Isu Terkini

Penyebaran Foto dan Video Intim Tanpa Izin Makin Marak Selama Pandemi

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

“Kalau kamu lihat di Twitter, materi-materi ini dijual. Mereka dapat foto dan video orang-orang ini entah dari mana. Mereka meng-upload ke cloud—biasanya google drive atau dropbox, lalu mereka tawarkan dengan harga Rp100 ribu atau Rp150ribu. Kalau kamu bayar, maka kamu akan dikasih link untuk men-download konten-kontennya,” kata Dhyta Caturani, aktivis kolektif Purple Code.

Media sosial bisa jadi tempat gelap yang menyeramkan. Twitter, Instagram, dan Facebook dapat digunakan untuk menyebarkan foto atau video intim para perempuan tanpa seizin mereka. Tak jarang ada yang memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari keuntungan. Dhyta mengatakan kasus-kasus penyebaran foto atau video privat secara non-konsensual yang termasuk dalam “Kekerasan Berbasis Gender Online” (KBGO) ini meningkat selama pandemi.

“Sejak karantina ini, jumlah laporan yang kami terima meningkat drastis. Sebelum karantina, setiap minggunya mungkin kami menerima 2-3 laporan. Sekarang, 2-3 laporan itu kami terima setiap hari,” kata Dhyta kepada Asumsi.co (23/4). “Bukan kami saja. Beberapa organisasi perempuan, termasuk lembaga bantuan hukum, juga menerima laporan yang lebih banyak terkait KBGO selama karantina.”

Selain Purple Code, SAFEnet juga jadi salah satu lembaga yang banyak menerima laporan terkait kasus KBGO. Kepala Sub Divisi Digital At-Risks (DARK) SAFEnet Ellen Kusuma mengatakan jumlah laporan ini meningkat pesat sejak pertengahan Maret lalu. “Jumlah yang masuk ke aduan email kami sampat saat ini mencapai 40 kasus, belum termasuk yang dilaporkan lewat Instagram atau nomor hotline kami,” ujar Ellen kepada Asumsi.co (24/4).

Kasus-kasus KBGO paling banyak terjadi lewat platform media sosial seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. “Tetapi banyak juga platform lain yang digunakan untuk melakukan pengancaman, sepertinya WhatsApp, atau bahkan aplikasi seperti Smule dan Hago. Jadi, sebenarnya platform digital apa pun yang memungkinkan adanya interaksi antar-pengguna bisa menjadi tempat terjadinya KBGO,” ungkap Ellen.

Tiga bentuk KBGO yang saat ini paling banyak dilaporkan adalah penyebaran foto atau video privat tanpa izin, stalking dan ancaman lewat media sosial, serta pengiriman pesan privat yang melecehkan secara seksual. Dari ketiga bentuk kekerasan tersebut, penyebaran foto atau video privat tanpa izin ialah yang paling banyak dilaporkan.

“Kenapa kasus penyebaran foto dan video jadi yang paling banyak dilaporkan? Sebab ini memang paling mengkhawatirkan. Ketika seseorang menerima komentar body shaming atau slut shaming di media sosial, ia masih menganggap bisa menghadapi ini sendiri. Tapi ketika kekerasannya adalah menyebarkan foto dan video intim, tidak ada yang bisa meng-handle itu,” jelas Dhyta. Dampak sosial dari penyebaran konten tersebut terlampau besar. Korban dapat menerima stigma negatif atau dikucilkan oleh keluarga, teman, dan rekan-rekan kerjanya.

Sementara itu, selama pandemi, proses pendampingan dan pelaporan kasus ke polisi menjadi semakin sulit.

“Organisasi-organisasi penasihat hukum kini bekerja dari rumah dan tidak bertemu klien secara face to face. Mengantar dan menemani korban untuk melapor ke polisi jadi tantangan tersendiri saat ini. Melapor ke kepolisian pun sulit, banyak layanan yang mau tidak mau harus dibatasi,” ujar Dhyta.

Sebelum COVID-19 saja, aparat penegak hukum kerap tidak menganggap serius laporan kasus KBGO karena efeknya yang tidak terlihat. “Kekerasan fisik secara offline aja banyak dianggap nggak serius,” tutur Dhyta.

Selain itu, tidak ada payung hukum yang secara khusus dapat menindaklanjuti kasus KBGO. Seringkali, aparat penegak hukum menggunakan pasal dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, pasal yang kerap dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi orang yang kritis atau mengemukakan pendapatnya di internet ini jadi pedang bemata dua. Korban juga justru rentan ikut dikriminalisasi dengan Undang-undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi karena dianggap telah memproduksi dan menyebarkan konten pornografi.

Mengapa KBGO Meningkat Selama Pandemi?

Ada berbagai faktor yang membuat laporan kasus KBGO meningkat selama pandemi COVID-19. “Sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi, seperti intensitas penggunaan platform digital yang meningkat sampai faktor orang tidak bisa pergi ke mana-mana dan membuat mereka memiliki terlalu banyak waktu,” jelas Ellen.

