Isu Terkini

Pergub Ganjil-Genap: Bukan Digugat, Tapi Diajukan Permohonan Judicial Review

Dinda Sekar Paramitha — Asumsi.co

featured image

Beberapa hari lalu, Asumsi.co penasaran apakah Peraturan Gubernur (Pergub) No. 77 tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap Selama Penyelenggaraan Asian Games 2018 bisa digugat. Rasa penasaran kami akhirnya berbuah hasil. Dari hasil wawancara dengan Yuris A. Hakim, seorang pengacara dari HHR Lawyers, dihasilkan jawaban bila Pergub tersebut bukan digugat, melainkan diajukan permohonan judicial review. Pengujian materi tersebut bisa diajukan apabila pergub ini terbukti bertentangan dengan peraturan-peraturan di atasnya, seperti undang-undang, ke Mahkamah Agung (MA).

Kumparan.com pada Selasa (14/08) melaporkan kalau ada pihak yang mengajukan uji materi terhadap pergub yang bersifat sementara ini. Secara filosofis, pengujian materi ini dilakukan dilakukan untuk menyelaraskan UU dan peraturan di bawahnya. Pada akhirnya, keputusan uji mater bisa diterima sebagai norma hukum buat semua orang. Sedangkan gugatan hasil akhirnya akan berupa yurisprudensi, biasanya keputusan inkracht-nya enggak otomatis berlaku untuk seluruh rakyat.

Baca juga: Bisakah Ganjil-Genap Digugat?

Pemohon yang mendaftarkan permohonan uji kebijakan ini ke MA adalah Andrian Meizar. Andrian mendaftarkannya atas nama pribadi, didampingi para advokat dari Rumah Bantuan Hukum HKBP Pasar Rebo, sebuah lembaga yang mendampingi siapa saja yang membutuhkan asistensi di bidang hukum. Andrian menilai bahwa pergub ganjil-genap yang berlaku sampai 2 September 2018 ini bertentangan dengan dua undang-undang, yaitu UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999

Sejak pergub ini resmi ditandatangani oleh Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta, berbagai argumen dilontarkan banyak pihak. Banyak yang keberatan dengan masa berlakunya, dari pagi hari sampai malam dan juga berlaku di akhir pekan. Andrian pun merasa keberatan dengan hal tersebut.

Dalam wawancaranya dengan Asumsi.co, Andrian mengutarakan bila pergub ini dinilai melanggar UU HAM No.39/1999, terutama pasal 27 yang intinya menyebutkan bila setiap warga berhak untuk bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal di dalam wilayah Indonesia. Menggarisbawahi kata “bebas bergerak dan berpindah” pada berkas permohonannya, Andrian merasa bahwa pergub ini sudah membatasi ruang geraknya. Ihwal ini tampak jelas dari pembatasan ruas jalan dan periode waktu yang tercantum dalam pergub tersebut.

Durasi waktu dari pukul 06.00-21.00 tersebut dinilai tidak masuk akal karena itu merupakan waktu produktif, di mana banyak orang melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Sahat Poltak Siagian, S.H. selaku pengacara yang mendampingi Andrian mengutarakan, “Pemberlakuan jam operasionalnya ini juga kita anggap itu diskriminasi. Dari jam 6-9 malam! Terus, kami baru memulai aktivitas kami di atas jam 9 malam dan sebelum jam 6 pagi kami baru selesai? Kan namanya jablay”, tegasnya sambil tertawa.

Tak berhenti sampai di situ, penerapan sistem di akhir pekan pun dinilai tidak dapat dimengerti. Tidak ada barometer jelas untuk mempraktikkan aturan ini ketika akhir pekan, di tengah berlangsungnya Asian Games 2018. “Apa rasionya Anda larang saya lewat Gatot Subroto pas weekend? ‘Kan banyak yang ke GBK’? Tiketmu laku semua?…(Kepadatan) lalu lintas hari weekend letterlijk sama dengan hari kerja?” jelas Andrian. Kedua alasan di atas membuatnya berpikir bahwa ruang geraknya benar-benar dibatasi dan tidak sesuai dengan isi pasal 27 UU HAM.

Terlebih lagi, petisinya terhadap pergub ini ia tekankan pada pasal 4 dari Pergub No.77/2018 yang dinilai sangat pilih-pilih. Pasal 4 tersebut mengatur kendaraan apa saja yang mendapatkan keistimewaan. Bagi pengendara kendaraan-kendaraan tersebut, tidak berlaku aturanganjil-genap. Padahal, bagi Andrian, setiap warga negara sama-sama wajib membayar pajak kendaraan mereka. Semestinya semua wajib pajak yang sudah taat membayar menerima perlakuan yang sama. “Kenapa ya bisa dibilang diskriminasi? Ya jelaslah.. Mau motor, bus kek, PNS.. Kan semua bayar pajak,” kata Andrian.

Keberatan Andrian pun tertuju pada beberapa poin dalam pasal tersebut. Menurut Andrian, ada beberapa jenis-jenis kendaraan yang ia rasa tidak perlu mendapat pengecualian. Kendaraan-kendaraan tersebut adalah kendaraan Dinas Operasional berplat dinas, TNI, dan Polri; kendaraan atlet dan official yang bertanda khusus (stiker) Asian Games; sepeda motor; dan kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Polri, seperti kendaraan pengangkut uang dengan pengawasan Polri.

Kendaraan berplat dinas, TNI, dan Polri bagi Andrian tidaklah penting diberikan pembedaan kecuali jika terjadi keadaan darurat, seperti misal tiba-tiba terjadi serangan terorisme. Apabila hal tersebut terjadi pun, Andrian yakin semua orang akan memaklumi hal tersebut, tanpa harus dimasukkan ke dalam peraturan tertulis. “Itu sudah nature-nya lah,” ucapnya.

