General

PKS, Kursi Wagub DKI Jakarta dan Kayu Bakar Politik

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terus berupaya agar kursi wakil gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan Sandiaga Uno bisa diduduki kadernya. Sayangnya, PKS justru menghadapi situasi rumit ketika teman koalisinya Partai Gerindra juga tergiur posisi yang sama. Padahal, Ketua Umum PKS Shohibul Iman mengatakan bahwa kursi wagub DKI seharusnya memang hak PKS. Bahkan, Sohibul mengklaim bahwa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sudah setuju dengan itu.

“Ya wagub DKI adalah hubungan bilateral antara PKS dan Gerindra karena yang dulu mengusung di DKI kan kami berdua. Itu sampai sekarang tidak berubah. Pak Prabowo mengatakan itu adalah hak PKS,” kata Sohibul, Selasa 18 September.

Terkait calon wagub DKI dari PKS, Shohibul membeberkan bahwa dua nama yang diusulkan PKS adalah Ahmad Syaikhu dan Agung Yulianto. Terkait persaingan dengan Gerindra, Sohibul mengatakan bahwa respons tertawa Prabowo sudah jadi pertanda. Menurut Sohibul, respons tertawa dan senyum Prabowo soal permintaan Taufik menjadi wagub DKI Jakarta adalah tanda ketidaksetujuan. Apalagi Sohibul mengklaim bahwa sudah ada kesepakatan bahwa wagub DKI memang dari PKS.

“Saya kira Pak Taufik saya lihat di media, Pak Taufik menyampaikan dia jadi Wagub, Pak Prabowo ketawa-ketawa saja. Saya kira sudah benar sikapnya, ketawa seperti itu karena memang pada dasarnya sudah ada kesepakatan.”

Persaingan merebut kursi DKI 2 pun semakin panas, apalagi M Taufik yang menjabat Ketua DPD Gerindra jadi sosok kuat yang bakal bersaing merebut posisi wagub DKI. Bahkan Taufik menantang PKS untuk berebut posisi tersebut di DPRD.

Saking seriusnya ingin menjadi pengganti Sandiaga, Taufik bahkan menepis klaim PKS yang mengatakan bahwa Prabowo Subianto telah menyerahkan posisi wakil gubernur kepada mereka. Kader Gerindra itu menyebut PKS takut bersaing.

“Bisa jadi begitu (PKS hanya mengklaim), PKS takut bersaing di DPRD. PKS jangan takut bertanding di DPRD. Biar fair dong. Jangan takut. Belum tentu juga saya dipilih kawan-kawan DPRD. Mainkan saja di situ,” kata Taufik kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 19 September 2018.

Lebih jauh, Taufik pun menjelaskan bahwa Gerindra juga punya kesempatan yang sama untuk menduduki kursi wagub DKI. Maka dari itu, pria kelahiran Jakarta pada 3 Januari 1957 silam itu mengungkapkan bahwa PKS harusnya mengikuti peraturan yang ada soal pergantian pimpinan wakil gubernur.

Seperti diketahui, aturan tentang pengisian jabatan wakil kepala daerah telah diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). dalam UU itu disebutkan kandidat calon wakil gubernur diajukan oleh partai politik pengusung dan disetujui melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD.

Lalu, pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah dilakukan jika sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak kosongnya jabatan tersebut.

Agar fair, Taufik pun meminta PKS untuk bersaing secara sehat di DPRD. Untuk itu, kedua partai, baik itu Gerindra maupun PKS harus mengajukan masing-masing satu calon untuk merebut kursi wagub DKI.

“Biar gak ribet, PKS satu orang, Gerindra satu orang. Kita pilih di DPRD. Kalau PKS yakin, ya udah ajuin aja kadernya siapa yang terbaik satu aja. Biar dipilih oleh DPRD,” kata politisi berusia 61 tahun tersebut.

Melihat situasi ini, Direktur Paramater Politik Indonesia Adi Prayitno melihat bahwa perebutan kursi wagub DKI akan mempengaruhi stabilitas koalisi Gerindra dan PKS. Apalagi jika posisi wagub DKI sampai jatuh ke tangan Gerindra, bisa saja koalisi keduanya goyah.

“Kalau kursi DKI 2 ini diberikan ke Gerindra tentu akan jadi ujian koalisi PKS dan Gerindra. Apalagi PKS ini sudah terang-terangan pada ngomong semua termasuk elit-elitnya, bahwa kalau posisi itu masih diambil juga oleh Gerindra, maka akan berpengaruh besar dengan kondisi koalisi dan situasi Pilpres 2019 nanti,” kata Adi kepada Asumsi.co, Jumat, 21 September.

Menariknya, bicara kondisi koalisi, Taufik pun yakin bahwa soal penentuan calon wagub DKI sendiri tak akan sampai mengganggu mitra koalisi kedua partai. Selain yakin koalisi akan baik-baik saja, Taufik juga percaya diri dapat restu dari Prabowo untuk bersaing menjadi wagub DKI.

