General

Sistem Pemerintahan Indonesia di Era Jokowi, Sudahkah Baik?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Satu tema penting lainnya yang akan dibahas dalam Debat Keempat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 adalah soal pemerintahan. Baik calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo, maupun capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, tentu sudah menyiapkan strategi masing-masing terkait tema ini. Jokowi siap memamerkan prestasi, sementara Prabowo diprediksi bakal membeberkan kekurangan pemerintah.

Isu panas terbaru yang belakangan sedang ramai jadi perbincangan tentu soal jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan. Penangkapan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama, tentu bisa jadi sasaran empuk Prabowo. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati, apakah sebenarnya sistem pemerintahan di era Jokowi sudah baik?

Isu Jual Beli Jabatan Bakal Disorot

KPK baru-baru ini berhasil mengungkap praktik jual beli jabatan di lingkungan Kemenag. Kasus itu pun banyak jadi sorotan. Wakil Ketua Komite I DPD RI yang membidangi persoalan pemerintahan dalam negeri, Fahira Idris, mengungkapkan bahwa praktek tersebut menguatkan sinyalemen bahwa sistem rekruitmen pejabat baik di pusat maupun di daerah belum sepenuhnya bersandar kepada integritas, profesionalitas, dan prestasi pegawai. Masih ada celah bagi tindakan korupsi.

Meski berbagai pembenahan sistem rekruitmen aparatur sipil negara (ASN) terutama pengisian jabatan pimpinan tinggi sudah diterapkan, tetapi ternyata masih ada saja oknum yang mencoba merusak sistem dengan menjadikan uang sebagai syarat pengisian jabatan.

“Praktik jual beli jabatan menjadi halangan terbesar untuk reformasi birokrasi, karena daya rasaknya begitu besar mengobrak-abrik sistem yang selama bertahun-tahun sudah dibangun,” kata Fahira dalam siaran persnya di Jakarta, Kamis, 21 Maret 2019.

Lebih jauh, Fahira menjelaskan bahwa ASN yang mendapatkan jabatan karena membayar atau membeli, maka orientasi utamanya saat memimpin sebuah instansi adalah bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkannya. Sehingga kemudian ia tidak akan fokus berpikir bagaimana melayani rakyat dengan baik dan profesional.

Baca Juga: Kinerja Pemerintahan Jokowi di Bidang Pendidikan, Bagaimana Janji dan Capaiannya?

Menurut Fahira, muara dari reformasi birokrasi adalah terciptanya pelayanan publik yang prima. Semua itu, lanjut Fahira, bisa tercipta jika dijalankan oleh ASN yang profesional dan berintegritas, terutama ASN yang menduduki posisi strategis baik di daerah maupun di kementerian/lembaga.

“Jika mencermati kondisi saat ini, sepertinya praktik jual beli jabatan sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan,” ucapnya.

“Jual beli jabatan ini jadi ‘duri’ reformasi birokrasi dan sesegera mungkin harus dicabut agar jalannya birokrasi melayani rakyat tidak terganggu. Ini juga jadi PR besar bagi para kandidat capres/cawapres sebagai salah satu fokus program pemerintahan ke depan,” ujarnya.

Kasus jual beli jabatan akan menjadi ujian untuk Jokowi seandainya Prabowo akan membahas hal tersebut dalam Debat Keempat Pilpres 2019 nanti.

Pengamat: Pemerintahan Jokowi Sudah Cukup Baik

Direktur Paramater Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan kepada Asumsi.co bahwa korupsi memang jadi sebuah kasus serius yang tengah dihadapi pemerintahan Jokowi saat ini. Di satu sisi, lanjut Adi, pemerintahan Jokowi justru mengalami kemajuan lantaran menteri-menterinya tak banyak yang terlibat korupsi. Di sisi lain, ada oknum yang masih ‘nakal’ menjalankan praktik haram tersebut.

“Di level nasional, kalau dilihat persentasenya, belum terlihat banyak menteri di lingkaran Istana Negara yang terjerat kasus korupsi, paling hanya Idrus Marham. Beda dengan periode sebelumnya yang hampir setiap waktu menteri-menterinya yang harus berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata Adi saat berbincang dengan Asumsi.co, Rabu, 27 Maret 2019.

Adi pun menilai sebenarnya secara keseluruhan sistem pemerintahan di era Jokowi ini sudah berjalan cukup baik. Hanya saja korupsi memang menjadi masalah yang sudah sangat berakar dalam sistem politik di Indonesia. Selalu ada saja segelintir oknum yang bertindak ‘nakal’. Padahal, lanjut Adi, sudah terjadi pengurangan tindakan korupsi di lingkaran eksekutif jika dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

“Itu artinya sistem pemerintahan kita sudah berjalan dengan baik. Meski dalam waktu yang bersamaan juga, sekalipun insfrastruktur pemerintahan kita ini sudah membaik, sudah tidak ada jalur panjang tentang birokrasi, tapi tetap saja korupsi politik itu terjadi pada level elit,” ujarnya.

Menurut Adi, maraknya kepala daerah, anggota DPR dan pimpinan parpol yang terjebak kasus korupsi justru menjadi ironi dari kemajuan sistem pemerintahan yang sudah terjadi di era Jokowi. Di tengah upaya memerangi korupsi, di tengah upaya mereformasi birokrasi untuk mengamputasi kasus-kasus penyimpangan, justru ada segelintir elit yang tidak mengedepankan budaya politik yang sehat.

Baca Juga: “Coattail Effect”: Buntutin Ketenaran Jokowi-Prabowo Demi Raih Suara di Pemilu 2019

“Dalam banyak hal, sistem pemerintahan kita sudah baik, clean and good government. Pertama, sudah banyak muncul pemimpin-pemimpin kepala daerah yang lahir dari proses demokrasi secara langsung dan memiliki prestasi yang cukup bagus,” ucap Adi yang juga Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menurut Adi, adanya sosok-sosok kepala daerah yang terpilih secara demokratis seperti Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), hingga Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), merupakan bagian dari sistem pemerintahan era Jokowi yang berimplikasi positif terhadap rekrutmen elit di level daerah.

“Kalau sistemnya, infrastrukturnya secara umum sudah berjalan dengan baik, lihat saja KPK sudah bekerja dengan baik, polisi bekerja dengan baik. Tapi elit-elit politiknya ini masih tidak jelas, mereka tetap saja melakukan pelanggaran politik.”

Adi pun memberikan saran bahwa yang paling penting untuk dibenahi saat ini adalah budaya politik para elitnya. Hal itu agar para politisi-politisi dan pemangku kepentingan tidak terjebak pada perilaku-perilaku korup.

“Artinya kalau dilihat trennya di lingkungan Istana Negara, yang melakukan korupsi itu sedikit, tidak seperti pada periode sebelumnya. Jadi cenderung membaik. Artinya kalau ukurannya korupsi, orang-orang yang melakukan korupsi di level Istana atau eksekutif itu sedikit lah. Beda dengan zaman SBY, di mana menterinya banyak sekali yang ditangkap.”

Share: Sistem Pemerintahan Indonesia di Era Jokowi, Sudahkah Baik?