Isu Terkini

RKUHP Tidak Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Masih ingat kasus seorang perempuan asal Jambi yang diperkosa oleh kakaknya sendiri? Pada Kamis 19 Juli 2018, si perempuan yang berusia 15 tahun itu dihukum enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum karena menggugurkan kandungannya yang berusia 5 bulan.

Perempuan tersebut baru terbebas dari hukuman penjara setelah kasusnya dibawa ke Pengadilan Tinggi Jambi dan Mahkamah Agung.

Hukum Indonesia terkait hak perempuan terhadap organ reproduksinya memang belum sempurna. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 61 Tahun 2014 hanya membolehkan perempuan korban perkosaan melakukan aborsi jika usia kandungan kurang dari enam minggu atau 40 hari.

Bukannya mengalami kemajuan, Rancangan Undang-Undang KUHP yang rencananya akan disahkan pada 14 September 2019 ini malah berpotensi untuk mengkriminalisasi pelaku aborsi tanpa mengecualikan korban perkosaan dan kondisi darurat medis.

Pasal 470 dan 471 RKUHP tentang Pengguguran Kandungan menyatakan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya dapat dipenjara hingga 4 tahun.

Dokter, bidan, paramedis, dan apoteker juga dapat dipidana dan dicabut status kerjanya jika terbukti membantu melakukan pengguguran kandungan.

Tak adanya pengecualian terhadap korban perkosaan dan kondisi darurat medis ini dikhawatirkan akan semakin menimbulkan dampak negatif. Perempuan beralih mencari tempat aborsi ilegal yang keamanannya tidak terjamin. Angka Kematian Ibu (AKI) dan pernikahan di bawah umur pun jadi dapat meningkat.

Batas Usia Kandungan dan Akses Aborsi yang Mudah

Imam Nahe’i selaku Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa RKUHP seharusnya lebih fokus membuat pasal yang mencegah korban perkosaan dikriminalisasi. Salah satunya dengan menaikkan batas usia kehamilan yang diperbolehkan untuk melakukan aborsi.

“Umumnya, ketika usia kandungan mencapai 40 hari, perempuan belum menyadari kehamilannya,” kata Imam Nahe’i kepada Asumsi (3/9/2019). Usia kehamilan dihitung sejak hari pertama haid terakhir (HPHT).

Sementara itu, walaupun siklus menstruasi yang normal adalah selama 21-35 hari, sangat umum bagi perempuan untuk mengalami keterlambatan. Tak hanya kehamilan, hal-hal seperti tingkat stres, pola makan, dan penyakit juga bisa memicu menstruasi untuk datang terlambat.

“Komnas Perempuan dan elemen masyarakat mendorong untuk menaikkan usia dibolehkannya menggugurkan kandungan—yaitu menjadi 8-12 minggu. Menurut catatan medis, masih aman bagi perempuan untuk menggugurkan kandungan pada rentang usia tersebut,” lanjut Nahe’i.

Sebagaimana pernyataan Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi kepada BBC, peraturan tentang batas waktu dibolehkannya perempuan menggugurkan kandungannya didasarkan pada konteks agama Islam. “Di dalam konteks Islam ketika itu sudah 40 hari itu tidak boleh digugurkan lagi,” kata Taufiqulhadi.

Namun, menurut Nahe’i, aturan tentang aborsi dalam hukum Islam terdiri dari banyak pandangan. “Memang ada pandangan yang menyatakan bahwa batasnya adalah 40 hari. Tetapi ada pula yang berpandangan batasnya adalah 120 hari atau sekitar 16 minggu. Komnas Perempuan mencari jalan tengah, yaitu 8-12 minggu. Ini baik menurut hukum Islam maupun medis,” jelas Nahe’i.

Alih-alih melarang semua perempuan untuk melakukan aborsi, RKUHP juga seharusnya lebih fokus menjamin kemudahan korban kekerasan seksual dan darurat medis mengakses layanan aborsi. Sebab, dalam implementasinya kini, korban kekerasan seksual mesti melalui serangkaian birokrasi yang rumit untuk bisa mengakses haknya tersebut.