Menurut Dhyta, salah satu faktor utamanya adalah kebutuhan seksual yang meningkat selama karantina. Imbauan untuk tetap di rumah membuat orang-orang memuaskan hasrat seksualnya lewat masturbasi. Pemerintah daerah New York, misalnya, memberikan edaran tentang kiat-kiat menghadapi COVID-19, salah satunya adalah mengimbau orang-orang untuk bermasturbasi—alih-alih berhubungan seks dengan orang lain—untuk mencegah penularan.

“Nggak masalah kalau mau melakukan masturbasi. It’s healthy. Sayangnya, dengan budaya patriarki yang sangat kental saat ini, persoalan consent jadi banyak dilanggar. Bahan-bahan untuk melakukan masturbasi didapatkan dari cara-cara kriminal.”

Kurangnya pemahaman atau ketidakpedulian akan consent membuat seseorang menganggap punya wewenang untuk menyebarkan konten ke mana saja. Ketika seorang perempuan berpose intim untuk dibagikan ke orang terdekat yang ia percayai, ia hanya memberikan consent kepada orang tersebut untuk melihat fotonya—bukan menyebarkannya ke orang lain.

Consent itu tidak pernah tunggal. Ia berlapis-lapis. Selain itu, ada persoalan entitlement yang sangat berkaitan dengan budaya patriarki. Bahwa laki-laki merasa punya wewenang untuk melakukan hal tersebut—baik ke pasangannya maupun ke perempuan siapapun,” ungkap Dhyta.

Jika menilik “Catatan Tahunan Komnas Perempuan” 2020, jumlah pelaporan kasus KBGO sepanjang 2019 meningkat signifikan dibandingkan tahun 2018: dari 97 kasus pada 2018, menjadi 281 kasus pada 2019. Artinya, peningkatan jumlah kasus mencapai 300%. “Dulu, orang belum paham apakah ini termasuk dalam kekerasan atau tidak. Karena kasus semakin banyak, semakin banyak pula orang yang memahami bahwa ini kekerasan. Jadi, pertama mungkin kekerasannya semakin naik, tapi kedua pemahaman dan keberanian korban untuk melapor juga mulai ada.”

Bagaimana Proses Pendampingan Korban?

Proses pendampingan korban KBGO oleh Purple Code difokuskan pada empat elemen: hukum, teknologi, psikologis, dan dukungan sosial. Selain berupaya membawa kasusnya ke ranah hukum, Purple Code juga mencoba memastikan konten-konten yang telah tersebar itu bisa diturunkan. “Kita harus melaporkan konten tersebut ke platformnya untuk ditturunkan. Ini pun tantangannya besar. Jika postingan diturunkan dan akunnya dihapus, pelaku masih bisa membuat lagi. Di beberapa kasus, tidak hanya satu akun yang memasang foto dan video korban, tetapi banyak akun,” kata Dhyta.

Secara psikologis, Purple Code memastikan agar korban bisa mendapatkan layanan konseling yang secara khusus punya keahlian di isu-isu kekerasan terhadap perempuan. Sementara itu, dukungan sosial dilakukan dengan membuat support system bagi korban. “Kita perlu meyakinkan korban bahwa ini bukan kesalahan dia. Sekalipun ia memproduksi foto dan video itu, tetapi dia tidak melakukan penyebaran dan itu bukan salahnya. Kami juga mencoba meyakinkan pula bahwa dirinya tidak sendiri. Kalau butuh melakukan report, kami akan mengontak semua teman aktivis perempuan yang ada di jaringan untuk ikut bantu korban.”

Menurut Ellen, untuk mengetahui apakah suatu konten di internet termasuk dalam KBGO atau bukan, perlu melihat tiga unsur berikut: kekerasan, online, dan gender. “Kekerasan bisa diartikan sebagai suatu tindakan yang sudah membuat seseorang merasa tidak aman. Online berarti terhubung dengan internet atau difasilitiasi oleh berbagai teknologi digital, seperti SMS. Terakhir, KGBO ini menyerang gender dan/atau seksualitas seseorang. Kekerasan tersebut berdampak besar pada korban karena gender dan/atau seksualitas mereka,” jelas Ellen.

Jika melihat konten yang berkaitan dengan KBGO di internet, Ellen merekomendasikan untuk melakukan langkah-langkah berikut:

  1. Bila korban memberikan pernyataan ke publik, maka berikan dukungan dan pernyataan solidaritas. Jangan menyalahkan korban atau melakukan victim blaming.
  2. Sebaiknya fokus untuk mencari tahu apakah korban sedang dalam situasi yang baik-baik saja dan aman saat itu. Jangan melakukan penghakiman publik atau mencari tahu identitas korban, sebab berpotensi terjadi bentuk-bentuk kekerasan lain.
  3. Bila menemukan foto atau video yang telah disebarkan tanpa seizin orang-orang yang ada di dalam video, maka langsung laporkan konten tersebut lewat platform terkait.

Share: Penyebaran Foto dan Video Intim Tanpa Izin Makin Marak Selama Pandemi