Isu Terkini

Rumah Sakit Terancam Kolaps, Cukupkah Hanya PSBB di DKI Jakarta?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Tanpa kebijakan “rem darurat”, tempat tidur isolasi akan terisi penuh hanya dalam tujuh hari ke depan (hingga 17/9). Hal itu disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ketika mengumumkan akan menetapkan kembali PSBB mulai Senin depan (14/9).

Hingga saat ini (9/9), 4.053 tempat tidur isolasi di 63 rumah sakit di DKI Jakarta memiliki persentase keterpakaian 77%. Sementara itu, dari 528 tempat tidur ICU yang tersedia, 83% di antaranya terpakai. Anies juga mengungkapkan bahwa tempat tidur ICU diperkirakan akan terpakai sepenuhnya pada 15 September mendatang jika tren angka kenaikan kasus masih terus sama.

Jika mengacu pada data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, hanya 8 tempat tidur ICU yang masih tersedia di seluruh RSUD DKI Jakarta (hingga 10/9)—dengan 6 terletak di Jakarta Selatan dan 2 terletak di Jakarta Timur. Artinya, tidak ada tempat tidur ICU tersisa di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, maupun Kepulauan Seribu. Jika jumlah tempat tidur ICU ditambahkan dengan jumlah kamar tidur NICU, PICU, HCU, dan ICCU yang tersisa, maka totalnya terdapat 98 tempat tidur yang masih tersedia di DKI Jakarta.

“Saat ini kondisi darurat. Lebih darurat daripada awal wabah dahulu,” ujar Anies dalam konferensi pers yang disiarkan di Youtube Pemprov DKI Jakarta (9/9).

Dalam pemaparan daring bertajuk “Proyesi RS Kolaps di Jakarta” yang diselenggarakan oleh Lapor COVID-19, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta ikut menyatakan bahwa kapasitas tempat tidur untuk pasien COVID-19 akan ditingkatkan menjadi 5.500 dalam jangka waktu satu bulan ini. Rinciannya, tempat tidur isolasi akan bertambah menjadi 4.807 dan tempat tidur ICU menjadi 636.

Kepala Dinas Kesehatan Widyastuti mengatakan bahwa peningkatan kapasitas ini tidak akan berpengaruh banyak jika laju kenaikan kasus positif masih berjalan seperti sekarang. Kapasitas ruang tempat tidur isolasi akan tetap penuh pada pekan kedua Oktober dan kapasitas tempat tidur ICU akan penuh 25 September mendatang.

“Memang benar kalau tanpa intervensi apa-apa nggak cukup. Perlu suatu intervensi yang masif yang bisa membatasi pergerakan orang,” ujar Widyastuti (9/9).

Proyeksi ini juga didukung oleh hasil pemodelan yang dilakukan oleh Social Resilience Lab Nanyang Technology University Singapura berdasarkan data jumlah tempat tidur ICU, bed occupancy rate, dan kasus COVID-19 di DKI Jakarta. Walaupun kapasitas tempat tidur telah dinaikkan, kenaikan jumlah kasus yang tidak ditekan akan membuat kapasitas tempat tidur ICU di DKI Jakarta akan penuh pada 22 September mendatang—tidak jauh berbeda dengan hasil proyeksi dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.

Ketika pasien COVID-19 tidak lagi bisa ditangani dokter, para peneliti di NTU ini memperingatkan bahwa tingkat kematian atau case fatality rate juga akan meningkat pesat, yaitu dari 2,8% (saat ini) bisa menjadi 22%. Angka ini mengacu pada angka kematian di Jerman di saat awal pandemi, ketika kapasitas tempat tidur yang tidak mencukupi membuat dokter di sana gagal menangani pasien. Akibatnya, angka kematian pun diprediksi bisa mencapai 3.000 pada akhir Oktober.

“Kalau jumlah yang dirawat naik terus, kita proyeksikan jumlah kematian bisa meningkat tiga kali lipat dari sekarang. Pada 30 oktober, akan terjadi sekitar 3000 kematian. Itu hanya total confirmed case, belum termasuk suspect dan probable,” ujar Fredy Tantri selaku peneliti NTU (9/9).

