Isu Terkini

Polemik Penghapusan Hak Suara ASN/PNS

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kontestasi pemilihan kepala daerah kerap menggiring perhatian publik kepada soal netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS) di seluruh Indonesia. Ada rencana ASN bakal diawasi secara ketat dalam Pilkada Serentak 2020 yang akan berlangsung 9 Desember mendatang di 270 daerah. Sebab, bakal ada ancaman sanksi yang mengintai kalau mereka ketahuan tidak netral.

Hingga Jumat (26/6), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah menerima 369 laporan dugaan PNS terlibat dalam sejumlah kegiatan politik pilkada. Sebagian besar berbentuk kampanye di media sosial. Ada 324 PNS yang diduga melanggar, padahal, perhelatan Pilkada 2020 masih enam bulan lagi dan belum ada penetapan calon pasangan.

“Ada 39 (dihentikan) karena tidak cukup bukti. Kemudian ada lima yang diproses, ada pelanggaran lain selain administratif, ada dugaan pidana dan sebagainya. Ada pelanggaran-pelanggaran di UUD lainnya dan kami teruskan ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) ada 324 cukup banyak,” kata Ketua Bawaslu Abhan dalam keterangannya melalui webinar, Selasa (30/06).

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Agus Pramusinto mengatakan sebanyak 283 PNS telah dikenakan rekomendasi sanksi pelanggaran netralitas oleh KASN. Ada pula 99 PNS yang sudah ditindaklanjuti oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Baca Juga: Bahaya Menggelar Pilkada Serentak 2020 di Tengah Pandemi

ASN yang ditemukan melanggar paling banyak menjabat sebagai Pimpinan Tinggi 36 persen, Jabatan Fungsional 17 persen, Jabatan Administrator 13 persen, Jabatan Pelaksana 12 persen, dan Jabatan Kepala Wilayah (Camat/Lurah) tujuh persen.

Sementara yang paling banyak melakukan kampanye di media sosial sebanyak 27 persen dan melakukan pendekatan ke parpol terkait pencalonan diri atau orang lain sebagai bakal calon sebanyak 21 persen. Lalu, yang memasang spanduk atau baliho mempromosikan diri atau orang lain sebagai bakal calon 13 persen, mendeklarasikan diri sebagai bakal calon sembilan persen, dan menhadiri deklarasi pasangan calon empat persen.

“Top 10 instansi yang paling banyak melanggar ada di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Sumbawa, Kota Banjarbaru, Kabupaten Muna, Muna Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kabupaten Banggai, Kabupaten Dompu,” ucap Agus.

Meski begitu, Agus Pramusinto menilai hak suara ASN harus tetap ada. “Saya kira kalau mereka dibubarkan dalam proses memilih tidak kemudian meningkatkan kualitas dari Pilkada itu sendiri. Sehingga kemudian kita tetap memberikan hak pilih tetapi tidak boleh berdemokratis untuk menghindari gangguan netralitas ASN.”

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan bahwa saat berada di lapangan, PNS kerapkali bimbang saat menjaga netralitasnya di tengah perhelatan pilkada. Menurutnya, semuanya penuh risiko, tidak ada yang aman. Mau netral dianggap tidak mendukung oleh petahana. Mau mendukung dianggap berisiko kalau petahana kalah.

“Sedangkan jika ASN diam dan tak bersikap, lanjut Ghufron, juga bisa berimbas pada kendala kariernya di instansi tersebut. Ini akhirnya membuat ASN kian bimbang,” kata Ghufron. Ia pun menyebut bahwa yang perlu diperbaiki adalah pemerintah pusat harus bisa memastikan keamanan jabatan ASN ketika dituntut netral dalam politik lokal.

Sanksi bagi PNS yang Tak Netral di Pilkada

Direktur Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara (BKN), Achmad Slamet Hidayat mengatakan setidaknya ada dua jenis sanksi yang akan dijatuhkan kepada ASN yang kedapatan tidak netral di pilkada. Dua hukuman itu yakni hukuman disiplin tingkat sedang dan hukuman disiplin tingkat berat.

