Ia pun mengatakan bahwa pemerintahannya akan menggunakan mekanisme demokratis untuk menyelesaikan masalah yang ada.

“Thailand saat ini sudah beroperasi penuh sebagai negara demokrasi dengan sistem monarki konstitusional, memiliki parlemen yang dipilih oleh rakyat dan pemerintahan yang didukung oleh parlemen. Beberapa hak dan kebebasan yang diatur dalam konstitusi diselarkaskan dengan norma internasional tertinggi. Permasalahan yang belum terselesaikan akan diselesaikan melalui proses demokrasi tanpa penggunaan kekuatan-kekuatan khusus,” ujar Prayuth.

Dalam mewujudkan apa yang ia utarakan dalam pidato tersebut, Prayuth sudah membatalkan 66 dari 500 perintah eksekutif yang ia impelementasikan selama memimpin rezim militer. Kendati demikian, ada beberapa pihak yang merasa bahwa tindakan ini belum cukup dan kekuatan militer masih terlalu besar.

Junta Militer Thailand Sudah Lakukan Kudeta Dua Kali

Dalam lima belas tahun terakhir, Thailand sudah mengalami kudeta selama dua kali. Yang pertama terjadi pada tanggal 19 September 2006. Ketika itu, Perdana Menteri Thaksin Sinawatra dikudeta oleh Tentara Royal Thai hanya sebulan sebelum Pemilu dilaksanakan. Kudeta ini sendiri terjadi setelah krisis politik Thailand yang sudah berlangsung hampir satu tahun lamanya.

Beberapa hari setelah kudeta berhasil dilaksanakan, pimpinan kudeta Jenderal Sonthi Boonyaratglin mengeluarkan sebuah deklarasi pada tanggal 21 September 2006. Deklarasi ini menjadi janji politik dari rezim militer untuk mengembalikan pemerintahan yang demokratis dalam kurun waktu satu tahun.

Dewan Reformasi Demokrasi (CDR) yang dibentuk oleh militer pasca kudeta memilih Jenderal Surayud Chulanont sebagai Perdana Menteri sementara. Pemilu demokratis akhirnya dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2007, namun tanpa kehadiran Partai Thai Rak Thai (kini menggunakan Pheu Thai) yang dilarang untuk ikut serta dalam perpolitikan Thailand. Pejabat-pejabat partai Thai Rak Thai juga dilarang untuk ikut pemilu dalam kurun waktu lima tahun.

Banyak pihak yang berusaha mengidentifikasi alasan di balik kudeta ini. Respons resmi dari rezim militer yang mengkudeta adalah adanya korupsi, nepotisme, ikut campurnya pemerintah di lembaga independen, dan penghinaan terhadap raja.

Respons ini diperkuat oleh sebuah white paper yang dikeluarkan oleh junta. Di dalamnya, dijelaskan bahwa ada korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hilangnya integritas, ikut campurnya pemerintah dalam sistem check and balance, pelanggaran hak asasi manusia, dan memecah belah masyarakat Thailand.

Analis independen mengidentifikasi beberapa alasan lain dari kudeta yang dilakukan oleh junta militer ini. Thitinan Pongsudhirak dari Chulalongkorn University mengatakan bahwa adanya konflik antara Raja Bhumibol Adulyadej dan Thaksin. Sedangkan Giles Ungpakorn dari universitas yang sama mengklaim bahwa kudeta terjadi akibat adanya konflik kelas antara masyarakat pedesaan yang mendukung Thaksin dan elite urban yang mendukung junta militer.

Tidak sampai 10 tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 22 Mei 2014, Tentara Royal Thai yang dipimpin oleh Prayuth kembali melakukan kudeta, sekaligus menjadi yang ke-12 sepanjang sejarah Thailand. Kudeta ini dilakukan oleh Prayuth terhadap Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, saudara perempuan dari Thaksin. Prayuth membentuk Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Kestabilan (NCPO) dalam menjalankan pemerintahan. Serupa dengan sebelumnya, kudeta kali ini juga diwarnai oleh krisis politik di Thailand.

Dalam kudeta kali ini, respons dunia internasional menekan junta militer untuk kembali mengimplementasikan pemerintahan yang demokratis berembus lebih kencang. Uni Eropa mengatakan bahwa mereka dan negara anggota Uni Eropa tidak akan menandatangani kemitraan dan kerja sama dengan Thailand selama masih dikuasai oleh junta militer. Begitu pun dengan berbagai negara lain seperti Argentina, Australia, Kanada, Chile, Prancis, Jerman, dan Jepang yang berharap agar pemerintahan berbasis sipil dan demokratis segera dibentuk dan dijalankan.

Share: Thailand Mengakhiri Junta Militer setelah Lima Tahun Berkuasa