Gea, seorang penyintas kekerasan seksual, menceritakan pengalamannya dihakimi oleh dokter ketika hendak memeriksakan organ reproduksinya. “Aku pergi ke dokter karena menstruasiku sudah telat. Tapi, dokternya malah men-judge aku dan bertanya, ‘kok bisa sih?’ Sampai sekarang, aku jadi trauma. Mencari bantuan psikolog pun jadi tidak berani,” cerita Gea kepada Asumsi.

Nahe’i ikut menyayangkan RKUHP yang belum mengakomodasi hal tersebut. “Ketika undang-undang memperbolehkan penghentian kehamilan, maka seharusnya akses dan birokrasinya pun dimudahkan. Perlu ada perubahan hukum dan penyebaran informasi kepada dokter dan bidan bahwa mereka dijamin tidak akan dipidana,” sebut Nahe’i.

Ia dan Komnas Perempuan juga akan berupaya untuk memudahkan korban-korban kekerasan seksual mengakses layanan aborsi. “Rumah-rumah sakit tertentu seharusnya dipersiapkan untuk bisa melayani penghentian kehamilan,” lanjutnya.

Polemik Pasal Pidana Pelaku Perkosaan

Dalam RKUHP, terdapat perluasan definisi perkosaan dan tindakan cabul. Pasal 480 ayat (2) mendefinisikan tindak pidana perkosaan sebagai orang yang melakukan persetubuhan tanpa persetujuan, dengan anak di bawah umur, dan ketika orang tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Pasal 480 ayat (3) juga menganggap memasukkan alat kelamin, bagian tubuh, atau benda lain ke dalam anus atau mulut orang lain tanpa persetujuannya sebagai tindakan perkosaan.

Walaupun perluasan makna perkosaan ini adalah hal yang baik, tetapi Komnas Perempuan menyarankan pasal-pasal tersebut untuk masuk ke dalam RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual). “RKUHP seharusnya cukup membuat bridging statement yang menyatakan terdapat pasal yang mengatur perkosaan. Agak lucu jika RUU PKS tidak mengatur tentang perkosaan, padahal hal ini termasuk dalam kekerasan seksual kelas tinggi,” ujar Nahe’i.

Pasal pidana pelaku perkosaan pada RKUHP juga masih berfokus untuk menghukum pelaku, bukan pemulihan korban. “Tidak ada upaya penanganan korban dalam RKUHP. Padahal, untuk kasus-kasus kekerasan seksual, penting untuk berfokus pada penanganan korban. Sebab trauma yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual bersifat berkepanjangan, berbeda dengan korban-korban kejahatan lain,” ucap Nahe’i.

Proses restitusi dan rehabilitasi korban kekerasan seksual ini telah diatur dalam RUU PKS. Sayangnya, pembahasan tentang RUU PKS mangkrak hingga kini. Tirto mengabarkan pembahasan RUU PKS di DPR hanya dihadiri oleh tiga orang pada 26 Agustus 2019.

“RUU PKS seharusnya disahkan sebelum RKUHP. Sehingga, pernyataan-pernyataan yang ada di RUU PKS dapat diturunkan ke RKUHP. Ini harapan yang didasarkan pada kebutuhan korban,” ujar Nahe’i.

Komnas Perempuan mengharapkan tidak terjadi pertentangan antara peraturan yang terdapat pada RUU PKS dan RKUHP. Imam Nahe’i juga mengharapkan RKUHP tidak disahkan terburu-buru.

“Idealnya, Komnas Perempuan dan teman-teman LBH menghendaki pengesahan RKUHP diundur. Banyak persoalan di peraturan tersebut yang masih perlu dibicarakan ulang,” tegas Nahe’i.

Share: RKUHP Tidak Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual