General

Refleksi 20 Tahun Reformasi Kita

Usman Hamid — Asumsi.co

featured image

Meski berbeda, perjuangan hak asasi manusia di Indonesia diasumsikan sama dengan perjuangan demokrasi yang melahirkan Reformasi 1998. Memasuki tahun 2018, demokrasi kita benar-benar mengalami kemunduran, tapi apakah demikian pula dengan hak asasi?

Ilmuwan politik Arend Lijphart mengasumsikan masa 19 tahun untuk mengukur apakah demokrasi sebuah negara telah stabil. Demokrasi stabil bila selama masa tersebut telah berlangsung pemilihan umum yang jujur dan adil tanpa ada interupsi berbentuk kudeta militer atau perang bersaudara.

Asumsi ini masuk akal. Lihat saja perjalanan Musim Semi Arab atau Revolusi Arab yang penuh harapan. Revolusi yang bermula di Tunisia pada akhir 2010 diperkirakan akan membawa gelombang revolusi di negeri-negeri seperti Libya, Mesir, hingga Yaman.

Dalam waktu singkat, harapan itu meleset. Mesir misalnya, negeri yang semula berhasil menggelar pemilihan umum demokratis justru berakhir dengan interupsi kudeta militer di bawah Jenderal Abdul Fattah as-Sisi. Dukungan kembalinya pemerintahan militer terjadi pasca meningginya ketegangan elite, letupan-letupan kekerasan sektarian, termasuk ledakan bom yang menyasar rumah ibadah, yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa di Mesir.

Begitu pula di Asia Tenggara, sebuah kawasan yang terdekat dengan Indonesia. Thailand, misalnya, kembali mengalami kudeta militer dan keterbelahan sosial, selain untuk waktu yang lama berada di bawah pengaruh monarki. Di Myanmar, represi militer menekan etnis minoritas Muslim Rohingya hingga etnis minoritas Kristen Katchin. Meski ada perubahan, Malaysia masih berada dalam kontrol elite politik masa lalu.

Ini artinya tidak mudah untuk sebuah negara mengubah pemerintahan otoritariannya menjadi demokratis, sebuah sistem politik berbasis hak pilih rakyat untuk menentukan wakil legislatif dan eksekutif-nya lewat kotak suara. Dalam sejarah, Indonesia pra-Ode Baru pun berkali-kali mengalami kemajuan, kemunduran, bahkan kegagalan demokrasi.

Bisa jadi, masa 19 tahun memang ukuran yang masuk akal. Pertanyaannya lalu, apakah setelah 20 tahun Reformasi kita benar-benar meraih demokrasi yang stabil sesuai asumsi Lijphart? Bagaimana dengan reformasi hak asasi?

Melewati sepuluh tahun pertama, setidaknya ada tiga pandangan kaum sarjana. MacIntyre dan Ramage (2008), misalnya, menilai Indonesia telah memasuki fase ‘normal’ dengan demokrasi terkonsolidasi. Kedua, Hadiz dan Robison (2004), menilai perubahan baru sebatas pergantian pemerintahan, sementara kepentingan lama dari rezim sebelumnya tetap bercokol. Ketiga, Mietzner (2012) menilai meski banyak kemajuan, demokrasi Indonesia masih bermutu rendah.

Asumsi yang beragam ini juga tercermin dalam pantauan lembaga indeks demokrasi. Freedom House, misalnya, mencatat bahwa Indonesia mengalami pasang surut selama dua puluh tahun Reformasi. Indonesia berstatus “tidak bebas” saat pemerintahan otoritarian Orde Baru berakhir pada Mei 1998. Kebebasan sipil maupun kebebasan politik ada pada titik yang rendah.

Gelombang Reformasi lalu membawa Indonesia naik ke status “separuh bebas” pada tahun 1999 dan berlangsung sampai tahun 2005. Indeks demokrasi Indonesia terus naik hingga mencapai status “bebas” pada periode 2006 hingga 2012. Sayangnya, Indonesia kembali ke status “separuh bebas” pada tahun 2013 hingga 2018.

Dengan kata lain, persis pada tahun ke-20 pasca Soeharto, Indonesia mengalami penurunan. Berbeda dengan penilaian pada 10 tahun pertama, tampaknya mulai ada keseragaman pandangan bahwa persis ketika memasuki usia 20 tahun, hanya terpaut setahun dari masa 19 tahun yang disebut oleh Lijphart, demokrasi kita benar-benar menurun.

