Isu Terkini

Penjelasan Soal Rukyat Hilal dan Hisab, Mengapa Muhammadiyah Dengan NU Punya Metode Berbeda

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementrian Agama udah menetapkan awal bulan Ramadhan 1439 Hijriah yang jatuh pada hari ini (Kamis, 17 Mei). Penetapan 1 Ramadhan 1439 H itu berdasarkan sidang Isbat yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama RI Lukman Hakim Saifuddin di Kementerian Agama, Jakarta, pada Selasa, 15 Mei.

Tahun ini, keputusan pemerintah ternyata sama dengan keputusan yang diambil oleh dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Tapi, tentu masyarakat di Indonesia udah enggak asing lagi dengan perbedaan yang biasanya terjadi. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah memilih metode Hisab sedangkan NU menggunakan rukyat. Apa sih Hisab dan Rukyat itu? Yuk simak penjelasannya!

Apa perbedaan Hisab dan Rukyat?

Dalam sistem penanggalan Islam, perhitungan tanggal dilakukan berdasarkan rotasi bulan terhadap bumi, enggak kayak tanggalan Masehi yang berdasarkan pada rotasi bumi atas matahari. Karena itu, untuk menentukan bulan puasa, salah satu metode yang digunakan adalah melihat secara langsung keberadaan bulan dengan mata telanjang. Kalau bulannya sudah berbentuk sabit/celurit, hal ini menandakan bahwa bulan baru telah di mulai (hilal) yang berarti, umat Muslim sudah berkewajiban untuk menjalankan ibadah puasa keesokan harinya. Proses inilah yang disebut dengan Rukyatulhilal, yang metodenya digunakan oleh warga NU.

“Rukyatulhilal berarti upaya untuk melihat secara langsung bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik, maupun dengan mata telanjang,” tulis Muhammad Hadi Bashori dalam buku Pengantar Ilmu Falak, halaman 193.

Untuk bisa ngeliat hilal alias bulan baru itu, emang agak sulit karena para saksi harus memastikan bahwa bulan harus ada di atas matahari, kalau enggak, itu membuat hilal keburu tenggelam saat langit gelap.

Sedangkan, hisab itu artinya menghitung, mengukur, atau mengkalkulasi. Nah, Muhammadiyah memilih cara hisab yang berarti menghitung untuk menentukan awal bulan. Perhitungan hisab yang dilakukan para ahli falak (astronomi) dipandang cukup dan punya akurasi. Karena alasan ini, tidak sedikit ulama kontemporer yang menggunakan metode ini.

“Muhammadiyah menggunakan metode hisab yang artinya penghitungan. Dengan metode ini, kami di Muhammadiyah sudah bisa tahu kapan Ramadan dimulai hingga puluhan tahun ke depan,” ujar mantan ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsudin.

Kenapa NU Memilih Metode Rukyat?

NU memilih rukyat karena berpatokan dengan hadits Rasululllah, “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah (idul fitri) karena melihat hilal pula. Jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Selain perintah dari Rasulullah, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar NU KH. Ghozalie Masrurie juga berpandangan bahwa rukyat lebih memberi kemudahan. Di Indonesia saja paling tidak ada 25 metode hisab, dari yang paling rendah tingkat akurasinya sampai yang tinggi akurasinya.

“Rukyat tidak serumit hisab yang penuh dengan teori. Waktu saya masih kecil dan tinggal di kampung, suasana masih gelap gulita dan tidak ada listrik. Radio pun tidak ada. Ibu saya menerawang bulan dengan menggunakan kerudung. Hasilnya, ibu langsung bisa mengatakan hari itu 1 Ramadan,” ujarnya seperti pernah dilansir di Suaramerdeka.com pada, 8 Agustus lalu.

Mengapa Muhammadiyah Memilih Metode Hisab?

Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti pernah menjelaskan bahwa ada tiga hal yang menjadi dasar mengapa Muhammadiyah menggunakan perhitungan hisab dalam menentukan awal bulan.

Pertama, berdasarkan Alquran Surat Yunus ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”

Kedua, penentuan awal Ramadhan dengan hisab maupun rukyat hanyalah sekedar strategi. Sebab, Nabi Muhammad SAW pada waktu itu menggunakan rukyat karena belum ada perhitungan tahun dan bulan, dan tahunya hanya bulan itu bisa 29 hari dan 30 hari.

“Sehingga menghadapi kondisi yang demikian beliau sangat bijak yaitu dengan melihat hilal (karena ada ilat). Sekarang umat sudah tahu perhitungan tahun dan bulan setelah terdorong mempelajari Surat Yunus ayat 5,” ujarnya dalam laman Muhammadiyah.or.id.

Ketiga, metode hisab menurut Muhammadiyah mampu membuat kepastian, dengan dasar astronomi, sehingga bermanfaat dalam perencanaan waktu di masa yang akan datang. Dalam metode ini Muhammadiyah memelopori penggunaan jadwal shalat, gerhana matahari, dan gerhana bulan, dan bahkan jadwal rashdul kiblat.

Pilihan Pemerintah RI

Dalam proses pengambilan keputusan, Kementerian Agama mengawali sidang Isbat dengan mendengar pemaparan dari tim hisab dan rukyat terkait posisi Hilal (bulan) yang dipantau dari ke 95 titik tadi.

Menurut Menteri Agama itu penetapan sidang Isbat ditentukan atas dasar dua hal, yakni perhitungan hisab dan laporan petugas pemantau hilal di 95 titik yang tersebar di seluruh Indonesia.

Ya, pada akhirnya, seperti yang telah kita lalui selama bertahun-tahun lalu, pemerintah Indonesia lebih memilih menggabungkan dua metode rukyat dan hisab secara bersamaan. Pendekatan rasional dengan hisab dan pendekatan empirik dengan rukyat.

Share: Penjelasan Soal Rukyat Hilal dan Hisab, Mengapa Muhammadiyah Dengan NU Punya Metode Berbeda