Sulfikar Amin selaku peneliti NTU juga menyatakan bahwa total kematian 3.000 orang ini hanya dapat dicegah jika PSBB diberlakukan secara lebih ketat. Ia juga memperingatkan bahwa situasi saat ini sudah sangat genting. “Ini salah satu rekomendasi yang kita usulkan, paling tidak ke Pemprov DKI untuk dilakukan segera. Semakin lamban kita bergerak, semakin sulit untuk mengalahkan pandemi, semakin banyak korban yang akan berjatuhan.”

Apakah PSBB di DKI Jakarta Cukup?

Dari seluruh pasien COVID-19 yang ada di DKI Jakarta, 30% di antaranya berasal dari luar kota, mulai dari Bodetabek hingga kota-kota lainnya. Tak sedikit pula kasus positif COVID-19 yang disebabkan oleh orang-orang yang pergi dinas keluar kota. “Ada beberapa institusi yang sudah melakukan tugas ke luar provinsi, dan ketika balik ke DKI Jakarta positif. Jadi dari Jakarta bisa membawa virus keluar, dan yang tugas keluar bisa membawa virus ke dalam kota,” tutur Widyastuti.

Untuk itu, penerapan kembali PSBB diharapkan tidak hanya dilakukan di DKI Jakarta, tetapi juga di wilayah Bodetabek dan kota-kota lainnya. Widyastuti mengharapkan agar pemerintah pusat dapat mensinergikan daerah-daerah lain. “Perlu lebih tegas dari pihak tim pusat bagaimana juga mengatur Jakarta dan sekitarnya. Warga di DKI Jakarta pun mungkin harusnya tidak boleh bekerja keluar kota. Karena saling menularkan tadi. Ini harus menjadi pekerjaan bersama.”

Kapasitas tempat tidur untuk pasien COVID-19 memang akan ditingkatkan, termasuk pula penambahan kapasitas tempat tidur di Wisma Atlet Kemayoran. Dalam waktu dekat, akan ada penambahan 1.500 tempat tidur di Wisma Atlet yang khusus dipersiapkan untuk kasus positif COVID-19 tanpa gejala, gejala ringan, dan sedang. Hal ini dilakukan demi mengurai kepadatan pasien di rumah sakit.

“Jadi yang mendapatkan perawatan di rumah sakit betul-betul memang yang gejalanya berat,” ujar Widyastuti.

Namun, penambahan itu tidak bisa terus dilakukan lantaran sumber daya tenaga kesehatan pun semakin terbatas saat ini. DKI Jakarta sedang merekrut tenaga kesehatan baru, dan mereka didatangkan dari luar DKI Jakarta, seperti dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, hingga Papua. Dengan total tenaga kesehatan yang lolos seleksi sebesar 1.170 orang, baru sekitar 600-an yang sudah dalam proses registrasi dan siap datang. Tenaga-tenaga kesehatan ini terdiri dari dokter spesialis paru, anestesi, penyakit dalam, dokter umum, perawat, dan lain-lain.

“Pertanyaannya, akan sampai kapan? Penguatan ini memang harus diiringi dengan intervensi yang lebih masif untuk menghentikan pergerakan orang. Jadi tidak semudah hanya menambahkan tempat tidur. Menyiapkan SDM-nya ternyata lebih sulit.”

Epidemiolog Dicky Budiman ikut mengatakan bahwa PSBB akan lebih optimal jika dilakukan secara serentak di daerah-daerah penyangga DKI Jakarta pula. Jika daerah lain belum dapat menerapkan PSBB, perlu ada screening ketat bagi orang yang akan masuk ke Jakarta. “Jika tidak, maka akan sulit. Pemulihan atau dampak PSBB tidak akan bertahan lama,” ungkap Dicky kepada Kompas.com.

Penerapan PSBB juga mesti dibarengi dengan ditambahnya kapasitas tes, pelacakan, dan karantina. Capaian angka positif atau positivity rate juga mesti ditargetkan turun menjadi di bawah 5%. “Testing mesti terus dilakukan. Bukannya justru menurun, vakum, atau berhenti. Ini yang harus ditingkatkan, termasuk isolasi dan karantina.”

Share: Rumah Sakit Terancam Kolaps, Cukupkah Hanya PSBB di DKI Jakarta?