Isu Terkini

Perkara Cinta, Apa yang Kaucari, Sukarno?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Sudah sejak remaja Sukarno tergila-gila dengan pesona lawan jenisnya. Kelak kecenderungan itu tumbuh dan berujung pada cerita sang proklamator yang memiliki sembilan orang istri sepanjang hidup. Namun, perjalanan asmaranya tak melulu indah, ada saja kerikil yang jadi pelengkap cerita.

Sukarno dikenal sebagai pengagum kecantikan. Rayu-rayuan terhadap noni-noni muda Belanda ia layangkan meski tak berbalas. Pernah, Sukarno muda nekat mendatangi orangtua Mien Hessels, seorang gadis Belanda yang membuatnya kepincut, untuk menyatakan cinta.

Tetapi dia hanya menerima umpatan kasar. “Kamu inlander kotor. Kenapa kamu berani-beraninya mendekati anakku? Keluar!” kata Tuan Hessels (Seri Buku Tempo, Edisi Juni 2001, 32). Alih-alih membuat mentalnya runtuh, pengalaman itu justru mengasah kefasihan Sukarno dalam urusan percintaan.

Kisah tentang gairah Sukarno sama populernya dengan kisah-kisah tentang keberanian dan keteguhannya sebagai pemimpin. Bahkan, ketertarikannya terhadap wanita cantik seringkali menjadi pembicaraan media Barat. Ia pernah meralat pemberitaan media Barat yang mengejeknya, “Bung Karno selalu melirik setiap ada perempuan cantik”.

Ejekan itu ditimpalinya dengan mengatakan: “Yang benar, Bung Karno menatap setiap wanita cantik dengan kedua buah matanya bulat-bulat!” kata Sukarno dalam laman Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 4 Mei 2015.

Istri-istri Sukarno

Sukarno pernah menikahi sembilan perempuan. Dia melepas masa lajang pada usia yang belum genap 20 tahun, dan wanita pertama yang dikawininya adalah Siti Oetari, 16 tahun, putri sulung tokoh Serikat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pada 1921. Namun, selama pernikahan itu, kata Sukarno dalam Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams (1965), ia tak pernah “menyentuh” Oetari karena menganggapnya seperti adik.

Kurang dari tiga tahun, mereka bercerai. Sukarno kemudian jatuh cinta kepada Inggit Garnasih, yang lebih tua 15 tahun dari Sukarno. Inggit merupakan istri Haji Sanusi, induk semang Sukarno ketika bersekolah di Technische Hogere School, Bandung.

Dalam bukunya Soekarno: Kuantar ke Gerbang (2014), Inggit mengenang Sukarno sebagai anak muda pesolek, tampan, tinggi, dan perlente. Pada pertengahan 1923, empat bulan setelah bercerai dari suaminya, Inggit menikahi Sukarno. Hubungan itu bertahan selama 20 tahun, melintasi berbagai aral, termasuk pemenjaraan Sukarno di Sukamiskin oleh pemerintah kolonial Belanda.

Pertemuan Sukarno dengan Fatimah di Bengkulu, tempat pengasingannya yang lain, jadi cerita baru dalam perjalanan cinta Sukarno. Ia menaruh hati kepada Fatimah dan bermaksud menikahinya tanpa menceraikan Inggit. Pada era pendudukan Jepang, keduanya menikah meski usia terpaut 11 tahun. Sukarno juga mengubah nama Fatimah menjadi Fatmawati yang berarti bunga teratai.

Dari pernikahannya dengan Fatmawati, Sukarno memiliki putra-putri yang di kemudian hari menjadi tokoh-tokoh politik dan kebudayaan Indonesia. Dua di antaranya ialah Megawati dan Guruh.

Di kemudian hari, Sukarno menikahi janda beranak lima bernama Hartini, Ratna Sari Dewi–mantan pekerja sebuah klub malam di Jepang, Haryati, Heldy Djafar, Yurike Sanger, dan Kartini Manoppo.

