General

Pilihan Presiden Jokowi dan Usaha untuk Meredam Distorsi Persepsi

Pangeran Siahaan — Asumsi.co

featured image

Kontes politik elektoral tidak dimenangkan semata oleh kandidat yang mempunyai program serta visi-misi yang paling bagus. Yang lebih penting dari program, prestasi, serta berbagai pencapaian nyata lainnya adalah bagaimana persepsi publik sebagai pemilih terhadap kandidat tersebut. Persepsi pemilih yang terbangun ini tidak selamanya jauh dari kenyataan, namun dalam berbagai skala yang berbeda, sering kali persepsi pemilih terdistorsi dari sumbu empirik. Hampir semua persepsi pemilih terhadap satu calon berbeda dengan apa yang sebenar-benarnya berada dalam diri satu kandidat. Kadang ini hasil pengemasan citra yang sengaja dari sang calon. Kadang ini hasil manipulasi citra yang dikerjakan pihak lawan.

Meminjam istilah Barthes yang mengatakan bahwa “pengarang telah mati” ketika karyanya sampai di tangan pembaca yang bebas menafsirkan isi tanpa peduli maksud sebenarnya dari si penulis, hal yang sama pun bisa kita sematkan pada politisi dalam kontes elektoral. Apa pun yang diinginkan oleh satu kandidat untuk tercitrakan dari dirinya, nasib citra dirinya secara keseluruhan sebenarnya berada dalam tangan publik pemilih yang menafsirkan.

Apa pun yang dirundingkan di atas meja konsultasi dan negosiasi, apa pun prestasi dan pencapaian sang kandidat, seberapa bagusnya pun program dan visi-misi dirancang, itu semua tak berarti apa-apa jika persepsi publik pemilih gagal untuk menafsirkan itu semua dengan tepat.

Distorsi tafsir pemilih ini bukan barang baru dalam realpolitik. Pengikisan persepsi terhadap satu calon dalam kontes politik elektoral mungkin umurnya sama tuanya dengan kontes politik elektoral itu sendiri. Dari pemilihan Ketua OSIS hingga pemilihan presiden, yang namanya usaha-usaha untuk menjatuhkan persepsi pemilih terhadap calon tertentu adalah sebuah keniscayaan. Idealnya memang kandidat elektoral bertarung dalam gagasan dan program semata, tapi kita tak pernah hidup dalam tatanan dunia yang ideal.

Pilihan Presiden Jokowi terhadap Kiai Ma’ruf Amin sebagai pasangan cawapres menyisakan banyak rasa masam kepada sebagian pendukungnya. Ini bukanlah keresahan yang tak beralasan dengan menimbang banyak faktor. Rekam jejak, hubungan politik, chemistry belakang layar, adalah beberapa hal yang membuat pilihan Presiden Jokowi ini mengagetkan banyak pendukungnya. Petahana bergerak ke kanan, begitu tulis banyak orang di media sosial. Yang menarik, faktor rekam jejak, hubungan politik, dan chemistry, yang oleh banyak pendukungnya dianggap sebagai variabel yang menempatkan pilihan terhadap Ma’ruf Amin sebagai pilihan yang buruk justru adalah variabel yang sama yang membuat Ma’ruf Amin sebagai pilihan terbaik bagi sebagian pendukung yang lain.

Distorsi persepsi yang selama ini terjadi pada sebagian publik rasanya adalah faktor signifikan di balik pilihan Presiden Jokowi terhadap Kiai Ma’ruf Amin. Karena apa pun yang sudah dikerjakan dan dicapai oleh pemerintahan Presiden Jokowi, jika terdistorsi begitu sampai ke mata dan telinga publik pemilih, semuanya tak akan berarti banyak. Distorsi persepsi berdasar unsur religiusitas inilah yang hendak diredam dengan maju bersama Kiai Ma’ruf Amin.

Mengenai langkah pivot ke arah kanan yang juga menjadi kecemasan dari banyak pendukung, ini juga sesuatu yang semestinya sudah bisa diprediksi. Pilkada DKI 2017 mengirimkan alarm pada petahana bahwa suara kalangan konservatif keagamaan tak bisa disisihkan. Maka sejak jauh-jauh hari sebenarnya nama-nama yang dianggap serius untuk menjadi pasangan Presiden Jokowi tahun 2019 adalah nama-nama yang bisa merepresentasi kubu konservatif keagamaan. Yang patut kita cermati berikutnya adalah bagaimana perubahan interaksi dan persepsi yang akan terjadi seusai deklarasi Jokowi-Ma’ruf Amin ini selama 8 bulan ke depan. Apakah memang akan berujung sesuai hasil yang diharapkan untuk meredam distorsi persepsi? Atau justru akan menghasilkan distorsi persepsi yang baru?

Selama ini sudah banyak beredar analisa dari akademisi dan konsultan politik yang mengatakan bahwa tak mungkin ada ketua umum salah satu partai politik pendukung yang akan menjadi pasangan cawapres Presiden Jokowi karena akan diveto oleh partai koalisi lainnya. Alasannya jelas, jika ada salah satu orang partai terpilih jadi wakil presiden, maka orang itu dan partainya akan menempati pole position untuk bertarung merebut kursi presiden tahun 2024. Ini adalah sesuatu yang tak bisa diterima oleh koalisi partai pendukung jika ada salah satu dari mereka yang dapat benefit lebih.

Argumen di atas sebenarnya cukup bertentangan dengan sosok Prof. Dr. Mahfud MD yang sampai beberapa jam sebelum deklarasi masih menempati posisi terdepan sebagai Cawapres. Mahfud memang tidak mewakili partai mana pun, namun jelas akan menempati pole position untuk maju sebagai Calon Presiden pada 2024 jika terpilih sebagai Wapres pada tahun depan. Dalam aspek ini, Kiai Ma’ruf Amin memiliki level penerimaan yang lebih baik bagi koalisi partai pendukung karena peluangnya untuk maju sebagai Capres tahun 2024 sangat minim mengingat usia. Jika Jokowi-Ma’ruf Amin terpilih, maka menuju tahun 2024, para koalisi partai pendukung bisa mulai dari pertempuran dari nol untuk mengusung jagoan masing-masing.

Di lain pihak, kita tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar perihal Prof. Dr. Mahfud MD yang sudah diberitahu dan menunggu pengumuman sebagai Cawapres hanya untuk melihat nama orang lain yang disebut ketika waktunya tiba. Mungkin satu hari nanti kita akan mengetahui bagaimana duduk perkaranya.

Dengan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto telah deklarasi maju bersama Wakil Gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, maka kita dihadapkan pada berbagai kemungkinan skenario kreasi/distorsi persepsi yang bisa dilakukan kedua belah pihak pasangan calon.

Pertarungan akan terjadi selama 8-9 bulan ke depan, namun jika ada pelajaran yang bisa dipetik oleh masyarakat yang menyaksikan proses negosiasi dan pengambilan keputusan dilakukan di level top elit politik, tak lain tak bukan: politik memang tidak boleh baper.

Pangeran Siahaan adalah co-founder Asumsi.co

Share: Pilihan Presiden Jokowi dan Usaha untuk Meredam Distorsi Persepsi