Isu Terkini

Pengelolaan Limbah Medis di Indonesia Bermasalah Sebelum Pandemi. Sekarang Bagaimana?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Dengan jumlah pasien COVID-19 yang bertambah signifikan setiap harinya, jumlah limbah medis pun ikut meningkat tajam. Di Wuhan, pemerintah tidak hanya membangun rumah sakit baru untuk menampung pasien, tetapi juga membangun pabrik pengolahan limbah medis dan mendistribusikan 46 fasilitas pengolahan mobile limbah juga. Langkah ini diperlukan, sebab jumlah limbah medis meningkat hingga 600%—dari 40 ton per hari menjadi 240 ton per hari.

Di Indonesia, dapat dipastikan kenaikan limbah medis juga terjadi. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Indonesian Environmental Scientists Association (IESA), Lina Tri Astuti. “Dengan adanya wabah COVID-19, diperkirakan lonjakan limbah medis yang termasuk dalam B3 (bahan berbahaya dan beracun) cukup tinggi. Semua limbah medis, termasuk APD dan sisa makanan pasien, mesti dimusnahkan,” kata Lina ketika dihubungi Asumsi.co lewat pesan singkat (20/4).

Total jumlah limbah medis di Indonesia setiap harinya sebelum COVID-19 bisa lebih dari 200 ton per hari. “Dari 200 ton itu, yang dapat dikelola baru sekitar 57%. Sisanya tidak jelas ke mana. Kita juga belum berbicara soal limbah cair,” kata Lina. Asian Development Bank juga pernah memperkirakan tambahan jumlah limbah medis di DKI Jakarta akibat COVID-19. Membandingkan dengan jumlah limbah di Cina, diperkirakan bahwa ada tambahan limbah medis sebesar 212 ton per harinya.

Sementara itu, dari 2.820 rumah sakit yang tersebar di Indonesia, hanya 83 lokasi yang memiliki incinerator untuk mengolah limbah. Menurut Lina, itu pun ada yang sudah tidak layak pakai. Selain itu, hanya ada enam pabrik pengolahan limbah medis yang terletak di Jawa dan di Kalimantan. “Mengingat pengolah limbah di Indonesia baru ada lima di Jawa dan satu di Kalimantan, semua limbah padat se-Indonesia harus ditransportasikan ke sana. Bayangkan saja sejauh apa perjalanannya, berapa besar biayanya, belum lagi harus menunggu satu container penuh agar efisien,” ungkap Lina.

Hingga saat ini, Kementerian Kesehatan belum memaparkan data tambahan jumlah limbah medis akibat COVID-19. Direktur RSPI Sulianti Saroso Mohammad Syahril pernah mengungkapkan kepada Tirto jumlah limbah medis di rumah sakit tersebut meningkat sebanyak 500 kilogram pada Maret lalu. Menurut Syahril, satu pasien positif COVID-19 menghasilkan rata-rata 20 limbah APD. Jika dikalikan dengan jumlah pasien positif di Indonesia hingga saat ini (6.760 orang hingga 20 April), maka APD yang telah menjadi limbah berjumlah 135.200—belum termasuk limbah padat lain seperti sampah dari kamar pasien, jarum, kain kasa, obat-obatan, dan lainnya.

Sebelum COVID-19, proses transportasi dan pengolahan limbah di Indonesia sudah bermasalah. PT Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) dituduh telah melakukan penimbunan atau dumping limbah B3—termasuk limbah medis—di dekat pemukiman warga di Mojokerto. Limbah medis yang diketahui berasal dari Rumah Sakit Sanglah Bali ini terdiri dari infus, kantong kencing, dan bekas alat suntik. Praktik pembuangan limbah yang tidak mematuhi prosedur itu membuat kualitas air sumur warga tidak memenuhi baku mutu.

Kasus limbah medis yang tercecer juga pernah ditemukan di kawasan hutan mangrove di Karawang, Jawa Barat pada 2018 dan di bantaran sungai Ciherang, Jawa Barat. Limbah medis itu terdiri dari bekas alat suntik dan obat-obatan yang dibuang sembarangan.

Menurut Lina, penambahan limbah medis dan pengolahan yang tidak sesuai prosedur dapat mengancam lingkungan. “Kalau kita bicara soal lingkungan, kita tidak bisa melepaskannya dari topik sosial. Jarum suntik yang dibuang bebas dapat melukai dan dapat disalahgunakan. Limbah yang tidak didisinfektasi terlebih dahulu dapat menularkan penyakit dan menyebabkan keracunan,” jelas Lina. Limbah medis yang dibuang langsung ke sungai juga dapat mencemari air. Sementara jika dibuang ke TPA dapat berbahaya bagi petugas di lapangan. “Dengan kondisi TPA yang masih open dumping seperti saat ini, limbah dapat mengkontaminasi tubuh para pemulung,” lanjutnya.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengungkapkan pengolahan limbah medis akibat COVID-19 dapat diperlakukan sama dengan pengolahan limbah medis regular. Dalam konteks Indonesia, pengolahan limbah ini dapat mengikuti Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 56 Tahun 2015.

Pada 21 April 2020, ada koreksi tentang jumlah incinerator pengolahan limbah medis yang sudah tidak layak pakai: bukan semuanya, melainkan beberapa di antaranya. Jumlah limbah medis di Indonesia setiap harinya sebelum pandemi juga bukan hingga 200 ton/hari, tetapi lebih dari 200 ton/hari.

Share: Pengelolaan Limbah Medis di Indonesia Bermasalah Sebelum Pandemi. Sekarang Bagaimana?