Seperti dikatakan oleh Mietzner (2017), demokrasi Indonesia “sekarang ini tak bisa dibantah lagi berada dalam kemerosotan“. Salah satu penjelasannya menunjuk pada kebijakan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang menerabas proses legislatif dan yudisial dalam pembubaran organisasi masyarakat (ormas) sebagai yang terburuk di antara pilihan lain yang tersedia.

Begitu pula dengan Hadiz (2018) yang menyimpulkan terjadinya kemunduran demokrasi pada tahun 2017, ditandai upaya-upaya partai-partai politik tertentu menyebarkan nilai-nilai konservatif agama dan nasionalisme yang berlebihan (hyper-nationalism).

Selain kebijakan tentang pembubaran organisasi massa, Mietzner dan Hadiz juga menunjuk beberapa peristiwa kontroversial, termasuk kekalahan elektoral terkait etnis dan agamanya, dan pemenjaraan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) beserta dampak lanjutannya yang mengandung aspek-aspek mengkhawatirkan, dari ketegangan politik pada tahun-tahun mendatang hingga bangkitnya kembali sebuah gerakan yang dalam sifat alamiahnya mirip Orde Baru.

Pandangan-pandangan ini membantu kita untuk menimbang-nimbang lanskap politik di mana reformasi hak asasi manusia berjalan. Reformasi membebaskan semua tahanan nurani Aceh, Timor, Papua, hingga yang terkait dugaan percobaan kudeta pada 1965. Teks konstitusi kian menjamin hak berpendapat dan berpartisipasi dalam demonstrasi damai tanpa takut ditangkap. Polisi mengakui standar internasional untuk penggunaan kekuatan dan senjata api meski belum maksimal dalam memastikan pelanggarnya diadili.

Negara tak lagi mengekang pers dan kemerdekaan berekspresi sehingga debat dimungkinkan. Juga tak lagi membungkam mahasiswa ala penembakan mahasiswa di Trisakti-Semanggi, atau penculikan aktivis 1998. Sebagian mereka yang bertanggungjawab sempat diberhentikan meski belum dihukum secara adil.

Tinjauan ulang atas legislasi dan pelembagaan reformasi sebagian berjalan dengan melibatkan warga secara luas. Undang-undang Anti Subversif hingga pasal-pasal karet dan penghinaan presiden dihapuskan, meski pasal pencemaran nama baik masih ada. Hukuman mati masih berlaku, meski eksekusi vonis mati mulai ditinjau.

Kemerdekaan berkumpul dan berorganisasi bagi partai politik dan serikat buruh berkembang meski mulai muncul restriksi atas nama anti-komunisme maupun anti-separatisme yang berbasis moralitas dan nasionalisme berlebihan.

Reformasi kelembagaan belum berhasil memastikan semua pelanggaran hak asasi oleh kekuatan bersenjata diinvestigasi penuh dan penanggungjawabnya diadili secara fair di depan pengadilan umum. Meski ditetapkan harus tunduk pada jurisdiksi peradilan umum, angkatan bersenjata masih menjalankan sendiri proses peradilan militer untuk tindak pidana umum dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.

Peradilan lebih independen dari eksekutif, dulu di bawah Kementerian Kehakiman, kini di bawah Mahkamah Agung. Hakim juga tak lagi diwajibkan masuk dalam Korpri di bawah Kementerian Dalam Negeri sekaligus bagian dari Golongan Karya. Tapi dalam praktik masih ada hakim terseret korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan gagal menghukum para pelanggar hak asasi manusia.

Komnas HAM dibekali undang-undang, sempat begitu berpengaruh, namun belakangan melemah karena absennya dukungan politik pemerintah terhadap rekomendasi mereka.

Indonesia juga meratifikasi standar internasional termasuk Konvensi Anti Penyiksaan, meski KUHP belum memasukkan larangan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Indonesia juga meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik maupun Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Indonesia mengundang sejumlah pelapor khusus PBB seperti kunjungan terakhir terkait hak atas kesehatan dan pangan.

Akhir kata, perjalanan kita masih panjang. Kita telah berusaha untuk memutus hubungan dengan masa lalu dan memperbaiki warisan kerusakan akibat otoritarianisme Orde Baru yang berkuasa 32 tahun. Kita telah berjalan jauh selama 20 tahun dan semuanya tentu tidak mudah. Kita harus bekerja lebih keras, lebih sabar, setidaknya untuk sepertiga waktu mendatang, sampai agenda reformasi dan demokrasi benar-benar membawa kemajuan besar bagi hak asasi.

Usman Hamid adalah Direktur Amnesty International Indonesia dan Dewan Pakar IKA Usakti

Share: Refleksi 20 Tahun Reformasi Kita