Isu Terkini

Sudahkah Transportasi Umum di Jakarta Ramah Perempuan?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Meuthia, seorang pekerja keuangan, menjadikan anaknya bahan pertimbangan saat memilih kantor. “Saya akan menolak pekerjaan jika akses transportasinya sulit,” katanya. “Saya tak mau waktu dengan keluarga menjadi berkurang karena habis di jalan.”

Jarak antara rumah dan kantor Meuthia kini hanya 5 KM. Namun, masalah para pekerja di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta, bukan hanya jarak. Kurangnya akses transportasi umum dan tidak terintegrasinya moda-moda transportasi (MRT, Transjakarta, LRT, angkot, dan lain-lain) di DKI Jakarta dapat membuat tempat yang dekat jadi sulit diakses.

The Conversation melaporkan banyak perempuan di DKI Jakarta terpaksa berhenti bekerja karena biaya bepergian yang tinggi dan masih adanya kewajiban untuk mengerjakan urusan rumah tangga sesampainya di rumah.

Farah, karyawan sebuah e-commerce di Kuningan, mengaku pernah menolak sebuah pekerjaan karena masalah jarak. “Waktu itu saya pernah ditawarkan posisi pekerjaan yang legit banget, tapi lokasinya jauh dari rumah dan akses transportasinya tidak mudah. Karena itu, saya memutuskan untuk tidak mengambil pekerjaan itu,” cerita Farah kepada tim redaksi Asumsi.co.

Sebagai anak pertama, adik dan ibunya yang single mother cukup bergantung pada dirinya. “Saya sengaja memilih lokasi kerja yang dekat dengan rumah. Jika ada urusan keluarga yang sifatnya mendadak atau darurat, saya jadi bisa dengan mudah pulang,” jelas Farah.

Pernyataan Farah ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG), SurveyMETER, dan RAND terhadap lebih dari 500 perempuan yang menggunakan Koridor 6 Transjakarta.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 31% perempuan pernah menolak sebuah posisi pekerjaan karena masalah transportasi. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan 14,4% perempuan dengan usia anak kurang dari 5 tahun pernah berhenti bekerja karena masalah transportasi.

Fani Rachmita, Senior Communications & Partnership Manager dari ITDP Indonesia (Institute for Transportation & Development Policy), sebuah lembaga non-profit yang bergerak di bidang transportasi berkelanjutan, menjelaskan perbedaan pola bepergian perempuan dengan laki-laki.

“Perempuan adalah seorang multitasker dan seringkali menjadi caretaker. Di keluarga, misalnya. Mereka mesti memerhatikan anak, suami, bahkan orang tua. Itulah mengapa perempuan cenderung mempunyai rute perjalanan yang lebih sporadis daripada laki-laki. Mereka harus mengantar anak, pergi ke pasar, menjemput anak lagi, dan lain-lain,” jelas Fani.

Hasil penelitian The World Bank dalam “Preventing Violence Against Women in Transport Systems pun mengonfirmasi hal tersebut. Perempuan cenderung menempuh jarak yang lebih pendek, membawa banyak barang bawaan, dan dengan tujuan yang lebih beragam.

“Sayangnya, aksesibilitas stasiun atau halte seperti MRT, KRL, dan Transjakarta belum ramah terhadap perempuan dan penyandang disabilitas. Akses menuju halte Transjakarta, misalnya, banyak yang mesti melalui JPO yang tingkat kemiringannya lebih tinggi dari standar peraturan yang ada,” tutur Fani.

ITDP pernah mengukur kemiringan ramp JPO di Dukuh Atas, Karet, dan Bendungan Hilir. Hasilnya, ketiga JPO tersebut tidak sesuai dengan standar Peraturan Menteri Nomor 33/PRT/M/2014 yang menetapkan kemiringan maksimum ramp sebesar 8% bagi penyandang disabilitas.

Farah dan Meuthia sama-sama sepakat bahwa menggunakan transportasi umum memakan lebih banyak waktu dan seringkali masih mesti disambung dengan moda transportasi lain. “Naik transportasi umum terasa tidak worth it karena nggak ada yang langsung sampai dan menghabiskan waktu. Sementara itu, dibandingkan dengan ojek daring, harganya berbeda tipis,” ujar Farah.

Sebagai seseorang yang telah berusia 40 tahun, Meuthia juga merasa terlalu letih jika harus naik turun tangga halte Transjakarta yang tinggi setiap hari.

Hal ini juga diamini oleh Fani. “Sangat krusial bagi perempuan untuk bisa mengakses sistem transportasi yang seamless dan terintegrasi. Untuk pindah dari satu moda transportasi ke yang lain mudah. Nggak harus tap berkali-kali, naik-turun tangga, dan lain-lain. Bayangkan jika seorang ibu yang menggendong anak mesti mendaki tangga JPO,” tutur Fani.

Masalah Keamanan

Berbeda lagi ceritanya dengan Shafira, seorang staf manajemen proyek yang sehari-harinya mesti menempuh perjalanan sepanjang 27 km untuk pergi kerja di kawasan Sudirman dari rumahnya di Cibubur.

