Isu Terkini

Ternyata Begini Cara DPR RI Singkirkan RUU PKS

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Perjalanan Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual (RUU PKS) akhirnya harus terhenti setelah dicabut DPR RI dari program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dalam rapat kerja, Kamis (02/07/20) lalu. DPR mengaku agak kesulitan membahas RUU PKS yang sudah masuk dalam Prolegnas Prioritas sejak 2016 itu. Sesulit apa?

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas menyebutkan alasan dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 yakni lantaran masih menunggu penyelesaian RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Lagi pula menurut Supratman, sejumlah pasal pemidanaan dalam RUU PKS masih berkaitan dengan RKUHP.

“Alasannya karena masih menunggu pengesahan RUU KUHP yang akan sangat terkait dari sisi penjatuhan sanksi,” kata Supratman dalam Rapat Kerja bersama Menteri Hukum dan HAM dan Panitia Perancang Undang-Undang Dewan Perwakilan Daerah di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (02/07).

Meski begitu, Supratman tetap berharap RUU PKS nantinya bisa dikembalikan ke dalam Prolegnas setelah RKUHP diselesaikan antara pemerintah dan Komisi III.

Usul Pencabutan RUU PKS Muncul Maret 2020

Jauh-jauh hari, sebetulnya DPR sudah menampakkan diri seperti tak ingin melanjutkan pembahasan RUU PKS. Supratman mengaku pernah menerima surat pengusulan pencabutan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 dari Komisi VIII DPR RI. Ternyata, Komisi VIII yang bertanggung jawab terhadap selesainya pembahasan itu telah menyurati Baleg DPR pada Maret 2020 lalu.

Usulan pencabutan itu dilakukan karena Komisi VIII mengaku hendak fokus membahas RUU Penanggulangan Bencana dan RUU Kesejahteraan Lansia. Selain itu, Wakil Ketua Komisi VIII, Marwan Dasopang dalam rapat Baleg Selasa (30/06), juga menyebut bahwa pembahasan RUU PKS dinilai sulit.

“Sebagaimana surat kami pada Maret lalu dari usul komisi VIII ada dua RUU, kami kami menarik RUU penghapusan kekerasan seksual. Karena pembahasannya agak sulit,” kata Marwan, Selasa (30/06).

Di ujung masa akhir periode kerja DPR RI 2014-2019, Marwan juga pernah mengatakan hal yang tak jauh berbeda soal pembahasan RUU PKS. Saat itu, Marwan beranggapan bahwa RUU PKS–sebagai UU lex specialis–harus selaras dengan KUHP terutama dari aspek bobot pemidanaan.

Marwan juga mengatakan bahwa yang membuat RUU PKS ini tak selesai-selesai adalah karena adanya perdebatan per item kata. Menurut Marwan, dalam pembahasan RUU PKS, masalah terberat adalah menyelesaikan definisi.

“Sementara di rehabilitasi dan pencegahan tidak ada masalah. Tinggal ketok saja. Asal selesai kita di definisi, sebetulnya selesai,” kata Marwan yang juga Ketua Panja RUU PKS di Jakarta, Kamis (18/07/19).

Saat itu DPR sendiri telah menyepakati tiga bab dari RUU PKS, yakni pencegahan, perlindungan, dan rehabilitasi. Sementara RKUHP yang dibahas Komisi III DPR dan pemerintah ditunda pembahasannya setelah diprotes masyarakat, termasuk lewat demonstrasi besar pada 24-26 September 2019.

Tak hanya Marwan, di penghujung masa kerja DPR RI 2014-2019 itu juga, Anggota Komisi III DPR Teuku Taufiqulhadi meminta agar RUU PKS tidak dulu disahkan. Ia beralasan bahwa RUU PKS berpotensi akan bertabrakan dengan RKUHP.

“RUU PKS bisa-bisa mengalami over kriminalisasi, seperti yang disampaikan tadi itu, bisa terjadi dalam RUU PKS, tapi itu tidak dibenarkan RKUHP,” kata Taufiqulhadi dalam diskusi bertajuk ‘RUU PKS Terganjal RKUHP’, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/07/19).

Saat itu, Taufiqulhadi mengatakan bahwa secara umum RUU PKS memang bertujuan untuk melindungi perempuan dari bentuk kekerasan seksual baik fisik maupun non-fisik. Namun, dalam RKUHP lebih untuk menyeimbangkan, karena selain dapat melindungi korban, RKUHP dinilai juga ada untuk melindungi pelaku dari over kriminalisasi.

“Oleh karena itu menurut saya dalam RUU PKS dia harus ada limitasi dan kemudian ada parameter yang jelas terhadap hal tersebut tidak boleh kemudian bergerak sendiri,” ucap politikus Partai Nasdem tersebut.

Taufiqulhadi pun merasa khawatir jika RUU PKS bergerak sendiri sehingga berpotensi akan lepas dari RKUHP. “Dan kalau itu terjadi maka RUU PKS itu dia berjalan melampaui RKUHP,” uuarnya. Ia pun saat itu meminta meminta semua pihak untuk bersabar hingga RKUHP disahkan.

Komnas Perempuan: Harus Menunggu Berapa Korban Lagi?

