Isu Terkini

Sistem Zonasi Bermasalah, Menyusahkan Murid dan Walinya

Hafizh Mulia — Asumsi.co

featured image

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk sekolah-sekolah negeri kembali digelar. Peserta didik SMP yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, misalnya, sudah bisa mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah yang tersedia. Namun, alih-alih menggunakan sistem Nilai Ebtanas Murni (NEM) seperti biasanya, sistem yang digunakan kali ini adalah zonasi. NEM tidak lagi menjadi penentu utama dalam seleksi, melainkan kedekatan jarak antara rumah siswa tersebut dengan sekolah tujuan.

Aturan ini memicu perdebatan dalam masyarakat. Hilangnya meritokrasi membuat banyak orang tua murid merasa bahwa sistem baru ini tidak adil. Ibu Hilda, misalnya, yakin anaknya dapat diterima SMA Negeri 5 Tangerang jika menggunakan sistem NEM. Namun, karena menggunakan sistem zonasi, ia menjadi was-was. Rumahnya yang berjarak 1,6 km dari sekolah membuat peluangnya tidak terlalu besar. Menurut Hilda, jarak yang cukup aman bagi peserta didik yang mendaftarkan dirinya adalah 500 meter.

Selain sistem zonasi yang menghilangkan meritokrasi, kondisi di lapangan juga tidak kalah mengkhawatirkannya. Ia bercerita bahwa dirinya harus mengantre selama tujuh jam sebelum berkesempatan mendaftarkan diri di sekolah tersebut. Tidak digunakannya pendaftaran sistem daring membuat orang tua murid harus menunggu begitu lama.

“Waktu hari Senin, dari rumah kan setengah 7 pagi  ke sekolahan. Antre nomor, dapat nomor 54. Masuk ruangan jam setengah 2 siang,” ujar Hilda kepada Asumsi.co. Ia melanjutkan, “Masuk per 10 orang. Saat itu tes buta warna. Selesai jam 3. Nanti hari Senin balik lagi ke sana untuk tes akademiknya.”

Sebenarnya, Hilda tidak percaya dengan sistem ini. Menurutnya, sekolah akan merugi jika sistem ini diterapkan secara terus-menerus, sebab akan membuat siswa malas mengikuti ujian nasional.

“Makanya sistem zona enggak bagus sebenarnya. Tujuannya apa sih? Kalau misalnya sistem NEM, kalau NEM kecil kita tahu diri, oh, berarti gue nggak diterima di sekolah itu,” tuturnya.

Hal lain yang mengkhawatirkan Hilda adalah kesempatan anaknya bersekolah di sekolah negeri. Selama ini, sekolah negeri merupakan incaran masyarakat dari berbagai kalangan karena menjamin pendidikan yang berkualitas tanpa pungutan biaya sama sekali. Dengan sistem lama, seorang calon peserta didik dapat mendaftarkan diri di tiga sekolah sekaligus. Sedangkan saat ini, peserta didik hanya mendapatkan kesempatan satu sekolah saja. Jika ia tidak diterima di sekolah yang ia tuju, ia harus rela bersekolah di sekolah swasta.

Jika ada satu hal yang patut disyukuri, hal tersebut adalah damainya proses pendaftaran. Meski harus mengantre berjam-jam, Hilda tidak merasakan kerusuhan seperti yang ia lihat di televisi. Ia pun berharap pemerintah dapat mengembalikan sistem NEM yang selama ini sudah menjadi standar seleksi bagi peserta didik yang ingin melanjutkan ke sekolah-sekolah negeri.

Tidak Bisa Bersekolah di Sekolah Impian

Satu hal yang menyesakkan hati peserta didik adalah sistem jarak ini menghapus mimpi-mimpi peserta didik yang ingin bersekolah di sekolah impian. Selama ini, sistem NEM mengizinkan seorang anak untuk bersekolah jauh dari tempat tinggalnya selama nilai yang ia capai mencukupi. Hal ini mendorong anak tersebut untuk belajar lebih giat demi mencapai standar sekolah impiannya. Hilangnya dorongan ini jelas membuat banyak peserta didik kecewa. Salah satu peserta didik tersebut adalah Hana, yang tadinya berharap dapat bersekolah di SMA Negeri 1 Bekasi, namun terhalang jarak antara tempat tinggal dan sekolahnya.

“Iya, tadinya mau sekolah di sana, tapi karena sistem jarak aku jadi enggak mungkin bisa diterima di sana,” tutur Hana. Ia pun melanjutkan, “jadinya sekarang nyari sekolah yang lebih dekat aja, yang penting di sekolah negeri.”

Share: Sistem Zonasi Bermasalah, Menyusahkan Murid dan Walinya