Isu Terkini

Perang Meriam Saat Lebaran di Aceh

Habil Razali — Asumsi.co

featured image

Suara dentuman susul-menyusul terdengar meledak, membuat Nuzulul terpaksa menutup telinga. Pandangannya tetap mengarah ke arah bantaran sungai Krueng Baro di Desa Mesjid Tuha, Kemukiman Reubee, Kecamatan Delima, Pidie, Aceh.

“Ini paling besar suaranya,” kata dia. Suara keras seperti ledakan bom itu bukan sekali. Secara berurutan, suara disertai getaran menghentak satu kilometer kawasan di sekitarnya. Dinding rumah bergetar seperti gempa bumi.

Bukannya takut, tapi setelah suara reda, Nuzulul dan ratusan warga lainnya semakin mendekat ke sumber suara.

Di bantaran sungai, dari dua sisinya, puluhan meriam karbit berjejer. Di belakangnya, terdapat sebuah panggung yang memiliki sejumlah meriam bambu di atasnya. Begitulah malam itu, perang meriam terjadi. Satu sama lain berperang dan hanya terpaut aliran sungai.

Perang meriam ini tidak memuntahkan peluru, namun menimbulkan ledakan dan getaran. Saat meriam meledak, pengunjung bergegas menutup lubang telinga menggunakan tangan. Sang penyulut memang sudah menyumpal kapas di telinganya.

Suara ledakan itu berasal dari meriam karbit yang disulut saat tradisi Teut Budee di sepanjang bantaran sungai Krueng Baro di tiga kecamatan di Pidie, yaitu Kecamatan Indrajaya, Kecamatan Pidie, dan Kecamatan Delima.

Nuzulul sengaja datang ke sana dari Kecamatan Keumala yang berjarak 20 kilometer. Dia dan ratusan warga lainnya dari berbagai daerah datang untuk menikmati perang meriam karbit pada malam itu.

Tradisi Teut Budee digelar pada malam kedua Lebaran. Jauh-jauh hari, warga telah menyiapkan peralatan untuk melaksanakan tradisi yang telah berjalan turun-temurun lintas generasi. Pada awalnya, Teut Budee hanya dilakukan dengan membuat meriam dari bambu yang dilubangi di bagian dalamnya.

Kemudian diberi lubang kecil di bagian belakang sebagai tempat untuk menyulut api. Suara yang dihasilkan pun tidak seberapa besar, dan tidak membuat getar sekelilingnya.

Kemudian, sekitar tahun 2004, warga di sana mulai menambah daya ledakan dan menimbulkan getaran. Mereka membuat meriam karbit dari drum minyak. Bukan hanya satu, untuk sebuah tempat meriam karbit, minimal harus ada tiga drum yang disambung menjadi satu.

Teut Budee pada awalnya digelar pada malam lebaran pertama. Kemudian, saat pemerintah setempat menggelar lomba pawai takbir keliling beberapa tahun lalu, agar tidak menggangu, tradisi ini diundur pada malam Lebaran kedua. Namun, jika malam Jumat, akan digeser ke malam selanjutnya.

Saking kerasnya suara ledakan yang mencapai 10-20 kilometer, warga setempat bahkan terpaksa mengungsikan bayi dan orang lanjut usia ke kampung lain. Meski terganggu, warga tetap mempertahankan tradisi ini.

Tidak tanggung-tanggung, dalam semalam, mereka menghabiskan dana sekitar Rp15 juta di satu kampung. Dana sebesar itu, mereka kumpul dari sumbangan orang kampung yang pulang dari perantauan.

Bukan hanya pria, perempuan juga ikut menjadi penyulut meriam karbit. Sementara anak-anak, hanya dibolehkan menyulut meriam bambu yang memiliki daya ledak lebih kecil.

Dimulai ba’da salat Isya, tradisi ini digelar sepanjang malam. Bahkan hingga pagi, dan berakhir sekitar pukul 10:00 WIB. Perempuan di sana ikut membuat bubur dan kue untuk warga yang menyulut meriam karbit.

Tradisi ini sangat menarik minat pengunjung, dari kabupaten lain, sejumlah warga sengaja ke sana untuk mendengar atau merasakan langsung suara dan getaran meriam karbit. Misalnya dari Kota Lhokseumawe, Banda Aceh, Bireuen, dan Aceh Besar.

Muhazir tampak gelisah saat ledakan meriam karbit ikut menggoyangkan dinding rumahnya. Rumah pria 36 tahun itu hanya berjarak sekitar 50 meter dari bantaran sungai, tempat meriam karbit disulut. Anaknya ikut menangis saat susul-menyusul terdengar ledakan.

Muhazir sudah tiga tahun tidak ikut lagi menyulut meriam karbit. Dulunya, dia termasuk motor penggerak saat tradisi ini digelar. “Kalau meriam bambu, sejak saya lahir sudah ada, memang turun-temurun,” kata dia. Dulu, meriam bambu digunakan oleh pejuang Aceh untuk mengelabui penjajah Belanda.

Namun, meriam karbit dari drum minyak baru muncul sekitar tahun 2004. Saat itu warga setempat merasa suara ledakan dari meriam bambu terlalu kecil. Mereka pun memikirkan caranya agar menghasilkan suara lebih besar dan bergetar.

Saat pertama kali mencoba, sebanyak tujuh drum minyak dirakit menjadi satu. Panjang satu drum mencapai 1,5 meter. Suara yang dihasilkan lumayan besar, bahkan jendela rumah turut pecah. Semua gantungan di dinding rumah ikut berjatuhan.

Baru sekali disulut, drum minyak yang disambung itu ternyata mengerut dan mengecil karena ledakan. Dari sana, kemudian muncullah ide untuk mengelas besi di bagian dalamnya.

Pada tahun 2008, kejadian tak terduga kemudian terjadi. Malam itu, tujuh drum minyak yang disambung itu meledak di bagian belakangnya. Tak ayal, tiga warga, termasuk satu anak kecil ikut menjadi korban ledakannya. Tiga jari tangan anak kecil itu putus. Dua warga lainnya mengalami luka di kaki.

Pasca kejadian nahas itu, kemudian lahir aturan agar drum minyak yang disambung tidak lebih dari enam drum. Biaya untuk memodifikasi drum minyak menjadi meriam karbit mencapai Rp2 juta per unit.

Meski pernah ikut menyulut meriam karbit, kini Muhazir sudah merasa terganggu dengan suara ledakan yang menggelegar. “Satu kali terdengar suara ledakan, sekali saya menangis dalam hati. Sekarang saya baru sadar, ternyata tradisi ini sangat terganggu, namun inilah yang juga saya lakukan dulu,” kata dia.

Meski tradisi ini dinilai tidak sesuai dengan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh karena menggangu pelaksanaan ibadah di malam Lebaran, hingga kini belum ada yang berani menghentikan perang meriam karbit.

“Saat konflik Aceh dulu, ada tentara yang menembakkan senjata api saat menghentikan tradisi ini. Namun setelah meletus senjata, tidak berselang lama langsung dibalas dengan letusan meriam karbit,” kata Muhazir.

Meski ada yang terganggu, tradisi ini juga mendatangkan wisatawan yang tak kalah ramai. Warung-warung di sekitar bantaran sungai lokasi perang meriam karbit tampak ramai. Jalanan padat, sehingga menimbulkan kemacetan. Teut Budee memang tetap dinantikan di setiap tahunnya.

Share: Perang Meriam Saat Lebaran di Aceh