Adi kurang sepakat dengan optimisme Taufik yang yakin koalisi Gerindra-PKS akan baik-baik saja. Apalagi, jika melihat posisi Gerindra yang tak ingin kalah bersaing untuk merebut kursi DKI 2.

Menurut Adi, posisi seperti ini justru membuat PKS hanya seperti kayu bakar politik saja. Apalagi jika kita tengok selama ini PKS memang selalu gagal mendapatkan apa yang mereka inginkan, terlebih di saat PKS memiliki hak untuk menduduki kursi DKI 2, tapi malah ‘diganggu’ Gerindra.

“Idealnya memang secara politik ya itu (kursi DKI 2) buat PKS karena selama ini PKS kan nyaris tidak pernah dapat apapun, semacam jadi kayu bakar politik saja. Tapi tidak pernah mendapatkan privillege dan keistimewaan apapun.”

Bagaimana tak dibilang hanya jadi kayu bakar politik saja jika PKS selama ini seperti selalu dikorbankan demi keuntungan Gerindra. Apalagi di saat peluang sudah begitu dekat dengan PKS perihal kursi wagub DKI, Gerindra tetap saja muncul sebagai penghalang.

Adi mengungkapkan bahwa wajar jika PKS terlihat ngotot ingin kadernya jadi DKI 2. Namun, jika Gerindra tetap memaksakan diri untuk bersaing, maka hal itu tentu akan berdampak dengan dinamika Pilpres 2019 nanti.

“Bisa saja PKS mencabut dukungan, ya mencabut dukungan itu dalam arti partainya tetap mendukung tapi mesin partainya enggak bekerja.”

PKS pun, lanjut Adi, tentu akan realistis dengan situasi politik yang terjadi saat ini. Terutama soal posisi wagub DKI sendiri sudah jadi harga mati bagi PKS demi menjaga stabilitas Pilpres 2019.

“Ngapain kalau enggak pernah dapat apapun? Salah satunya yang bisa dilakukan PKS ya minta jabatan DKI 2 lah sama Gerindra. Ini jadi pertaruhan juga bagi Gerindra. Kalau PKS masih dizalimi, feeling saya PKS tak akan all-out di Pilpres 2019 nanti.”

Bahkan, menurut Adi, PKS kemungkinan akan solid angkat kaki dari kubu Prabowo jika Gerindra tetap memaksakan diri merebut kursi wagub DKI. Lalu, kenapa PKS masih terus loyal dan bertahan dengan kubu Prabowo?

Apa yang dicari PKS dari hubungan koalisinya dengan Gerindra? Sebagai salah satu Partai Islam, apa mungkin PKS mengikuti jejak partai-partai Islam lainnya seperti PKB dan PPP yang bergabung dengan kubu Jokowi?

Meski dalam politik tidak ada yang tidak mungkin dan selalu elastis, namun tampaknya hal itu sulit berlaku bagi PKS. Ya, rasa-rasanya memang sulit, meski tak mustahil, jika harus melihat PKS bergabung dengan kubu Jokowi.

Menurut Adi, kecil kemungkinan jika PKS berbalik mendukung kubu Jokowi, apalagi sebagai oposisi sejati, sikap anti-Jokowi sudah tertanam di tubuh PKS. Adi melihat, tak ada prestasi Jokowi yang akan menjadi hebat di mata PKS.

“Ya karena sejak awal PKS ini anti-Jokowi, kira-kira begitu, oposan. Oposisi dan anti-Jokowi, itu poinnya. Jadi, sehebat apapun Jokowi bagi PKS ya harus diganti. Biasalah kan logika oposisi memang begitu,” kata Dosen Ilmu Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Lalu, apa yang bakal dilakukan PKS jika memang menarik diri dari dukungan untuk Prabowo, sedangkan di satu sisi kesempatan untuk mendukung Jokowi pun sangat kecil?

“Kalau PKS sampai menarik dukungan ke Prabowo, tentu PKS akan fokus sepenuhnya di Pileg 2019. Sekali lagi maksudnya narik dukungan itu adalah partainya kan enggak bisa dicabut tuh karena sudah terdaftar di KPU, ya paling mesin politiknya enggak ngurusin Prabowo enggak ngurusin pemenangan Prabowo.”

Menurut Adi, PKS hanya akan fokus sepenuhnya ke Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019. Langkah itu mirip dengan Partai Demokrat yang tak terlalu peduli soal siapa yang maju di Pilpres, namun yang penting menyelamatkan partainya lolos ke Senayan dan dapat suara banyak.

“Ini lah ujian loyalitas bagi PKS terutama kalau mereka masih dizalimi begini dan dijadikan objek kayu bakar politik Gerindra terus, saya kira PKS juga akan keluar watak aslinya, ya mereka akan memberontak.”

Dalam posisi seperti ini, Gerindra seharusnya paham bahwa PKS merupakan oposan, suka keras, dan enggak pernah kalem juga. Artinya, ada waktunya PKS mengalah sampai akhirnya gerah dan memberontak terhadap situasi rumit seperti ini.

Share: PKS, Kursi Wagub DKI Jakarta dan Kayu Bakar Politik