Isu Terkini

Perkembangan Kasus Novel Baswedan

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Polisi akhirnya menetapkan RB dan RM, dua polisi aktif dari kesatuan Brimob, Kelapa Dua, Depok sebagai tersangka penyiram air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Kedua pelaku ditangkap di kawasan Cimanggis, Depok, Kamis (26/12/19) malam lalu.

Setelah pemeriksaan intensif, RB disangka berperan sebagai penyiram cairan korosif ke wajah Novel pada 11 April 2017 lalu. Sementara RM merupakan orang yang memboncengkan RB motor saat kejahatan berlangsung. Keduanya pun resmi ditahan untuk 20 hari ke depan.

Sebelumnya, penetapan dua tersangka ini dinilai janggal. Tim Advokasi Novel terang-terangan menyebut penetapan dua polisi aktif itu sebagai tersangka penyerangan justru terkesan sebagai upaya “pasang badan” untuk menutupi dalang besar dari kasus ini.

Sederet kejanggalan lainnya adalah pertama, terbitnya Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) pada 23 Desember 2019 yang menyatakan pelakunya belum diketahui. Lalu, berselang beberapa hari yakni Jumat (27/12), pelaku penyiraman air keras justru tertangkap.

Kedua, perbedaan soal pelaku apakah ditangkap atau menyerahkan diri. Ketiga, polisi dianggap tak bisa membuktikan motif di balik tindakan tersangka. Keempat, perbedaan wajah pelaku dengan sketsa terduga pelaku yang dirilis Polri jauh sebelumnya.

Butuh Pembuktian Kuat dalam Kasus Teror Novel

“Sampai saat ini, berita yang beredar memang masih simpang siur. Menyerahkan diri atau ditangkap? Konsekuensi berikutnya sangat jauh berbeda, tetapi semuanya tetap membutuhkan pembuktian,” kata Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto saat dihubungi Asumsi.co, Minggu (29/12).

“Apakah benar yang menyerahkan diri tersebut pelaku yang sebenarnya? Bila tertangkap, apa yang membuktikan bahwa tersangka adalah pelaku? Pengakuan pelaku tidak bisa jadi alat bukti di pengadilan,” ujarnya. Menurut Bambang, dengan kerangka berpikir seperti itu, wajar bila opini yang berkembang bisa menjadi bola liar.

Baca Juga: Kronologi dan Kejanggalan Penangkapan Dua Polisi Penyerang Novel Baswedan

Di sisi lain, keraguan disampaikan Direktur Lokataru, Haris Azhar yang juga merupakan anggota Tim Kuasa Hukum Novel. Ia menilai informasi yang disampaikan polisi tidak menunjukkan korelasi dengan fakta, keterangan, dan kesaksian yang sudah ada. Misalnya saja soal adanya informasi bahwa pelaku menggunakan air aki untuk menyiram Novel.

“Apakah sudah dicocokkan dengan catatan dokter? Itu air keras, bukan air aki. Saya khawatir ini justru menjadi bagian dari modus penghilangan jejak pertanggungjawaban atas kasus Novel,” kata Haris dalam keterangannya, Minggu (29/12).

Haris menyebut ada sejumlah fakta lain di lapangan yang belum diselidiki oleh polisi. Misalnya saja soal motor yang dipakai dua orang pengintai Novel sebelum penyerangan terjadi. Motor itu diduga milik anggota Polda Metro Jaya.

Teka-teki Motif Tersangka Penyerang Novel

Selain itu, motif tersangka dinilai berbeda dengan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) bentukan Polri. Perlu diketahui, saat digelandang ke mobil tahanan, tersangka RB sempat berteriak dengan menyebut Novel sebagai pengkhianat.

“Tolong dicatat, saya enggak suka sama Novel karena dia pengkhianat,” kata RB dengan nada tinggi pada Sabtu, (28/12) saat hendak dibawa ke Mabes Polri dari Polda Metro Jaya.

Teriakan itu diharapkan tidak membuat pihak kepolisian lantas menyederhanakan kasus teror ini hanya berkutat pada persoalan dendam pribadi saja. Lebih dari itu, teriakan “pengkhianat” dari tersangka RB kepada Novel mesti didalami lebih jauh dalam konteks tersangka merupakan anggota Polri aktif.

