Isu Terkini

Resesi dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi

Pringadi Abdi Surya — Asumsi.co

featured image

Pemerintah Jerman baru saja mengumumkan bahwa negeri mereka dilanda resesi. Krisis ekonomi akibat pandemi COVID-19 disebut-sebut berpotensi menjadi yang terbesar dalam sejarah, setelah Great Depression 1930 dan krisis akibat Perang Dunia II. Satu per satu negara di dunia mengumumkan resesi. Singapura, Hong Kong, dan Korea Selatan telah lebih dulu dibandingkan Jerman.

Menilik ke belakang, krisis juga memiliki sisi lain berupa pembelajaran. Perubahan cara pandang dalam perekonomian pun terjadi saat Great Depression usai. Yang bertahan hingga kini ialah cara pandang penganggaran defisit, bahwa belanja fiskal yang dilakukan pemerintah dapat menggerakkan roda perekonomian. Ketimbang bertahan pada penganggaran berimbang, penganggaran defisit, dengan mengedepankan pemenuhan kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan bernegara, social welfare, lebih membuat ekonomi suatu negara bertumbuh. Meski kita tahu, ongkos yang harus dibayar untuk itu adalah melakukan pembiayaan yang hampir seluruhnya berupa utang.

Nah, resep kebijakan ekspansif ala Keynes itu pula yang menjadi acuan pemerintah saat ini. Pelebaran defisit APBN dilakukan menembus batas 3% yang dalam keadaan normal diperbolehkan oleh undang-undang. Rasio defisit anggaran tersebut telah berubah dua kali dari semula direncanakan 1,76% (Rp307,2 T) menjadi 5,07% (Rp852,9 T) lewat Perpres No. 54 Tahun 2020, dan kini menjadi 6,34% (Rp1039,2%) lewat Perpres No. 72 Tahun 2020. Strategi pembiayaan ini tetap dilakukan dengan kehati-hatian untuk menutupi kebutuhan defisit dalam rangka program Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).

Belanja fiskal yang ekspansif itu bukan tanpa kritik. Banyak studi yang mempelajari resep apa sebenarnya yang bisa membuat dunia keluar dari Great Depression. Christina Romer, profesor ekonomi asal Berkeley, mengatakan bahwa kebijakan fiskal nyaris sama sekali tidak membuat perubahan pada pemulihan ekonomi sebelum 1942.

Resesi terjadi karena pertumbuhan ekonomi terkontraksi. Yang perlu diingat, pertumbuhan ekonomi hanyalah salah satu dari indikator kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang baik belum tentu menunjukkan masyarakat sejahtera. Sebagai fakta, kita lihat pertumbuhan ekonomi saat Orde Baru dalam Pelita II selalu positif dengan rata-rata 7%, sebuah angka yang menjadi harapan Presiden Joko Widodo.

Keyakinan terhadap “pertumbuhan ekonomi” tersebut menuai banyak kritik. Utamanya, pertumbuhan ekonomi dianggap tidak mewakili rakyat secara keseluruhan. Tak semua manfaat pertumbuhan ekonomi terdistribusi secara merata. Pertumbuhan GDP riil sering kali disertai dengan melebarnya selisih pendapatan dan ketidakadilan dalam kesejahteraan di masyarakat,  dicerminkan dengan bertambahnya kemiskinan (baik rakyat miskin maupun hampir miskin).

Masalah selanjutnya, di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi terkendala pada dua struktur ekonomi yang terbangun: antara perkotaan dan perdesaan. Ekonomi perkotaan didasarkan  pada modernisasi manufaktur dan jasa, dan perdesaan yang didominasi oleh  cara-cara tradisional. Pemisahan ini, selain dua struktur tadi, juga berefek pada runtuhnya struktur yang lebih lemah. Indonesia, meski sudah disebut sebagai negara maju oleh Trump, nyata memiliki struktur perekonomian negara berkembang ini.

Pertumbuhan ekonomi para praktiknya juga tidak mengenal efisiensi. Untuk  mendapat angka pertumbuhan ekonomi yang bagus, sebuah negara harus terus membangun.

Oleh karena itu, Paul Romer yang pernah menjabat Kepala Bank Dunia, dalam tulisan berjudul “The Trouble with Macroeconomics”, mengatakan sejak tahun 1960-an sebenarnya makroekonomi hanyalah pseudosains karena ia anggap telah gagal mengidentifikasi masalah sesungguhnya. Kredibilitas asumsi-asumsi yang digunakan dalam membuat model makroekonomi itu dipertanyakan. Ia tidak melihat dampak nyata dari kebijakan fiskal maupun moneter di lapangan.

Keresahan soal pertumbuhan ekonomi ini kini menghinggapi Sri Mulyani. APBN saja tidak akan mampu lagi menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Sektor swasta dan korporasi diharapkan bangkit agar perekonomian kembali tumbuh, plus dari merekalah pendapatan pajak terbanyak itu berasal.

Namun, yang perlu diingat, dalam studi tentang pembelajaran Great Depression itu, kebijakan fiskal yang diambil pemerintah sebenarnya hanyalah mencoba melapangkan jalan agar perekonomian tumbuh secara alamiah. Belanja pemerintah nyatanya tidak akan mampu menjadi motor pemulihan pertumbuhan ekonomi. Setelah jalan itu tampak, ekspektasi masyarakat akan berubah dengan sendirinya.

Hanya, ekspektasi itu tidak bisa dilepaskan dari kejadian nyata yang menjadi penyebab. Di masa lalu, masyarakat dunia melihat tanda berakhirnya perang dunia. Di masa kini, negara juga harus membuat masyarakat melihat bahwa negara mereka mampu menghadapi pandemi COVID-19. Dalam hal ini, tampaknya kita harus mengelus dada lebih lama lagi.

Selanjutnya, dalam kaitan bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya indikator kesejahteraan masyarakat, ini juga kesempatan bagi kita untuk menemukan cara berekonomi yang baru. Cara berekonomi itu tidak terbatas pada bagaimana aktivitas perekonomian beradaptasi menuju kelaziman baru, melainkan bagaimana cara negara memandang kesejahteraan masyarakat dari sisi perekonomian.

Dan barangkali, Indonesia tidak perlu mencari ke mana-mana. Kita hanya perlu memeriksa kembali isi kepala para pendiri bangsa seperti Hatta dalam Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan sebuah jalan lain, bukan jalan tengah. Jalan lain itulah yang akan menuntun kita pada proses humanisasi, memanusiakan manusia, bahwa yang dibangun adalah rakyat, bahwa pembangunan ekonomi adalah pendukung pembangunan rakyat.

Pringadi Abdi Surya adalah penulis dan analis kebijakan publik.

Share: Resesi dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi