General

Pertemanan dalam Politik : Pemersatu atau Jebakan?

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Sebagai orang yang pernah belajar politik secara keilmuan teoritis dan konseptual, hiruk-pikuk stigma negatif seputar politik selalu saya temui dan dengar dari pelbagai lingkungan masyarakat. Sebagian menyesalkan, karena mengira mereka yang belajar ilmu politik berpotensi menjadi calon-calon koruptor, atau menjadi wakil rakyat yang tidak merakyat. Namun, tentu ada juga yang berharap bahwa mereka yang belajar ilmu politik tersebut menjadi generasi pelurus, bukan penerus pendahulunya.

Lagipula, kalau dipikir-pikir konstruksi pemikiran negatif tentang politik seperti itu, toh juga muncul karena dinamika yang terjadi dalam dunia politik. Terlebih di tahun politik seperti sekarang ini, batas antara informasi yang benar dan hoaks pun menjadi abu-abu. Ketika para calon legislatif kampanye, akan muncul stigma bahwa yang bersangkutan bakal korupsi atau lupa dengan rakyat, acapkali jalan tengah yang muncul, si calon tersenyum sambil berkata, “Saya tidak seperti itu”. Dinamika politik yang kotor itu justru berakibat penggeneralisir.

Beranjak pada sesuatu yang selalu menjadi buah bibir dalam dunia politik, yaitu perihal hubungan, apakah itu kita sebut hubungan pertemanan, koalisi atau semacamnya. Pertemanan atau kerjasama yang terjadi dalam dunia politik, ternyata berbeda dengan pertemanan yang kita lakukan sehari-hari. Bagi yang paham politik, mereka bisa melihat apa yang ada dibelakang hubungan pertemanan tersebut, contoh ekstremnya pertemanan tersebut berlatarbelakang rahasia terkait persoalan hukum teman tersebut dipegang oleh temannya, sehingga membantu adalah cara agar rahasia itu tidak dibongkar. Ketika ada seseorang di dunia politik yang secara tiba-tiba berbalik mendukung kelompok yang sebelumnya menjadi lawan, patut di pandang dengan cara pandang seperti ini. Sementara, bagi yang tidak paham, mereka menganggap itu selayaknya pertemanan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu seseorang membantu orang lain memang karena berteman.

Dalam pertemanan sehari-hari, kita mengenal istilah “kawan sapalalok (teman sama tidur), yaitu teman saat sedih maupun senang”. Sederhananya, teman dalam kehidupan sehari-hari itu ada setiap saat. Namun, beda halnya dengan istilah pertemanan dalam politik, karena justru kebalikannya. Dalam istilah pertemanan dalam politik, “tidak ada teman yang abadi”. Tersirat didalam ada sesuatu yang menyebabkan hubungan itu tidak bisa bertahan lama, itulah yang disebut dengan kepentingan. Kemudian ada lagi istilah, “lawan dari lawanmu adalah teman terbaikmu”. Dalam hal ini, terlihat strategi dan taktik sekali yang dituntut, bagaimana mengubah lawan dari lawan kita menjadi teman kita. Pada akhirnya, akan tampak bagaimana beda antara hubungan pertemanan dalam kehidupan sehari-hari dengan pertemenan dalam dunia politik.

Rasionality Simulacra

Hubungan yang terjalin dalam dunia politik itu tidak lebih dari kesepakatan diatas kertas, dan kemudian ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Konkretnya, bisa kita lihat dalam dunia pemerintahan, yang aroma politisnya begitu kentara. Pertemanan dikala menyokong atau mengusung seorang kepala daerah, ternyata tak lebih dari bahasa halus untuk meminta jatah jabatan. Sederhananya, “anda naik, saya dapat jabatan”. Yang satu berkepentingan untuk menjadi kepala daerah di daerahnya, yang satu lagi berkepentingan untuk mendapatkan jabatan. Nah, disanalah tampak bagaimana simbiosis mutualisme dalam politik itu terjadi.

