General

Fenomena Paslon Tunggal, Bukti Kegagalan Parpol dan Masyarakat

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 dipastikan akan diikuti oleh 15 pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong. Sebelumnya berdasarkan catatan KPU pada Februari lalu, ada 13 daerah yang hanya memiliki satu paslon saja, dan sekarang jumlahnya bertambah dua daerah yakni Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Bone.

Terkait banyaknya paslon tunggal di Pilkada 2018, Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tantowi mengatakan bahwa paslon tunggal di 15 daerah tersebut merupakan bentuk eksistensi dari oligarki atau ada kelompok tertentu yang menguasai pemerintahan tingkat lokal seperti kabupaten dan kota.

Pengaruh Kekuatan Oligarki di Daerah

Menguatnya pengaruh oligarki di daerah-daerah berdampak kurang baik lantaran tak ada paslon lain yang berani maju menjadi calon kepala daerah sebagai penantang. Hal itulah yang akhirnya membuat paslon tunggal dengan mudah bermunculan di sejumlah daerah karena tak ada lawan.

“Dia menguasai seluruh lini kekuasaan di daerah yang tidak memungkinkan memunculkan kompetitor,” kata Pramono Ubaid Tantowi di kantor KPU RI, Jakarta, sebagaimana dinukil dari CNN Indonesia, Rabu 4 April.

Hadirnya paslon tunggal yang tak punya lawan tentu menjadi masalah krusial dalam penyelenggaraan kontestasi pilkada itu sendiri. Pramono mengungkapkan bahwa masalah itu erat kaitannya dengan tata kelola pemerintahan di tingkat daerah.

Baca Juga: Ada 15 Calon Tunggal Melawan Kotak Kosong di Pilkada 2018, Seperti Apa Aturannya?

Tata kelola otonomi daerah yang kurang baik tentu bisa menyebabkan terciptanya oligarki. Menurut Pramono, meski fenomena itu hanya terjadi di sebagian kecil dari seluruh daerah di Indonesia, tetap saja hal itu berdampak terhadap minimnya calon kepala daerah yang berkontestasi.

“Proses otonomi daerah itu, di sebagian kecil daerah kita ternyata memunculkan local strongman, begitu ya oligarki-oligarki di tingkat lokal,” ucap Pramono.

Munculnya pengaruh oligarki memang sulit dihindari jika tata kelola pemerintahan di daerah masih belum baik. Menurut Pramono, kekuatan politik yang dominan seperti praktik oligarki itu memang bisa menghasilkan pemimpin yang cenderung korup.

Fenomena Calon Tunggal Kesalahan Siapa?

Menurut Pramono, kemunculan fenomena paslon tunggal dianggap sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi demi kepentingan konstituennya. Apalagi, parpol juga punya tugas penting untuk mempersiapkan calon pemimpin masa depan.

Tak hanya parpol saja yang dianggap gagal melahirkan calon pemimpin berkualitas lantaran fenomena paslon tunggal. Pramono juga mengatakan bahwa masyarakat sipil turut gagal dalam hal ini karena tak bisa mengonsolidasikan diri untuk memunculkan paslon kepala daerah dari jalur perseorangan.

Fenomena paslon tunggal di Pilkada 2018 ini tentu jadi pelajaran penting bagi pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah, partai politik dalam menghasilkan calon pemimpin, serta masyarakat sipil dalam menghasilkan calon dari jalur perseorangan.

“Ini jadi PR bagi banyak pihak. Bagi partai politik, bagi masyarakat, bagi pemerintah sendiri,” ujar Pramono.

Baca Juga: Alasan KPU Berencana Larang Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg di Pemilu 2019

Calon Tunggal Membuat Kontestasi Pemilu Jadi Hambar

Coba kalian bayangkan betapa kurang menariknya jika suatu daerah hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah saja di Pilkada 2018. Masyarakat jadi tak punya pilihan untuk menentukan calon pemimpin terbaik seperti yang mereka harapkan.