Kesamaan yang mempersatukan para istri Sukarno: wajah rupawan. Dalam wawancara dengan Tempo pada 1999, Hartini mengeluh perihal kegemaran Sukarno pada kecantikan wanita. “Cintanya kepada wanita yang cantik adalah beban bagi saya, walaupun saya sudah berusaha menerimanya sebagaimana adanya. Dia sangat mencintai keindahan, termasuk keindahan dalam kecantikan wanita,” katanya.

“Terhadap setiap wanita yang sedang dihadapinya, dia selalu dapat mencurahkan perhatiannya, sehingga wanita tersebut merasa bahwa dia satu-satunya wanita yang paling dicintai atau dihargai BK,” tulis Bambang Widjanarko, ajudan pribadi Sukarno selama delapan tahun, dalam buku Sewindu Dekat Bung Karno.

Sopan dan hangat, Sukarno tak segan-segan menyajikan minuman untuk tamu wanitanya. Sukarno juga selalu membantu perempuan turun dari mobil dan tak pelit menyanjung. “Alangkah serasinya kain kebaya yang anda pakai,” katanya suatu kali. Pada kali lain: “Nyonya kelihatan lebih muda dengan tatanan rambut baru itu.”

Bukan Tak Pernah Ditolak

Tentu Jalan asmara Sukarno tak selalu mulus. Seorang pramugari pesawat kepresidenan pertama Indonesia, Irma Ottenhoff Mamahit, pernah menolak cintanya.

Suatu hari, setelah bekerja seharian di Skuadron 17, Irma menghadap sang presiden. Mudah diduga, Sukarno menggoda. “Irma, kau cantik sekali. Selalu kau pakai kain kebaya, dan pakaian nasional itu membuat pribadimu tampak lebih cantik,” kata Sukarno seperti ditirukan Irma dalam wawancaranya kepada Kartini edisi 6-19 Agustus 1979.

Ungkapan “Witing Tresno Jalaran Soko Kulino” pun berlaku. Seringnya Sukarno bertemu Irma saat mengudara membuatnya jatuh hati. Bahkan dia mengganti nama tengah Irma, Ottenhoff, yang dinilainya kebarat-baratan, menjadi Hidayana, “Hidayah Tuhan.”

Irma sama sekali tak berminat kepada pria seusia bapaknya tersebut. Lebih-lebih, Irma tak hendak menyakiti hati istri-istri lain Sukarno.

Namun, tak lama setelah itu, Irma jatuh cinta kepada seorang duda sebaya Sukarno dan menikah dengannya. Pria itu lawan politik Sukarno. Mengetahui hal itu, Sukarno naik pitam dan memerintahkan Irma menghadap ke Istana Negara. “Irma, kau tolak cintaku karena umurku. Kenapa kau kawin dengan dia yang seumur aku pula?” katanya.

Seperti Irma, Kartini Manoppo adalah seorang pramugari Skuadron 17 AURI. Yang berbeda, ia menerima pinangan Sukarno. Menurut Reni Nuryanti dalam bukunya Perempuan dalam Hidup Sukarno, sang presiden melihat wajah Kartini buat pertama kali pada lukisan Basuki Abdullah yang dipamerkan pada 1959.

Barangkali Sukarno tahu apa yang sesungguhnya ia cari dalam kehidupan cinta penuh petualangan tersebut, barangkali tidak. Mungkin riwayat asmaranya yang panjang menunjukkan bahwa ia tak kuasa membendung berahi, atau malah berarti ia meyakini gagasan tentang cinta sejati, sehingga tak putus-putus mencarinya. Namun, terlepas dari semua itu, Sukarno bukan tak pernah membayangkan perasaan para perempuan yang berbagi nasib dengannya.

Kepada Bambang Widjanarko, dia berpesan, “Mengenai affair dengan wanita lain, seorang istri dapat memaafkan tetapi tidak akan pernah melupakannya.”

Share: Perkara Cinta, Apa yang Kaucari, Sukarno?