Itu pun kalau hubungannya berupa pertemanan antar-individu, beda halnya dengan hubungan pertemanan pengusaha dengan calon kepala daerah tadi. Kepentingan calon tetap sama, ingin jadi kepala daerah, namun bagi pengusaha, tentu bukan jabatan yang dimintanya, melainkan kemudahan dalam segala bentuk birokrasi atau perizinan. Lagi-lagi, menjalin hubungan dalam politik itu hanya jika ada maunya saja. Di dalam maunya itulah melekat sebuah kepentingan, yang kemudian biasa disebut sebagai investasi politik. Ketika pemodal atau pengusaha menanam investasi kepada seorang calon, dan ketika calon tersebut sudah duduk, ketika itulah sang pengusaha itu mendapatkan hasilnya. Menarik bukan? dan tentu saja, Aspek moral telah hilang ditelan ambisiusnya kepentingan dalam politik. Sehingga, wajar jika pertemanan itu tidak bertahan lama.

Dalam konteks kerjasama pun, semua dilandasi dengan kepentingan. Sehingga, terkadang penulis berkerut kening sendiri ketika politik itu selalu dikaitkan dengan kepentingan, ya politik itu adalah sebuah kepentingan.

Kita masih ingat pascapilpres 2014 lalu. Pesta akbar demokrasi itu memunculkan dua kutub, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Akhir pesta menempatkan calon yang diusung KIH sebagai pemenang, sehingga KMP sebagai opisisi. Partai-partai yang tergabung dalam KMP komitmen untuk tetap bersama dalam mengawal pemerintah dari luar, artinya mereka senantiasa menjadi opisisi yang berada diluar lingkar pemerintah, namun tetap menyokong pemerintah sebagai bentuk check and balance dalam menjalankan roda pemerintahan.

Namun, perlahan kita dapat melihat bagaimana hubungan kerjasama dalam bentuk koalisi itu telah berantakan. Beberapa partai politik yang semula berdiri tegak bersama Gerindra untuk komitmen dalam KMP, satu persatu mulai hengkang untuk mendukung pemerintah. Hal tersebut menjadi bukti bahwa hubungan dalam dunia politik itu bergerak begitu dinamis seiring kepentingan. Hubungan itu menjadi pembungkus cantik untuk menutupi kesepakatan-kesepatakan yang dibuat dalam hubungan tersebut. Sederhananya, ada politik dibalik batu.

Dan pada akhirnya, kita dapat melihat dengan jelas kenapa dan bagaimana hubungan dalam politik itu tidak ada yang abadi. Bahkan, tak jarang “mantan” teman itu menjadi serigala bagi kita (Homo Homini Lupus).Ya, dalam perspestif psikologi barat, manusia itu adalah serigala bagi manusia lainnya, mereka tak malu-malu atau sungkan untuk menusuk dari belakang. Maka dari itu lahirlah istilah lawan dari lawanmu adalah teman terbaik. Sederhananya, dalam dunia politik kita berjaga-jaga jika seandainya teman yang satu ini berkhianat. Pada sisi gelapnya, dunia politik praktis penuh dengan intrik, strategi dan taktik. Bahkan, filosofi Machiavelli tentang mendapat kekuasaan dengan cara apapun juga dipakai. Halal haram dihantam saja, itulah Animus Dominandi, ketika manusia itu haus akan kekuasaan.

Dan terakhir, hubungan yang kita lihat dalam dunia politik ini tak lebih dari sekader simulasi yang dirasionalkan. Ya, hal yang “pura-pura” ditampilkan selayaknya menjadi sesuatu yang benar-benar. Mereka berjabat tangan bersama, berkomitmen bersama, duduk bersama dan saiyo sakato (se-iya se-kata) bersama. Namun, cerita berubah ketika negara api menyerang. Maksudnya, cerita berubah ketika kepentingan salah satu pihak terhalang atau terancam.

Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Share: Pertemanan dalam Politik : Pemersatu atau Jebakan?