Haris pun meragukan motif tersebut, apalagi motif itu mirip dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dulu, Pollycarpus Budihari Priyanto, yang menjadi terpidana pembunuhan Munir, juga menuding Munir sebagai pengkhianat. “Itu motif yang biasa diutarakan kalau negara melakukan kejahatan terhadap warganya,” ujar Haris.

Padahal jauh sebelumnya, TGPF bentukan Polri menyatakan serangan kepada Novel berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK. Ada sejumlah kasus besar yang ditangani Novel, di antaranya kasus korupsi e-KTP, kasus korupsi mantan ketua MK Akil Mochtar, kasus korupsi mantan Sekretaris Jenderal MA Nurhadi, kasus korupsi mantan Bupati Buol Amran Batalipu, dan kasus korupsi Wisma Atlet.

Terkait teriakan pengkhianat ini, Bambang juga meragukan dan menyebut tak ada hubungan langsung antara korban dan pelaku, meski sama-sama pernah bertugas sebagai polisi. Ia menilai motif dendam pribadi tersangka justru tak logis.

Hal itu berkaca pada upaya sistematis menjegal Novel oleh polisi yang sudah dilakukan sejak lama. Justru ia menyebut ada ketidaksukaan internal kepolisian pada sosok Novel terkait kinerja dan prestasinya dalam memberantas korupsi, hingga akhirnya menimbulkan gesekan antara Polri dan KPK.

Baca Juga: Siapa “Jenderal” Penyerangan Novel Baswedan?

Menurut Bambang, situasi itu justru jadi miris lantaran di tengah upaya pemberantasan korupsi, sesama penegak hukum justru tak seiring sejalan dalam melakukan penindakan korupsi. KPK dianggap terus mencatatkan kinerja dan prestasi yang baik sedangkan Dirtipikor di bawah Bareskrim Polri justru tak terlalu punya gaung.

Kasus penyiraman air keras pada Novel tentu jadi tamparan bagi Polri karena dua orang pelaku adalah nggota Polri aktif. Lebih jauh, Bambang menyebut tak menutup kemungkinan ada aktor intelektual yang memberi perintah kepada dua tersangka dalam melancarkan aksinya. Sehingga kasus ini harus terus dikawal.

“Bila bukti-bukti tak kuat, artinya tersangka otomatis bebas. Artinya juga pelaku yang sebenarnya masih berkeliaran tak tersentuh,” ucap Bambang.

Sebelumnya, polisi menjerat dua tersangka dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel dengan pasal pengeroyokan dan penganiayaan. Karo Penmas Divisi Human Polri Brigjen Argo Yuwono pada Minggu (29/12), menyatakan pasal yang menjerat kedua tersangka penyerang Novel adalah Pasal 170 KUHP subsider Pasal 351 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Pasal 170 KUHP berbunyi:
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
2. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
3. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

Sementara, pasal 351 ayat 2 KUHP berbunyi:
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Terkait pasal sangkaan polisi terhadap dua tersangka penyiraman air keras terhadap Novel tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) punya pendapat sendiri. Menurut ICW, kasus itu harus dilihat lebih komprehensif lagi sehingga pasal yang dikenakan jauh lebih bijak.

Dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun agenda Pemberantasan Korupsi 2019 bertajuk “Lumpuhnya Pemberantasan Korupsi di Tangan Orang Baik” di kantor ICW, Jakarta Selatan, Minggu (29/12), Peneliti ICW Wana Alamsyah mengungkapkan bahwa tak hanya pelaku lapangan, polisi juga mesti mengetahui keberadaan aktor intelektual kasus ini.

“Ketika ada auktor intelektualis yang muncul, artinya pasal penganiayaan tersebut bisa ditingkatkan lagi. Bahkan ada upaya perencanaan pembunuhan,” kata Wana.

Lebih jauh, Wana menyebut dalih perencanaan pembunuhan tersebut bisa dilihat berdasarkan hasil rekaman kamera pengawas di sekitar lokasi kejadian. “Telah terjadi pengkondisian, bukan semata penganiayaan. Karena ada prasyarat terlebih dahulu ketika Novel akan diserang, sehingga konteks perencanaan pembunuhan harus didalami,” ujarnya

Wana menyebut polisi sampai hari ini belum bisa menjelaskan lebih jauh kepada publik soal motif kedua pelaku tersebut. Ia pun mempertanyakan apakah RM dan RB bertindak sebagai eksekutor lapangan juga menjadi auktor intelektualis atau ada dalang di balik keduanya?

Share: Perkembangan Kasus Novel Baswedan