Adapun hukuman disiplin tingkat sedang yakni berupa penundaan gaji secara berkala selama satu tahun, penundaan pangkat selama satu tahun dan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Hukuman akan diberikan jika ASN memberikan dukungan dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye atau memberikan barang dalam lingkungan unit kerja, anggota keluarga dan masyarakat.

“Serta ketika ASN memberikan dukungan dengan memberikan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan surat keterangan tanda penduduk,” kata Achmad.

Baca Juga: Pilkada Serentak Digelar Desember 2020, Apa Artinya?

Lalu, hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah, pembebasan dari jabatan dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai ASN.

Hukuman disiplin berat akan diberikan jika ASN memberikan dukungan dengan cara menggunakan fasilitas negara, memberikan dukungan dengan cara membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.

Ketua Bawaslu Abhan mengatakan longgarnya pengawasan terkait pemberian sanksi di PPK terjadi karena ada kendala pada regulasi. Untuk itu, pihaknya bersama KPK, KemenPANRB, Kemendagri, dan KASN tengah menggodok surat keputusan bersama mengatur alur pengawasan dan sanksi pelanggaran netralitas ASN.

Sejauh ini, sanksi terhadap pelanggaran netralitas ASN diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di situ diatur pelanggaran netralitas ASN dapat diberi sanksi administratif dan pidana.
“Di dalam konteks ini kewenangan Bawaslu untuk menindaklanjuti atas laporan atau temuan terhadap dugaan pelanggaran netralitas ASN ini,” kata Abhan.

Menurutnya, ketika dalam konteks administratif maka peran ASN sangat besar sekali karena rekomendasi penjatuhan sanksi administratif ini harus melalui proses di KASN, baru KASN yang memberikan rekomendasi kepada PPK-nya dan dia yang memberikan sanksi administratif.

Baca Juga: Keruwetan Pilkada dan Pemilu di Indonesia, Apa Solusinya?

“Ada beberapa hal pelanggaran ketika sampai proses pidana dan terbukti, begitu petahana terpilih kembali [petahana] bisa [membantu ASN] dan menjadikan itu promosi,” ujarnya.

Perlukah Hak Pilih PNS Dihapus seperti TNI/POLRI?

ASN sendiri memang wajib netral dalam Pilkada/Pemilu, meski memiliki hak suara. Beda halnya dengan TNI/Polri, yang tidak memiliki hak suara karena harus netral. Menurut Abhan, kalau disurvei, ASN mungkin saja tak ingin mempunyai hak pilih seperti TNI/Polri.

Sebab, ketika kedapatan tidak netral, maka tentu saja akan berisiko. Begitu juga saat bersifat netral, tentu juga akan banyak tekanan dari pihak luar dan dalam. “Memang barangkali oleh ASN dirasa berat ketika netral tetapi masih mempunyai hak pilih. Bahkan ketika masa-masa Pilkada ini ASN serba repot, diam saja bisa salah apalagi bergerak dan sebagainya,” kata Abhan.

Namun, Abhan mengatakan bahwa ASN merupakan salah satu warga negara yang beruntung karena diberikan keistimewaan untuk memilih. Keistimewaan ini yang diminta untuk digunakan sebaik-baiknya. Menurutnya, UU memberikan ASN hak konstitusional, hak istimewa untuk menentukan pilihan.

“Saya kira hal yang istimewa karena tidak semua orang. Maka ketika istimewa ini gunakan hak sebaik-baiknya jangan disalahkan karena persoalan netralitas ini.”

Sejalan dengan Abhan, menurut Direktur Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara (BKN), Achmad Slamet Hidayat, hak pilih ASN memang perlu dikaji ulang. Namun, menurutnya perlu pertimbangan dan kajian matang bagaimana caranya agar ASN benar-benar netral.

“Terkait isu netralitas itu perlu adanya pencabutan hak pilih ASN seperti TNI/Polri. Saya kira perlu adanya suatu kajian khusus untuk melihat apakah dengan adanya hak pilih itu ASN akan menjadi full netral. Tapi wacana terkait pencabutan hak pilih itu saya kira perlu dipertimbangkan dengan memperhatikan kajian-kajian apakah dengan pencabutan hak pilih ASN akan membuat ASN menjadi lebih netral,” kata Achmad dalam kesempatan yang sama.

Share: Polemik Penghapusan Hak Suara ASN/PNS