Budaya Pop

Menyorot Sistem Bahasa dan Kritik Kuasa Seniman Tiongkok Xu Bing

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Sebuah instalasi seni berukuran 11 meter itu sekilas terlihat seperti kulit harimau raksasa. Loreng-loreng putih dan coklat kekuningan jadi dua warna dasar instalasi tersebut.

Honor and Splendor karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

Namun, jika kita menghampiri lebih dekat dan memperhatikan detailnya, kita akan sadar bahwa instalasi tersebut disusun dari batang-batang rokok. Sisi rokok yang berwarna coklat dipadu dengan sisi lainnya yang berwarna putih hingga sedemikian rupa membentuk rupa kulit harimau.

Honor and Splendor karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

Instalasi yang bernama Honor and Splendor itu adalah karya Xu Bing, seorang seniman kontemporer asal Tiongkok. Instalasi tersebut merupakan bagian dari pameran seni retrospektif “Thought and Method” yang akan diselenggarakan oleh Museum Macan selama 31 Agustus – 12 Januari 2020.

Xu Bing adalah salah satu perupa Tiongkok kontemporer yang paling berpengaruh di panggung seni rupa internasional. Lahir pada 1955, Xu Bing mengalami Revolusi Kebudayaan di masa kecilnya dan menyalurkan pengalaman tersebut lewat karyanya.

Hingga kini, karya-karyanya banyak dipengaruhi oleh situasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi sekitarnya, dan bagaimana aspek-aspek tersebut mempengaruhi kehidupannya secara personal.

Honor and Splendor sendiri adalah upayanya untuk merespons perkembangan industri rokok beserta dampaknya hingga kini. Dibuat selama 2001 sampai 2004 di Amerika Serikat, Xu Bing punya perhatian khusus pada negara bagian Carolina Utara. Daerah ini menjadi salah satu tempat produksi tembakau terbesar di Amerika Serikat, tetapi pada saat yang sama juga menjadi salah satu pusat penelitian penyakit kanker.

Disusun dari 660.000 merek rokok kelas premium, Xu Bing hendak memperlihatkan keterkaitan yang erat antara manusia dan tembakau beserta persoalannya. Harimau yang berada pada posisi tertinggi rantai makanan dianalogikan dengan posisi manusia kini yang memegang kuasa terhadap sumber daya alam di dunia.

Kendala Bahasa

“Karya Xu Bing membuat kita mempertanyakan bagaimana manusia berkomunikasi dengan sesama. Bahasa berpengaruh terhadap bagaimana manusia melihat dunia, dan bagaimana bahasa menjadi alat untuk mengontrol dunia,” Aaron Seeto, direktur Museum Macan, mengemukakan pendapatnya tentang karya Xu Bing.

Karya-karya seni Xu Bing lekat membahas permasalahan bahasa. Ia membuat Book from the Sky (1987-1991), instalasi yang terdiri dari ribuan karakter aksara Tionghoa. Setiap karakter dirancang dalam jenis huruf yang distandarisasi oleh perajin di masa dinasti Ming (1368-1644). Namun, jika dilihat lebih dekat, karakter-karakter aksara tersebut tak punya arti apa pun.

Book from The Sky karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

Ada pula instalasi berjudul Square Word Calligraphy (1994-2019). Di sini, Xu Bing membuat sistem bahasa sendiri. Karakter-karakter aksara Tionghoa disusun sedemikian rupa, tetapi yang terbaca justru adalah kata-kata dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Jika pada Book from The Sky tak ada kata-kata yang memiliki arti, semua karakter dalam Square World Calligraphy bisa dibaca.

Square Word Calligraphy karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

Perkawinan tatanan bahasa Tionghoa dan bahasa Inggris ini dipengaruhi oleh pengalamannya pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1990. “Saya pernah mengalami kendala bahasa ketika tinggal di Amerika Serikat,” cerita Xu Bing yang karya seninya saat itu dianggap mengkritik pemerintahan.

