Isu Terkini

Sebab-Sebab Sakit Kepala, dari Takut Perang sampai Penyakit Bawaan

Dea Anugrah — Asumsi.co

featured image

Kalau mendengar kata Iran, apa yang saya pikirkan?

Sebenarnya, saya lebih senang membayangkan kisah cinta Husrev dan Shirin yang indah dan berbelit-belit, atau mengingat sajak-sajak Jalaludin Rumi dan turut menghayati caranya memandang dunia. Tetapi anjing, akhir-akhir ini komentar Donald Trump terhadap pemerintah Iran, mulai dari cemooh sampai ajakan berantam, terpampang di mana-mana.

Sejak jauh-jauh hari, banyak pakar membicarakan risiko perang ini. Lawrence Wilkerson, mantan kepala staf Menlu AS Colin Powell, misalnya, menyebut Iran sebagai lawan yang jauh lebih merepotkan ketimbang Irak. Selain perkara kesiapan bertempur, Wilkerson juga menghitung faktor jumlah penduduk, keseragaman etnis, dan tantangan medan Iran.

“Bakal jadi gerilya berlarut-larut, mungkin lebih dari 10-15 tahun,” katanya dalam siaran podcast Deconstructed. AS harus mengirimkan paling sedikit setengah juta prajurit, tanpa bantuan sekutu, dan menghabiskan dana 2 triliun dolar.

Memang saya sering memelesetkan lagu Obbie Messakh, “Sungguh aneh tapi nyata, takkan terlupa. Tiada kisah paling indah, revolusi di Rusia,” dan sesekali berseloroh soal kecocokan antara gilotin dan orang kaya, antara gulag dan libertarian, tapi sebetulnya kepala saya berdenging setiap kali menyadari bahwa perang bakal membuat seseorang terkena bom saat menimba sumur, anak-anak tercerai dari keluarganya, buku-buku terbakar, tentara mendapat bintang jasa, dan seterusnya, hanya agar segenggam tahi bisa bercokol di tempat yang lebih tinggi ketimbang tahi-tahi lainnya.

Namun, berita buruk yang datang terus-menerus, termasuk soal pesawat Ukraina yang hari ini tertembak oleh Iran, membuat saya bertanya-tanya sendiri. Mengapa Iran berani berkonfrontasi? Bagaimana proses sejarah yang menjadikannya sebuah republik Islam? Apa benar Iran tidak demokratis?

Informasi-informasi yang saya temukan beranak-pinak. Begitu panjang, begitu tak memadai.

Kalau membicarakan situasi Iran hari ini, orang kerap merujuk tiga peristiwa besar sebagai konteksnya. Pertama, pada 1906, seorang shah atau raja Iran dari dinasti Qajar memberikan wewenang politik yang signifikan kepada kaum ulama secara konstitusional. Sejak saat itu, Islam Syiah ditetapkan sebagai agama resmi negara dan semua undang-undang harus disetujui oleh dewan ulama.

Kedua, pada 1953, perdana menteri Mohammed Mossadegh dari partai komunis Tudeh digulingkan oleh para ulama dan perusahaan-perusahaan minyak Barat. Kelompok pertama menolak reforma agraria, dan yang kedua tak ingin dinasionalisasi.

Dan ketiga, pada 1979, para ulama bukan hanya terlibat dalam bongkar-pasang kekuasaan, melainkan keluar sebagai pemenang. Referendum digelar, republik Islam Iran berdiri, dan Ayatollah Ruhollah Khomeini menggantikan Shah Mohammad Reza Pahlavi.

Padahal, selama lebih dari sedekade, shah yang sama relatif berhasil memakmurkan Iran. Hasil perminyakan naik dari 555 juta dolar pada 1964 menjadi 20 miliar pada 1976, dan shah berinvestasi besar-besaran di sektor pendidikan. Buahnya, populasi tumbuh dan kelas menengah profesional baru tercipta.

Namun, menjelang akhir rezim, rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, lapangan kerja berhenti tumbuh selagi orang berpendidikan makin banyak, dan shah terlampau brutal dalam menangani protes-protes mereka.

Adapun Republik Islam Iran, di bawah kendali Khomeini, dikelola dengan asas velayat-e faqih, alias hukum syariah, yang dipandang sebagai pantulan kehendak Tuhan. Meski ada parlemen dan presiden, kekuasaan mutlak dipegang oleh sang Ayatollah–mulai dari menunjuk pimpinan militer hingga merestui rancangan undang-undang.

Menurut penulis konservatif Jeane Kirkpatrick dalam esainya yang terkenal, “Dictatorships & Double Standards,” revolusi 1979 hanya menukar “otokrat moderat yang ramah terhadap kepentingan-kepentingan Amerika dengan otokrat bergaya ekstremis yang kurang bersahabat.” Tapi kenyataan jelas tak sesederhana itu.

Pada 2009-2010, anak-anak muda Iran kembali turun ke jalan untuk meminta jaminan atas hak-hak dan kebebasan. Media menyebut rangkaian protes ini “Green Movement.” Tentu saja para demonstran direpresi oleh pemerintah, tetapi mereka juga memperoleh dukungan serius dari ulama-ulama Syiah reformis.

Bahkan “kaum ulama Iran,” satu urusan saja, tak bisa dipepatkan ke dalam satu kotak. Dengan kata lain, kompleksitas urusan ini menuntut saya agar mencari tahu lebih banyak. Astaga, kayak kurang saja pekerjaan saya setiap hari. Belum lagi jika membicarakan dampak berita-berita buruk ini terhadap situasi kejiwaan saya.

Beberapa hari lalu, saat kapal-kapal Cina bertingkah ugal-ugalan di perairan Natuna, kepala saya pengar berjam-jam. Saya mengeluh kesakitan, dan seorang kawan bertanya apakah saya memiliki penyakit turunan.

Saya menjawab, “Ada, sih.”

“Hah, apa?” katanya. Wajahnya tampak cemas.

“Cina,” kata saya.

*Tulisan ini tayang pertama kali di newsletter Asumsi, 5.45

Share: Sebab-Sebab Sakit Kepala, dari Takut Perang sampai Penyakit Bawaan