Sedangkan untuk kendaraan resmi atlet dan petugas bertanda khusus Asian Games 2018 dinilai tidak jelas validasinya. “Siapa yang memvalidasi ini? Apakah ukuran itu stiker Asian Games (resmi) atau bukan?” kata Andrian menjelaskan keganjilan ini. Beliau pun memberikan contoh bagaimana stiker ini bisa jadi digunakan bukan untuk keperluan Asian Games. “Mobil Asian Games ke mana? Enggak tahu tuh, pelatihnya cuman keluar mau nasi uduk, “ contohnya.

Bagi Andrian, pengecualian untuk motor pun dirasa aneh. Sama-sama membayar pajak dan berplat hitam, ia merasa kalau motor semestinya tidak mendapatkan keiistimewaan. “Kewajibannya sama, bayar pajak. Titik,” tegasnya. Andrian juga menekankan jika beliau tidak memiliki sentimen tersendiri terhadap pengendara motor. Hanya saja ia merasa pengecualian tersebut terasa tidak diperlukan.

Selanjutnya, pengecualian terhadap kendaraan untuk kepentingan tertentu sesuai pertimbangan Polri juga ganjil. Andrian melihat dua kejanggalan terhadap poin ini. Pertama, ‘petugas Polri’ dinilai terlalu luas, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud. “Siapa petugas Polri ini? Yang di Mabes, yang kerjanya ketik-ketik di Polsek…juga petugas Polri,” jelasnya.

Sementara yang kedua, ‘kendaraan kedua’ dimisalkan pada pergub adalah kendaraan pengangkut uang (Bank Indonesia, antar bank, pengisian ATM) dengan pengawasan Polri. Poin ini dinilai seperti sangat transaksional, seperti politik dagang sapi. “Itu bisnis, gak? Itu mata pencarian dia enggak? Sedangkan kami, tentu dong kami punya keperluan tertentu. Saya mau ketemu klien saya, dia (sambil menunjuk Andrian) misal mau interview…Lah, kenapa enggak dibolehin?” tambah Sahat membantu kliennya.

Dari semua penjelasan Andrian, dibantu dengan Sahat selaku pembelanya, ia menanyakan status dokter yang bisa saja dipanggil rumah sakit untuk keadaan darurat namun plat mobil beliau tidak diberikan pengecualian. Seperti, dokter rumah sakit swasta. Tidak ada plat atau tanda khusus untuk menandakan bahwa mereka dibutuhkan sesegera mungkin untuk tiba di rumah sakit. “Ngomong urgensi, kan? Dia mau (dibutuhkan untuk) operasi. Cito! Cito kan keadaan darurat. Dia mau operasi di tanggal ganjil (misal platnya genap), terus dia harus muter dulu gitu?” jelas Andrian. Ini mungkin bisa diperhatikan pemerintah mengingat belum adanya kekhususan pemberian jalur bagi dokter yang harus tiba di rumah sakit secepat mungkin.

UU No.12 Tahun 2011

Andrian juga merasa Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang mengatur pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga dilanggar sebab pergub tersebut tidak menimbang undang-undang mengenai HAM. Udang-undang yang dijadikan pertimbangan dalam peraturan ini benar-benar hanya berkaitan dengan transportasi dan kewajiban Pemda DKI Jakarta untuk mengatur lalu lintas wilayahnya. Tidak ada undang-undang mengenai hak perorangan yang notabene mengendarai kendaraan di Jakarta.

“Ngatur siapa sih? Ngatur mobilnya? Bisa enggak mobil jalan sendiri?” tutur Andrian. Maka dari itu, Andrian bersama tim penasihat hukumnya berpikir bila peraturan ini tidak dibuat sebagaimana mestinya dan melupakan hak warga sebagai pengguna jalan.

Lebih lagi, pasal 6 dari UU pada poin G dan H menyebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas keadilan dalam hukum (equality before the law). Jelas, hal ini terlihat dari pengecualian yang terdapat pada pasal 4 regulasi ini, seperti yang sudah dirinci di atas. Dengan adanya kesamaan kewajiban bayar pajak dan ragam kegiatan yang harus dilakukan setiap harinya, tidak seharusnya ada pengecualian terhadap kendaraan-kendaraan tertentu.

Antara Mewakili Suara Banyak Orang dan Keterbatasan Waktu

Permohonan judicial review ini mungkin saja mewakili suara banyak orang. Bahkan Andrian menceritakan kalau petugas MA pun merasa aspirasinya terwakilkan melalui permohonannya. “Waktu kami datang mendaftarkan (permohonan) ini, bahkan petugasnya bilang ‘Wah, kebetulan sekali! Saya juga merasa begitu!’,” tuturnya.

Tapi harus disadari pula bahwa peraturan ini akan selesai bersamaan dengan selesainya Asian Games 2018. Sementara itu, keputusan hakim masih menjadi misteri. Apapun keputusannya, Andrian merasa bahwa paling tidak ia bersama Sahat sudah mencoba membela haknya. Mengutip kutipan Nyai Ontosoroh dari novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer, Andrian percaya bahwa beliau sudah “melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya”.

Pada akhirnya, beliau bersama Sahat pun menyatakan bahwa mereka pastinya mendukung suksesnya Asian Games 2018. Akan tetapi, mereka berpikir alangkah baiknya kalau hak pengguna jalan tidak dikurangi. Mereka pun mengharapkan adanya solusi yang lebih baik daripada ganjil-genap.

Share: Pergub Ganjil-Genap: Bukan Digugat, Tapi Diajukan Permohonan Judicial Review