Selama Revolusi Kebudayaan, pemerintah Tiongkok juga menjadikan bahasa sebagai alat politik. Bahasa Tionghoa disederhanakan, karakter-karakter dan tanda baca dihilangkan dengan tujuan mengurangi angka buta huruf di Tiongkok.

Akhirnya, perubahan-perubahan ini berdampak besar terhadap dirinya. “Tanpa pengalaman tersebut, saya tak akan pernah punya pikiran untuk melahirkan karya-karya terkait bahasa,” lanjut Xu Bing.

Xu Bing juga membuat instalasi Book from The Ground Studio (2003-2019). Ia melihat perkembangan penggunaan simbol emoji di era kontemporer. Emoji memudahkan orang-orang dari berbagai latar negara dan bahasa memahami satu sama lain.

Book from The Ground Studio karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

“Dalam Book from The Ground, Xu Bing ingin membuat sistem bahasa yang bisa dipahami oleh semua orang. Ia menyadari bahwa yang menyatukan bahasa saat ini adalah simbol dan emoji. Maka ia membuat satu cerita utuh menggunakan emoji-emoji tersebut,” jelas Asep Topan, Ketua Kuratorial dan Koleksi Museum Macan.

Merespons dengan Seni

“Ada pepatah di Tiongkok yang mengatakan, ‘seni ada untuk rakyat’. Saya menggunakan karya seni untuk menyebarkan pengetahuan yang saya miliki,” tutur Xu Bing yang pernah menjadi seorang profesor di Central Academy of Fine Arts (CAFA), Beijing.

Ia juga berpendapat bahwa karya seni ada untuk merespons permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar pembuatnya.

“Inspirasi dan kreativitas seorang seniman datang dari situasi masyarakat di sekitarnya. Kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar ia ekspresikan melalui karya seni,” ujar Xu Bing.

Batasan, larangan, atau kekerasan terhadap seniman di negaranya tak membuatnya surut dalam berkreasi. Berdasarkan dokumen yang rilis pada 1980, lebih dari 2.600 orang dari kalangan seni dan literatur dipersekusi oleh Menteri Kebudayaan selama masa Revolusi Kebudayaan.

“Banyak perubahan sosial yang sifatnya problematis dan berdampak pada seniman-seniman di Tiongkok. Namun, walaupun bangsa ini telah mengalami banyak trauma, ada pengalaman-pengalaman spesial yang didapat pula dari sana,” kata Xu Bing.

Kepedulian dan respons Xu Bing terhadap lingkungan sekitar terlihat, misalnya, pada film dokumenter pertamanya, Dragonfly Eyes (2017). Cerita dari film ini disusun dari rekaman kamera-kamera pengawas yang sebagian besar ia kumpulkan di Tiongkok.

Dragonfly Eyes karya Xu Bing (Foto: Permata Adinda)

Pemerintah Tiongkok melakukan pengawasan massal penduduknya melalui internet dan dengan memasang lebih dari 200 juta kamera pengintai di Tiongkok. Pemerintah Tiongkok pun menggunakan teknologi pengenalan wajah dan sistem kredit sosial untuk menganalisis dan mengukur perilaku sosial masing-masing individu.

Dampaknya, orang-orang dengan nilai yang rendah akan sulit untuk membeli barang, bepergian, bahkan check-in di hotel dan makan di restoran.

Xu Bing khawatir sistem pengawasan ini membuat batas antara ruang privat dan publik menjadi kabur. “Kamera pengintai membuat kita tak punya ruang-ruang pribadi lagi. Tak hanya di Tiongkok, masalah ini juga terjadi hampir di seluruh dunia. Hubungan manusia dengan teknologi menjadi sebuah masalah global,” ujar Xu Bing.

Walaupun membuat karya berdasarkan isu-isu yang dekat dengan dirinya, Xu Bing selalu berupaya untuk membuat karya-karya seninya relevan bagi dunia. “Penting untuk bisa menarik benang merah yang universal dari isu-isu yang bersifat lokal ini,” tuturnya.

Share: Menyorot Sistem Bahasa dan Kritik Kuasa Seniman Tiongkok Xu Bing