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan bahwa bahwa KUHP ataupun RKUHP hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Sehingga dibutuhkan UU Khusus yang mengatur bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya seperti pelecehan seksual, perbudakan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perkosaan yang bersifat khusus, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan.

Menurut Aminah, RUU PKS adalah hukum lex specialis yang mengatur sembilan kekerasan seksual tersebut. RUU PKS juga jelas hadir sebagai lex specialis dari KUHP yang hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan saja.

“Dengan demikian, tidak perlu menunggu RKUHP disahkan terlebih dahulu karena tindak pidana yang diatur bersifat spesifik/khusus. Dalam sanksi, baik di KUHP ataupun RKUHP, tidak ada sanksi berupa rehabilitasi khusus bagi pelaku kekerasan seksual,” kata Siti saat dihubungi Asumsi.co, Senin (06/07/20).

Adapun rehabilitasi khusus yang dimaksud Siti Aminah, memiliki dua tujuan, yakni:
a. mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku seksual terpidana; dan
b. mencegah keberulangan kekerasan seksual oleh terpidana.

Sementara rehabilitasi khusus itu sendiri dijatuhkan kepada:
a. terpidana anak yang berusia di bawah 14 tahun; atau
b. terpidana pada perkara pelecehan seksual.

Juga pidana tambahan berupa restitusi yakni ganti kerugian dari pelaku ke korban. Selain itu, RUU PKS pun mengatur mengenai hukum acara dalam kasus kekerasan seksual, sebab KUHAP dan UU LPSK belum mengatur soal hak-hak korban. Lalu, salah satu poin yang ada di RUU PKS adalah hak rehabilitasi bagi korban hingga tuntas.

Hak tersebut sebagai bentuk perlindungan korban. Hak rehabilitasi harus ada karena selama ini tak ada di peraturan hukum di Indonesia. Sehingga RUU PKS dinilai sangat penting segera disahkan menjadi Undang-undang

Untuk itu, menurut Siti Aminah, pengaturan perkosaan dan pencabulan tidak perlu menunggu RKUHP sebagaimana hukum acara kekerasan seksual tidak perlu menunggu revisi KUHAP.

“Jadi tidak ada alasan untuk menunda pembahasan RUU PKS dengan menyandarkan kepada pengesahan RKUHP. Jika menunggu RKUHP, maka korban-korban kekerasan seksual yang bentuk tindak pidananya tidak diatur dalam KUHP sekarang, tidak dapat akses keadilan, kebenaran dan pemulihan.”

“Jikapun nanti di RKUHP terdapat perubahan terhadap definisi perkosaan dan pencabulan, bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya tetap berlaku, karena di luar tindak pidana perkosaan dan pencabulan,” ujarnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan bahwa RUU PKS bisa dibahas tanpa perlu menunggu RKUHP, karena materi muatannya berbeda. Berkaitan, tetapi tidak ada sama sekali pasal yang dikaitkan atau dirujuk langsung ke KUHP. Dalam sistem peraturan perundang-undangan kita, lanjut Bivitri, memang dimungkinkan untuk mengatur pidana dalam UU Sektoral.

“Jadi itu argumen yang salah kaprah. KUHP mengatur asas-asas dalam hukum pidana, jenis2 sanksi pidana, pemberatan, dll, tetapi sanksi pidana bisa dan sudah biasa diatur dalam UU sektoral. Contoh konkret saja, memangnya RUU Cipta Kerja mau ditunda krn RUU KUHP belum selesai padahal di situ banyak mengatur sanksi pidana? Kan tidak, jadi bisa terlihat, itu argumen politis saja, karena tidak ada dasar teori dan dasar empiriknya sama sekali,” kata Bivitri kepada Asumsi.co, Senin (06/07/20).

Menurut Bivitri, dalam UU 12/2011, sebagaimana diubah dengan UU 15/2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan juga tidak ada satupun ketentuan yang mengatur keterkaitan antara satu UU dengan yang lainnya. Dalam proses legislasi juga tidak ada ketentuan tentang kondisi-kondisi di mana pembahasan suatu UU harus menunggu yang lain.

Bivitri menegaskan bahwa RUU PKS itu isinya menyeluruh, tidak hanya soal pidana, tetapi juga pencegahan kekerasan seksual, penanganan, penegakan hukum perkara kekerasan seksual, dan sebagainya. Jadi, menurutnya, tidak perlu menunggu apapun, dan RUU PKS bisa langsung dibahas dan disahkan. Kalaupun ada yg beririsan dengan KUHP, tidak menjadi masalah karena RUU PKS itu UU Sektoral.

“Misalnya saja, ada adagium lex specialis derogat legi generali: hukum yang mengatur lebih khusus diutamakan keberlakukannya daripada hukum yang mengatur lebih umum. Lagipula, kalau memang RUU PKS duluan selesai, kenapa tidak misalnya nantinya justru pembahas RUU KUHP mengacu pada RUU PKS? Karena menurut saya RUU PKS mengatur pidananya lebih baik karena ada paradigma penghapusan kekerasan seksual. Sedangkan RKUHP tujuannya atau politik hukumnya sifatnya jauh lebih umum, yaitu reformasi hukum pidana,” ucap Dosen di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera tersebut.

Share: Ternyata Begini Cara DPR RI Singkirkan RUU PKS