Ia biasanya menggunakan bus Angkutan Perbatasan Terintegrasi Busway (APTB) jurusan Blok M-Cileungsi. Sayangnya, bus ini hanya melayani penumpang hingga pukul 8 malam.

“Karena nggak ada kendaraan umum yang langsung sampai rumah di atas jam 8 malam, saya pun jadi tidak leluasa melakukan kegiatan lain selain pekerjaan. Di atas jam 8, opsi yang ada hanya bus Transjakarta yang tidak langsung sampai di dekat rumah, tetapi mesti disambung lagi dengan angkot. Sementara saya merasa tidak aman untuk naik angkot malam-malam,” ucap Shafira.

Mengingat banyaknya kasus pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum, wajar jika Shafira merasa tak aman. Menurut laporan Tirto, pada tahun 2018 terdapat 34 kasus pelecehan seksual yang terjadi di KRL. Itu pun diindikasi belum termasuk dengan kasus-kasus lain yang tidak dilaporkan oleh korban.

Survei yang dilakukan oleh LSM Hollaback! Jakarta, perEMPUan, Lentera Sintas Indonesia, Perkumpulan Lintas Feminis, dan Change.org Indonesia terhadap 62.000 orang warga Indonesia pada 2018 juga menunjukkan bahwa 19% kasus pelecehan seksual terjadi di transportasi umum.

“Ketika bapak-bapak ditanya tentang keluhan mereka terhadap masalah transportasi, banyak yang menjawab kemacetan dan meminta agar jalan diperlebar. Sementara itu, ibu-ibu akan mengeluh tentang kualitas angkot yang buruk, supir yang suka ugal-ugalan, takut tertabrak ketika berjalan kaki, hingga kekhawatiran terhadap anak mereka yang berangkat sekolah dengan berjalan kaki atau naik sepeda,” Fani memaparkan hasil riset yang dilakukan tim ITDP terhadap warga di beberapa kampung kota di DKI Jakarta.

Hasil riset ini termasuk dalam Program Kampung Kota Bersama yang bertujuan untuk membantu menata sejumlah kampung kota untuk lebih ramah terhadap pejalan kaki dan pesepeda.

Sementara itu, di pusat kota, permasalahan lainnya adalah visibilitas ruang publik dan transportasi umum itu sendiri. “Masih banyak JPO yang tertutup dengan reklame, sehingga situasi di dalam JPO tidak terlihat dari jalan raya. Karena itu, pengguna pun terancam keamanannya, seperti rawan untuk dilecehkan, bahkan diperkosa,” tutur Fani.

Hal tersebut terbukti benar. Pada November 2015, seorang karyawan perempuan pernah diperkosa di JPO Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Selain tertutupnya reklame, lampu penerangan di jalan pun masih terbatas. “Penerangan jalan di pusat kota Jakarta saja masih minim. Ketika kita berjalan malam-malam di sekitar fX Sudirman, misalnya. Lampu yang paling terang itu lampu di mal, bukan lampu di jalan. Lampu di depan Gelora Bung Karno pun lebih diperuntukkan sebagai estetika ketimbang penerangan. Padahal, bagi perempuan, sangat mengerikan untuk mesti berjalan sendirian di tempat yang gelap,” lanjut Fani.

Ia bersama ITDP pernah menyelenggarakan acara bertajuk Women & The City pada November 2018. Di sana, sejumlah perempuan dan penyandang disabilitas turut menguji coba akses trotoar di sepanjang jalan Sudirman-Thamrin. Hasilnya, kurangnya penerangan di trotoar dan halte masih menjadi perhatian bagi mereka.

Fani memaparkan bahwa akar dari permasalahan ini adalah porsi perempuan yang masih kecil di jajaran pemangku kepentingan dan pengambil keputusan.

“Akan sangat jarang menemukan perempuan yang berada di posisi tinggi dan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut berdampak pada masih belum banyaknya pembangunan dan perencanaan transportasi yang berfokus pada kebutuhan perempuan,” ujar Fani.

Padahal, sistem transportasi umum yang berpihak pada perempuan akan berpengaruh besar terhadap produktivitas perempuan. Penelitian bertajuk Gender in Public Transportation oleh SADAQA menunjukkan bahwa meningkatkan aksesibilitas dan penggunaan transportasi umum oleh perempuan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sosial sebuah negara secara keseluruhan.

Fani juga mendorong para pembuat kebijakan dan keputusan untuk turut menggunakan produk yang mereka desain dan kelola. Sistem transportasi di DKI Jakarta dan sekitarnya pun diharapkan lebih inklusif terhadap kelompok rentan. Tak hanya perempuan, tetapi juga anak, lansia, dan penyandang disabilitas.

“Kalau kita nggak mencoba sendiri, kita nggak akan tahu experience-nya seperti apa. Yang mendesain trotoar sudah seharusnya mencoba berjalan kaki, yang mendesain transportasi umum sudah saatnya menggunakan transportasi umum,” tegas Fani.

Share: Sudahkah Transportasi Umum di Jakarta Ramah Perempuan?