Fenomena paslon tunggal di Pilkada 2018 itulah, yang menurut Pramono, akan menghilangkan prinsip dasar pemilu. Pramono menjelaskan bahwa dalam pemilu harus ada kontestasi, dalam artian harus ada paslon yang bersaing atau berkompetisi untuk menjadi pemimpin pilihan masyarakat.

“Kalau paslon tunggal tentu nilai kontestasinya enggak ada. Kayaknya masyarakat malas datang ke TPS karena cuma satu paslon,” ucapnya.

KPU memahami fenomen paslon tunggal beserta akibat-akibat lain terutama dalam aspek peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia. Meski begitu, KPU tak bisa berbuat banyak dan KPU pun tak bisa mencegah terjadinya fenomena paslon tunggal dalam pilkada.

Terlebih, Mahkamah Konstitusi sendiri telah memutuskan bahwa calon tunggal tidak bertentangan dengan UUD 1945.

“Dari segi hukum juga undang-undang (Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada) membolehkan itu. Kalau secara institusional ya KPU tidak ada pilihan kecuali melaksanakan undang-undang itu,” kata Pramono.

Berikut 15 Pasangan Calon Tunggal di Pilkada Serentak 2018:

1. Padang Lawas Utara: Andar Amin Harahap-Hariro Harahap (PAN, PKB, Demokrat, PKPI, PBB, PPP, Hanura, PDIP, NasDem, Gerindra, Golkar)

2. Prabumulih: Ridho Yahya-Andriansyah Fikri (PKPI, PBB, PPP, PAN, Demokrat, Hanura, PKB, NasDem, PDIP, Golkar)

3. Pasuruan: Mohammad Irsyad Yusuf-Mujib Imron (Hanura, Demokrat, PPP, PKS, PDIP, NasDem, Gerindra, PKB, Golkar)

4. Lebak: Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi (PKB, PKS, Hanura, PDIP, Golkar, PAN, PPP, Demokrat, NasDem, Gerindra)

5. Kabupaten Tangerang: Ahmed Zaki Iskandar-Mad Romli (Gerindra, PKPI, PBB, Hanura, PPP, PAN, Golkar, PDIP, PKS, PKB, NasDem, Demokrat)

6. Kota Tangerang: Arief Wismansyah-Sachrudin (PDIP, NasDem, PKB, Hanura, PAN, PPP, PKS, Gerindra, Demokrat, Golkar)

7. Tapin: Muhammad Arifin Arpan-Syafrudin Noor (PAN, PKS, PPP, Gerindra, Demokrat, PDI-P, PKB, Golkar)

8. Minahasa Tenggara: James Sumendap-Jesaja Jocke Oscar Legi (Demokrat, Hanura, PAN, PPP, Golkar, Gerindra, PKPI, PDIP)

9. Puncak: Willem Wandik-Alus UK Murib (PKPI, PAN, Demokrat, Golkar, PKS, PKB, Gerindra, Nasdem, Hanura, PDIP)

10. Enrekang: Muslimin Bando-Asman (Hanura, PDIP, NasDem, Gerindra, Demokrat, PAN, Golkar)

11. Mamasa: Ramlan Badawi-Marthinus Tiranda (PBB, PAN, PPP, PKPI, PKS, NasDem, Golkar, PDI-P, PKB, Demokrat)

12. Jayawijaya: Jhon Richard Banua-Marthin Yogobi (PBB, PKS, PAN, Hanura, PDI-P, PKB, Golkar, Demokrat, NasDem, PKPI)

13. Deli Serdang: Ashari Tambunan-Ali Yusuf Siregar (Golkar, PDIP, PAN, PKS, PKB, PKPI, Hanura, Demokrat, PPP, Gerindra dan NasDem)

14. Mamberamo Tengah: Ricky Ham Pagawak-Yonas Kenelak (Demokrat, PKS, PDIP, Gerindra, PAN, dan PBB)

15. Bone: Andi Fahsar Mahdin Padjalangi-Ambo Dalle (Golkar, PAN, Demokrat, PKS, PDIP, PPP, PBB, Gerindra, PKB, Hanura, Nasdem).

Share: Fenomena Paslon Tunggal, Bukti Kegagalan Parpol dan Masyarakat